Bergosip Katanya Baik Bagi Kesehatan Mental, tapi Siapa yang Nanggung Dosanya?

bergosip-itu-penting-kesehatan-mental-mojok

MOJOK.COBergosip katanya baik bagi kesehatan mental kita. Pasalnya, setelah kita bergosip kita merasa lebih rileks dan bahagia. Tapi, yang nanggung dosanya siapa, ya?

Sekumpulan perempuan dan gosip, seolah menjadi sebuah paket yang tidak mudah dipisahkan. Apalagi jika keduanya bertemu dalam suasana nostalgia karena telah lama tak berjumpa, tentu saja gosip sulit untuk terlewatkan begitu saja. Maka tidak mengherankan, setelah usai dengan basa-basi yang sering kali hanya berupa body shaming tentang bentuk badan—yang semakin menggendut atau mengurus, tentang kemulusan plus kekinclongan muka berkat skin care ter-anyar, serta tentang aktivitas saat ini…

…yang dapat dipamerkan. Biasanya, update ‘kabar’ tentang teman lainnya—yang tidak hadir dalam gerombolan tersebut—tidak dapat dielakkan dan meluncur dengan sendirinya.

Ya, begitulah. Awalnya sih, cuma saling menceritakan atau menanyakan kabar mereka saja, namun bumbu-bumbu micin lambe turah—baik sengaja maupun tidak—tercurah di dalamnya, biar makin gurih dan sedap! Lantas, hal ini menjadikan obrolan tersebut semakin hangat dan akrab. Ya, hangat dan akrab di atas—mungkin—penderitaan teman yang lain. Sungguh, sebuah pertemanan yang friendship goals banget dan sangat berfaedah.

Misalnya, setelah merasa sudah tidak ada lagi bahasan tentang masing-masing pelaku dalam gerombolan tersebut, mulailah obrolan ringan—tanpa berniat menyakiti—itu dimulai dengan,

“Eh, kabarnya si Surti sekarang gimana, ya?”

Pertanyaan pembuka ini sebetulnya tampak sangat perhatian dan tidak ada kesan tendensius atau menjatuhkan sama sekali. Namun, tahukah yang meluncur selanjutnya, Saudara?

Yak benar! Cerita-cerita baik on record ataupun off record tentang perkembangan dan lika-liku kehidupan si Surti ini, dibeberkan. Biasanya nih, cerita-cerita yang kurang baik akan diawali dengan, “Bukannya aku gimana, ya, Girls. Aku waktu itu lihat sendiri kalau si Surti ini menelantarkan anaknya dan sibuk sama brondong-brondong manis gitu…”

Ya, ya, ya, hati-hati dengan kata-kata, “Bukannya aku gimana, ya…” Pasalnya, setelah kata ini diucapkan, biasanya akan disambung dengan kalimat-kalimat yang sungguh menyakitkan. Bla, bla, bla, setelah bahan bergosip tentang si Surti ini selesai, biasanya akan berganti kepada sosok-sosok teman yang lain, dan akan berakhir pada…

…si public enemy. Mengapa? Lantaran yang sering terjadi setiap orang dalam lingkaran pertemanan tersebut, selalu punya cerita yang tidak menyenangkan dengan si public enemy ini. Maka, cerita tentangnya, tentu saja tidak ada habisnya. Mungkin gosip untuk menambah pengetahuan ini hanya bisa diakhiri karena sudah kehabisan energi untuk bercerita atau mereka harus literally diusir karena tempat bergosipnya sudah tutup—sedangkan mereka juga tak memahami kode-kode mbak mas yang sedang membereskan meja dan mematikan sebagian lampu.

Semua orang yang ‘waras’, tentu menyadari bahwa yang namanya bergosip itu tidak baik, bahkan disebut-sebut seperti makan daging saudara sendiri.

Tapi, mohon maaf, nih, mau bagaimana lagi. Manusia kan sebetulnya makhluk egois. Jadi meski tinggal di negara yang memiliki prinsip kepentingan kelompok di atas kepentingan individu, namun dalam praktiknya tidak selalu seperti itu. Mengapa? Ya, pokoknya yang penting kita bahagia, peduli amat sama orang lain!!1!1!1

Nah, karena kepentingan diri sendiri menjadi lebih penting dibandingkan hal lainnya, maka tidak mengherankan, kabar-kabarnya sih, ada penelitian yang bilang kalau bergosip justru baik untuk kesehatan mental kita.

Uwaaa~ bahagia nggak tuh? Kalau perilaku ghibah yang tercela itu, justru seakan memperoleh pembenaran?

Lantas, mengapa si kesehatan mental ini dibawa-bawa? Pasalnya, dalam perbincangan yang penuh nyacat-nyacati orang lain itu, kita bisa berbicara dengan lebih bebas sambil tertawa lepas. Hal ini, seakan-akan kita bisa melepaskan segala penderitaan dan tekanan psikologis kita.

Ada sebuah penelitian tentang efek bergosip yang dilakukan oleh peneliti dari University of Pavia. Dari penelitian tersebut ditemukan, ternyata seusai bergosip, tubuh kita bakal melepaskan hormon oksitosin. Nah, hormon ini akan memberikan efek seseorang lebih merasa rileks dan bahagia. Lebih lanjut lagi, gosip juga memiliki efek…

…mendekatkan hubungan dengan teman!!11!!!

Jadi, buat kamu-kamu yang sulit untuk mendapatkan teman, maka lebih baik dari sekarang kamu kumpulkan fakta-fakta tersembunyi dari teman-temanmu, lalu ‘jual’ info-info menarik tersebut kepada teman yang ingin kamu akrabi.

Nice! Sepertinya hobi bergosip ini, bisa masuk list resolusi tahun baru! Biar kita punya jaringan pertemanan yang lebih luas. Yeay!

Eits, Astagfirullah, Ukhti, kita tidak dapat membiarkan anggapan bergosip adalah hal yang baik untuk kehidupan, apalagi sampai merasuk dan terdoktrinasi dalam pikiran. Bagaimanapun juga, meskipun menertawakan orang lain dapat membuat hati menjadi lebih bahagia dan melepaskan kepenatan yang ada, namun sesungguhnya kebahagiaan paripurna bisa kita dapatkan dengan: menertawakan diri sendiri.

Bukankah ini akan lebih baik untuk diri kita? Pasalnya yang kita dapatkan bukanlah sekadar kebahagiaan semu yang justru menyakiti orang lain. Menertawakan diri sendiri adalah bentuk penerimaan diri. Jika kita berhasil melewatinya, tentu akan mudah bagi kita untuk mendapatkan kebahagiaan yang nyata dan bertahan dalam waktu yang lama.

Tapi hidupku kaku, nggak ada yang bisa dijadikan bahan tertawaan.

Sesungguhnya menertawakan diri sendiri tidak sesulit itu, Sayang. Cukup ingat-ingat dan ceritakan lagi saja tentang bagaimana pekok dan gobloknya kita—di masa lalu—yang mau-maunya hati dan raganya dimain-mainkan sama mantan yang naudzubillah kurang ajar.

Exit mobile version