Apa Hukum Mengganti Mandi Junub dengan Mandi Bola? Dan Pentingnya Bertanya Kreatif untuk Paham Logika Fikih

MOJOK.COSejak Yayasan Pemuda Tersesat ada, netizen mulai banyak yang kreatif kalau bikin pertanyaan soal fikih. Kayak mandi junub ini misal.

Bagaimana hukumnya mengganti mandi junub dengan mandi bola?

Pffft.

Itu pertanyaan soal fikih yang sempat bikin saya tergelak pada detik pertama, lalu terkagum-kagum pada detik berikut. Ini kok luar biasa kreatif netizen Indonesia ya kalau bikin beginian? Suog.

Plis. Tolong, tolong lupakan dulu soal logika fikihnya, abaikan dulu soal niat orang yang tanya ini bercanda atau nggak, tapi lihat bagaimana kreatifnya pertanyaan ini disusun. Mandi bola kok disamain mandi junub? Nggak kepikiran, Coegh!

Oke, oke, barangkali kamu bakal biasa aja kalau mendengar pertanyaan model gini di channel MLI, terutama di program Pemuda Tersesat dengan Sang Protektor Habib Husein Ja’far di sana.

Di sana mah pertanyaan, “Gimana hukumnya naik haji pakai duit jual ginjal?” ada kok.

Masalahnya, saya menemukan pertanyaan-pertanyaan itu pertama kali bukan dari sana, tapi justru di situs bincang-syariah-dot-kom dengan judul yang sama gatheli-nya: “Hukum mengganti mandi junub dengan mandi bola.” Faaak.

Iya, itu kan situs yang ngomongin soal agama secara serius. Pakai hadis soheh, dalil yang kuat, dan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Pertanyaannya kemudian; ini kenapa pertanyaan model begitu dijawab dan diakomodasi secara serius sih? Kan itu pertanyaan guyonan? Nggak perlu ngaji At-Taqrib atau Safinatun Naja juga gampang banget dijawab, ngapa pakai dalil segala, Sukriii!

Pakai definisi mandi junub Imam Nawawi juga udah klir (di BincangSyariah.com juga ada tuh). Ya mandi itu kan mengalirkan air ke sekujur tubuh. Nah, kalau yang dialirkan bukan air tapi malah bola, ya itu bukan mandi namanya, itu kerjaannya Lionel Messi.

Mandi junub diganti mandi bola sih boleh aja, asal itu bola dicemplungin di akuarium raksasa yang berisi air lebih dari dua qullah atau lebih dari 270 liter, lalu situ nyemplung ke situ sampai basah kuyup semua dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bisa tuh.

Jawaban-jawaban itu tadi juga meski bercanda, tapi sebenarnya mengandung informasi hukum fikih yang klir juga. Bahkan tanpa perlu menjawab kayak pilihan ganda: boleh atau tidak boleh. Haram atau halal. Surga atau neraka. Dosa atau pahala.

Nah, balik lagi ke pertanyaan awal, kenapa pertanyaan beginian penting dijawab? Serius banget lagi, kayak nggak ada kerjaan aja.

Gini. Pertanyaan model begini, meski terkesan bercanda, justru malah bisa bikin orang ngeh dengan hukum sesuatu.

Dalam kasus ini, hukum mandi junub misalnya. Coba kalau nggak ada orang iseng yang nanya “mandi junub boleh diganti mandi bola”, bukan tidak mungkin ada orang di luar sana yang sebenarnya bener-bener nggak tahu definisi mandi junub karena nggak ada pertanyaan fikih semenarik itu.

Sekarang coba saya tanya, ada berapa banyak orang yang sudah akil balig kedua tapi merasa malu kalau tanya hal-hal dasar soal agama? Misalnya, tanya gimana sih niat salat, atau hukum bacaan di ilmu tajwid misalnya.

Nah, pertanyaan-pertanyaan kreatif seperti ini jadi penting sebagai “jembatan keledai”. Plus, jawaban dari pertanyaan ini pun bisa pakai logika yang rileks meski tetap menginformasikan hukum sebenarnya.

Jadi, ini bikin sama-sama enak. Yang tanya nggak kelihatan gobloknya, yang tukang jawab nggak kelihatan keminter pula.

Ya asal situ tahu aja, tantangan dalam menjelaskan dan memahami ilmu fikih itu justru sangat bergantung pada pertanyaan-pertanyaan aneh model begini. Terutama perkembangan zaman yang menuntut penerapan logika fikih pada kultur-kultur baru di masyarakat. Termasuk kultur netizen di Indonesia.

Jadi tidak masalah pertanyaan semacam itu diajukan ke ustaz atau ke guru ngajimu. Selain bikin orang jadi ingat karena keanehannya, jawabannya juga bakal membuatmu bisa menjelaskan hukum fikih ke orang lain. Jariyah ilmu juga kan akhirnya?

Bahkan, di dunia pesantren, pertanyaan-pertanyaan absurd begini sebenarnya sudah punya tempatnya sendiri. Pertanyaan begini di beri ruang untuk diperdebatkan, diulik-ulik, dan dibahas secara serius.

Seperti ketika teman saya bertanya ke guru ngaji saya, “Pak, air mani itu kan suci. Semua barang halal itu kan suci. Berarti air mani itu halal dong dimakan?”

Lalu dijawab suantai puool sama guru saya, “Sajadah itu juga suci, Le. Marmer masjid juga suci banget itu. Monggo silakan di-untal kalau menurut sampean yang suci itu sudah pasti halal (dimakan).”

Simpel, nggak kalah nakal, tapi tetep sampai logika fikihnya tanpa perlu mengutip dalil.

Atau begini, “Rambut itu kan termasuk aurat untuk perempuan makanya perlu ditutup pakai jilbab, lah kalau perempuannya milih gundul berarti nggak perlu pakai jilbab dong, Pak?”

Ya tinggal ditanya balik gini aja:

“Jembut itu juga aurat sampean, Mas, lah kalau jembut sampean dipapras habis, berarti sampean nggak perlu pakai celana dong kalau jalan ke mana-mana?”

BACA JUGA Pertanyaan-Pertanyaan Tidak Penting dan tulisan TIDAK PENTING lainnya.

Exit mobile version