MOJOK.CO – Dunia ini tak akan pernah adil kepada kaum kecil yang tak punya kekuatan pasti. Swargi langgeng untuk Novia Widyasari.
Dia diperkosa, dipaksa menenggak pil yang membuatnya tak sadarkan diri. Dia diperkosa, berkali-kali. Tentu saja dalam kondisi dipaksa. Empat bulan kemudian, dia hamil.
Lagi-lagi, kata “dipaksa” hadir dalam hidup Novia Widyasari. Dia dipaksa, untuk mengaborsi kandungannya. Brengsek betul. Novia dipaksa ambil bagian dalam sebuah usaha menjaga nama baik dan karier seorang polisi muda. Namanya Randy.
Novia menolak permohonan Randy untuk menggugurkan kandungannya. Randy, konon, siap bertanggung jawab, tapi tidak saat ini karena kariernya sebagai polisi baru seumur jagung.
Pikiran Rakyat melansir sebuah berita terkait kematian Novia Widyasari. Pikiran Rakyat menulis seperti ini: “Hingga keesokan harinya, R mengajak Novia untuk jalan-jalan, R membawa 4 butir pil dan memaksa Novia untuk meminumnya. Novia menurut dan sampai pada sore hari, dia mengeluh lapar dan berhenti di tempat makan.”
Lagi-lagi, hantu dari kata “dipaksa” muncul di sini. Novia, saat itu, mungkin tak tahu kalau empat butir pil itu akan membunuh janinnya….
“Novia Widyasari merasakan perutnya sangat sakit dan segera pergi ke toilet hingga tidak menyadari, bahwa ada lendir darah yang keluar dari perutnya. Novia tidak berani melihat bahwa itu janin yang ada dalam kandungannya,” tulis Pikiran Rakyat.
Novia dipaksa menenggak pil yang membuatnya tak sadarkan diri. Dia diperkosa.
Novia dipaksa menggugurkan kandungannya. Dia menolak.
Novia dipaksa, kembali, menenggak pil oleh Randy. Dia tak berdaya. Dia tenggak empat pil yang menyiksa janinnya.
Lagi-lagi, hidupnya sesak akan paksaan. Dia tak pernah merdeka dan bahagia.
Bahkan setelah keluar dari rumah sakit, dua hari setelah lendir darah keluar dari kemaluannya. Dia mengalami depresi. Bingung. Pada titik ini, dia juga mendapat tekanan dari keluarganya sendiri. Klasik sekali. Rasa malu keluarga akan lebih besar ketimbang keyakinan untuk memburu keadilan.
Novia Widyasari “dipaksa” harus menerima keadaan bahwa dirinya sendirian. Dua sisi hidupnya memberikan tekanan besar. Memaksa Novia untuk melakukan sesuatu yang sangat jauh dari kebahagiaannya. Novia tak pernah didengar, apalagi dipahami.
Depresi, Novia Widyasari sering menghilang dari rumah. Hari-harinya dihabiskan di pusara ayahnya. Di depan kuburan ayahnya, dia mengaduh. Dari pagi sampai petang. Ibunya khawatir, tapi Novia tak peduli itu.
Pemaksaan yang menjadi narasi kehidupan Novia Widyasari membawanya ke sebuah jawaban yang absolut. Kematian. Novia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dia tenggak sianida. Dia tak kuat lagi dipaksa oleh manusia-manusia brengsek. Dia membuat keputusannya sendiri.
Novia meninggal di depan kuburan bapaknya. Hanya nisan, tanah kuburan, dan kesunyian yang menemaninya.
Novia Widyasari hanya satu dari sekian banyak perempuan yang kini hidup dalam keterpaksaan. Di dalam kungkungan ketikdakadilan dan kekerasan. Banyak dari mereka yang tidak bernai bersuara. Sedikit yang bersuara, lalu dibungkam oleh sistem.
Berita tragedi ini tak akan berhenti di Novia Widyasari. Di tengah dunia yang didominasi kekuatan laki-laki, perempuan tidak akan pernah mendapatkan keadilan hakiki. Perempuan akan selalu berdiri di sisi tersakiti, disiksa oleh ego yang selalu tinggi, dibunuh oleh kesedihan hakiki.
Jangan heran jika dua minggu lagi, tragedi seperti yang dialami Novia Widyasari akan terjadi. Lagi. Dan. Lagi. Dunia ini tak akan pernah adil kepada kaum kecil yang tak punya kekuatan pasti.
Swargi langgeng untuk Novia Widyasari.
BACA JUGA Yang Perlu Kamu Lakukan saat Teman Jadi Korban Kekerasan Seksual dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.