Buat Apa Jadi Orang Baik Kalau Bisa Sedikit Bajingan?

MOJOK.CO Rasa-rasanya, sah-sah saja untuk kita mulai menyayangi diri sendiri dengan bersikap sedikit bajingan dan tak melulu jadi orang baik.

Selepas diselingkuhi dalam hubungan yang saya pikir bakal sampai tahap pernikahan, saya mendapat pesan singkat yang cukup menohok. Orang yang sudah merusak hari-hari saya tersebut dengan tegas berkata bahwa ini bukan kesalahannya saja.

“Walaupun orang-orang bilang kamu adalah korban, kamu orang yang baik, blablabla, aku yakin kamu pasti pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan ini karma untukmu. Ini hukuman yang pantas.”

Bangsat, batin saya diam-diam. Tentu saja saya tidak menuliskan kata itu sebagai balasan—walaupun rasanya ingin sekali—saya malah membalasnya dengan kata-kata sok bijaksana yang membosankan, hanya untuk diakhiri dengan ungkapan “Good luck”.

Seorang teman pernah berkata pada saya, tak semua orang di dunia ini bisa disikapi dengan baik hati dan prasangka positif. Kelemahan saya—mungkin juga kamu—adalah menganggap semua manusia baik hati, sampai-sampai rasanya tak perlu mencurigai mereka untuk alasan apa pun. Lagi, kata teman saya, tak ada salahnya menganggap semua orang adalah bajingan sampai kita benar-benar yakin bahwa ia adalah kebalikannya.

“Lagian,” katanya, “kalau definisi jadi orang baik adalah orang yang tidak pernah keberatan terhadap sesuatu, tidak pernah menolak sesuatu, melakukan apa pun untuk orang lain, kurasa itu bukan baik—itu bodoh.

Jadi orang baik toh tidak baik-baik amat untuk hidup—demikian, lagi-lagi, kata teman saya yang sudah kepalang gemas. Segala kata-kata positif dan menyenangkan di buku motivasi mungkin saja benar, tapi kehidupan toh bukan teori—ia praktik nyata yang harus dihadapi, bukan dianalisis dalam bentuk esai.

Kesalahan terbesar dari sikap ‘jadi orang baik’ sebenarnya hanya satu: berharap mendapat kebaikan yang sama. Membangun mimpi-mimpinya sendiri di kepala. Membayangkan kebahagiaan mutlak yang ‘seharusnya’ tercapai. Padahal, kita semua tahu: expectation kills you.

Pertama, bukankah kalau kamu melakukan banyak hal untuk orang lain, kamu juga berharap dia akan melakukan hal yang sama? Nyatanya, hey, hidup bukan bentuk sederhana dari acara tukar kado di mana kita bisa saling memberi dan menerima hadiah dengan nominal serupa.

Film Keluarga Cemara yang rilis awal tahun ini menawarkan buktinya. Euis, yang diperankan dengan apik oleh Adhisty Zara, mati-matian berusaha bertemu dengan teman-teman lamanya yang dulu punya grup dance bersama. Film ini memang tidak menceritakan detail perjalanan Euis, tapi kita semua tahu bahwa ia tak mendapat izin dari Abah untuk pergi ke kota dan bertemu teman-temannya—yang tentu saja merupakan kekhawatiran besar bagi gadis manapun.

Tapi tebak, apa yang ia temukan di balik pintu? Seragam dance yang sudah berubah warna dan—tentu saja—seorang anggota baru dalam grup untuk menggantikan posisi Euis. Mereka menari dengan bahagia, bahkan tanpa perlu repot-repot menyadari air mukanya berubah.

Euis merindukan teman-temannya dan rela melakukan apa pun untuk mereka, tapi ia tak punya jaminan serupa untuk diperlakukan dengan sama. Padahal, ia bisa saja bersikap sedikit bajingan dengan langsung melupakan kebersamaan mereka, tepat setelah mereka berpisah.

Kedua, bersikap terlalu baik hati bisa berbahaya—kamu tak akan pernah tahu apakah seseorang sedang memanfaatkanmu atau tidak.

Mengulang kata-kata teman saya, tak ada salahnya menganggap semua orang adalah bajingan sampai kita benar-benar yakin bahwa ia adalah kebalikannya.

Kisah cinta di episode Movi “Sebelum Hari H” menjadi bentuk ‘baik hati’ yang levelnya mencapai sendi-sendi perasaan. Sejoli yang berboncengan, bicara soal pernikahan, bahkan mengenang masa-masa berpacaran itu nyatanya tak akan bersanding di pelaminan. Tokoh perempuan itu justru akan menikah dengan orang lain, dan kebetulan membutuhkan bantuan mantan kekasihnya untuk mempersiapkan pernikahannya.

Kebaikan mantan kekasih adalah hal yang lain, tapi perihal kemungkinan ia dimanfaatkan? Itu hanya bisa dijawab oleh si perempuan.

Ketiga, kesibukan menjadi orang baik justru kadang membuat kita lupa bersikap baik pada diri sendiri.

Saya rasa ini banyak terjadi dalam lingkaran pertemanan: kita terbiasa ‘membela’ seorang teman demi dirinya tak dibenci pihak-pihak tertentu. Saya pernah menemani seorang teman saat SMP untuk pergi ke suatu tempat, tapi kami pulang terlalu malam. Ayah saya mengomel dan mempertanyakan kenapa teman saya senekat itu mengajak pergi terlalu lama, sementara saya bersikeras bahwa segalanya terjadi karena kerelaan saya—bukan salah teman saya sama sekali.

Padahal, saya tahu bahwa saya punya alergi dingin (udara malam dingin sekali, by the way) dan harus rela menghabiskan tiga hari ke depan dengan bentol-bentol merah di sekujur badan. Sial.

Menjadi orang baik tidaklah salah—ia justru menjadi tujuan hidup yang harusnya dipikirkan oleh semua orang brengsek di dunia. Tapi sayangnya, orang-orang yang dianggap baik ini tak sepenuhnya akan mendapat kebaikan yang serupa. Mereka kadang menjadi terlalu lemah untuk berdiri sendiri dan lebih suka berharap pada orang-orang terdekat.

Yang menyebalkan dari orang-orang yang disebut baik ini adalah: kadang mereka bersikap terlalu naif. Harapan-harapan mereka sebenarnya logis, tapi keyakinan prinsip ‘seharusnya A, seharusnya B’ yang ada di kepala mereka justru bisa merusak segalanya.

Sepertinya, mereka cuma ketakutan akan harapan yang ada di kepala. Pada titik ini, tidak ada orang lain yang bisa menolong, kecuali diri mereka sendiri.

Mungkin, mereka—atau kita semua—sah-sah saja untuk mulai menyayangi diri sendiri dengan bersikap sedikit bajingan. Toh, semua orang punya jatah bajingannya masing-masing, kan?

Exit mobile version