Dilema Jadi Anak Ketika Orang Tua Nggak Jujur Punya Utang

Dilema Jadi Anak Ketika Orang Tua Nggak Jujur Punya Utang MOJOK.CO Saat Orang Tua Jadi Beban Anak Pertama, Rasanya Campur Aduk

Dilema Jadi Anak Ketika Orang Tua Nggak Jujur Punya Utang MOJOK.CO Saat Orang Tua Jadi Beban Anak Pertama, Rasanya Campur Aduk

MOJOK.COSemuanya jauh lebih mudah ketika ada kejujuran. Mau berat atau ringan utang yang ada, kalau disangga bersama-sama, harusnya terasa lebih ringan.

Dua tahun yang lalu, Mojok pernah menayangkan kolom Curhat. Isinya, curhatan seorang anak yang merasa dijadikan “sapi perah” oleh orang tua. Ketika nanya kabar, ujung-ujungnya minta uang karena orang tua terlilit utang. Saking seringnya, dia sampai merasa tidak lagi dianggap anak.

Dia bilang: “Sebenernya saya cuma pengin di ngertiin, supaya saya ngerasa masih punya tempat cerita kalau ada masalah. Tapi justru saya yang jadi tumpuan beliau, jadi tempat tumpah ruah masalah beliau. Saya jadi ngerasa menjadi orangtua untuk orang tua sendiri.”

Dear siapa pun kamu, pada titik tertentu, dunia menjadi lebih mudah ketika orang tua mau terbuka. Tentang apa saja. Mau soal perasaan, ide, sampai kondisi keuangan, terutama soal utang. Sebagai anak yang sudah bekerja, tidak tahu orang tuanya kesusahan karena utang, adalah sebuah penderitaan tersendiri.

Bapak saya adalah seorang kepala rumah tangga yang, menurut saya, terlalu jago menyimpan masalah. Terkadang Ibu saya pun tidak tahu kalau Bapak punya masalah, apalagi saya. Beliau tidak mau terbuka. Namun, ketika masalah itu sudah semakin mendesak, kebiasaan buruknya muncul, yaitu mau jujur ketika udah kepepet.

Sebagai anak yang sudah bekerja, saya tahu kewajiban untuk “gantian” merawat orang tua. Menyisihkan sebagian gaji, misalnya. Atau menyiapkan dana cadangan untuk kebutuhan rumah yang serba mendadak. Namun terkadang, hitung-hitungan itu masuh belum cukup ketika tidak ada keterbukaan antara orang tua dan anak.

Dijadikan “sapi perah” memang bikin kesal. Tapi paling tidak orang tuamu mau ngomong terbuka. Kalau sudah begitu, tinggal masalah komunikasi saja, bukan. Pinter-pinternya kamu menjelaskan kondisi dan rencana keuanganmu. Setidaknya ada modal kejujuran di sana. Jadi ketika ada masalah bisa langsung dibicarakan dan dicari solusinya.

Bagaimana dengan orang tua yang menyimpan masalah? Yang ada malah bikin dilema.

Merasa jadi anak tidak berguna

Apa yang kamu rasakan ketika orang tua, secara tiba-tiba bilang kalau motor di rumah baru saja digadai untuk menutup utang? Kaget sudah pasti. Setelah itu, perasaan tidak berguna sebagai anak tiba-tiba muncul. Kenapa orang tua bisa berutang, sampai menggadai motor, dan kamu nggak tahu mereka sedang kesusahan sampai detik terakhir?

Padahal, malam sebelumnya, kamu menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk belanja kaos dan ngopi bareng teman-teman. Rasa bersalah semakin terasa menyayat. Padahal, dengan gaji yang kamu dapat, utang orang tua itu bisa ditutup. Ya setidaknya dicicil.

Satu fakta pedih: banyak yang tahu kalau orang tuamu punya utang. Dan terkadang, tatapan orang banyak itu bikin kamu serba salah. “Ini anaknya ngapain sampai orang tuanya gadai motor buat nutup utang.” Sedih banget.

Perasaan tidak dipercaya

Ada yang bilang kalau selamanya, seorang ibu akan menganggap anaknya sebagai “bocah”. Bahkan ketika si anak sudah bekerja, menikah, dan punya anak. Karena anggapan “bocah” itu lestari, terkadang orang tua jadi tidak percaya kalau anaknya “mampu”.

Ketika orang tua tidak jujur soal utang, rasa tidak dipercaya itu langsung muncul. Kenapa tidak cerita dari awal? Apakah diri ini dianggap tidak mampu untuk ikut memikirkan “masalah-masalah berat dalam rumah tangga”? Pada titik tertentu, saya merasa gagal menghidupi kata “berbakti”.

Jadi serba susah karena utang

Yang ketiga ini bisa bikin emosi jiwa. Orang tua tidak jujur punya utang. Karena sudah kepepet, misalnya mau jatuh tempo, orang tua baru jujur ke anak. Minta dibantu melunasi utang, atau setidaknya mencicil.

Masalahnya, pada saat itu, dompet kamu memang masih tebal. Bukan karena isinya uang, tapi nota londrian dan struk ATM. Apa yang akan kamu lakukan di tengah situasi ini? Marah sama orang tua jelas bukan pilihan, juga nggak bakal menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, kamu harus “membuka utang baru” dengan perasaan serba salah.

Serba salah karena tentunya kita tidak tahu apakah teman punya duit buat utang. Atau, apakah dirimu bisa mengembalikan utang untuk menutup utang itu tepat waktu. Pada akhirnya, kamu mengorbankan beberapa rencana demi “menjaga utang” orang tua tidak berlarut-larut.

Ada yang bilang kalau orang tua selalu begitu karena sayang sama anak. Saya mencoba memahami dan memakluminya. Mungkin orang tua sangat sungkan merepotkan anaknya. Perasaan kayak gini bisa bikin orang tua stres berat, lho.

Yah, pada akhirnya, semuanya jauh lebih mudah ketika ada kejujuran. Mau berat atau ringan utang yang ada, kalau disangga bersama-sama, harusnya terasa lebih ringan. Memahami orang tua itu ternyata susah minta ampun.

BACA JUGA Gimana Jelasin Ekonomi Keluarga ke Anak Waktu Kamu Jatuh Miskin? Atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version