Alfatihah dan Syaikh Kholil Bangkalan Madura

Alfatihah

MOJOK.COMereka yang meragukan keislaman seseorang hanya karena bilang “alfatihah” jadi “alpatekah” ini bisa jadi nggak pernah dengar kisah Kiai Legend, Syaikh Kholil Bangkalan, Madura.

Untuk ukuran para “polisi-makhroj” Syaikh Kholil jaman segitu sempet diragukan juga kapasitasnya karena bacaannya dianggap kurang fasih oleh beberapa orang—bahkan ada salah satu murid beliau, yang nanti jadi kiai besar, sampai mutung pulang karena menganggap bacaan Alfatihah Syaikh Kholil nggak fasih (meski akhirnya balik lagi karena menyadari kesalahannya).

Dari kisah tersebut kemudian saya paham, bahwa makhroj itu soal kebiasaan lidah, bukan soal hati. Meski begitu hal seperti ini memang bisa dilatih, dan karena dilatih, hasilnya pun tak pernah instan. Pada beberapa kasus, sangat sulit mengajari mengaji orang-orang tua di kampung-kampung dengan menggunakan makhorijul khuruf yang sesuai standar.

Akan tetapi pada kapasitas tertentu, kadang-kadang “kekakuan lidah” pada perkara ini sering dimaklumi (bukan dibenarkan). Sebab ucapan dari mulut itu urusannya masih dengan sesama manusia. Buat ngasih tahu ke orang, bukan untuk ngajarin berdialog sama Allah. Karena makhroj itu urusan lahir, bukan batin.

Dulu, saya sendiri suka jadi polisi makhroj tanpa sadar. Kalau ada bacaan yang kurang pas di telinga, bawaannya saya pengen negur—atau minimal mbatin: “ini ngajinya sama siapa sih?”

Tapi karena seringnya mendengar ngaji beberapa sesepuh di kampung-kampung, bikin saya jadi paham bahwa kadang huruf ‘ain sesuai standar itu malah kadang kalah mustajab-nya ketimbang huruf ngain dari mulut para sesepuh-sesepuh kampung.

Dan dari sana saya jadi paham, betapa sempit sekali cara pandang saya dulu. Mengukur satu standar untuk dijadikan penggaris ukuran kesalehan seseorang. Dan itu hanya bersandar pada makhorijul bacaan Alqurannya. Padahal keilmuan dan kebiasaan itu dua hal yang nggak selalu berhubungan dengan keintiman seorang hamba sama Tuhannya.

Ada orang-orang yang memang secara anatomi mulut sudah kadung terlatih bilang “Alpatekah” sedari kecil. Maksud hati Alfatikhah, tapi di mulut yang keluar berbeda. Dan mengubah hal kecil kayak begitu, jauh lebih sulit ketimbang Ivan Lanin mau bikin seluruh orang Indonesia paham buat bedain “di-” disambung atau dipisah.

Masalahnya, belakangan ini, semakin banyak yang menakar standar kebenarannya sebagai ukuran kesalehan seseorang. Sebagai paramater kedekatan seseorang dengan Tuhannya. Pada beberapa kasus, hal tersebut terasa sangat mengganggu.

Dulu saya sempat berada di garis keras bahwa beda makhroj ini memang bisa jadi beda makna. Misal qolbun (hati) jadi kalbun (Scoobydoo). Orang-orang yang nggak “bisa” fasih ini kemudian dianggap secara otomatis tidak punya kemampuan itu. Dan sayangnya hanya karena persoalan kebiasaan mulut saja orang-orang ini diremehkan kesalehannya.

Lebih pedes lagi kalau ada yang menegur modin kampung yang kebetulan sepuh, lalu pakai standar bacaan yang berbeda. “Mbah, yang bener itu bilang alfatikhah, bukan alpatekah,” katanya. Simbah ini juga tahu yang bener itu, tapi sejak dulu mulut dan bibirnya sudah terbentuk mengucapkan alpatekah. Sepanjang maknanya nggak berubah, ya nggak masalah.

Lah kalau jadi imam salat gimana? Bisa nggak sah dong salatnya?

Sekarang saya tanya: Sejak kapan rukun salat lima waktu ada bacaan fasih? Disyaratkan iya, tapi kalau jadi batas sah atau tidaknya salat, saya kok nggak pernah nemu di kitab fikih mana pun ya? Ini seperti batasan sah puasa itu pada perkara tidak makan, minum, dan tidak berhadas besar. Sepanjang yang berpuasa mau marah-marah, mencuri sandal, bergunjing di siang bolong, ya yang bersangkutan tidak batal puasanya. Karena tidak ada yang dilanggar dari syarat sahnya puasa. Kalau soal diterima atau tidak ibadahnya, nah itu sebenar-benarnya bukan urusan kita.

Memang betul ada standar makhroj bagi umat muslim sedunia, tapi karena lidah tiap ras dan suku bangsa berbeda berikut dengan bahasa ibunya, hal semacam ini memang sering kali bisa ada selisih di tiap lidah manusia. Karena beda kebudayaan bisa beda cara penulisan dan standar pengucapan.

Lha wong menulis cara ketawa saja beda-beda. Ada yang hahahahahaha, wqwqwqwqwq, jajajajaja, bhabhabhabha, xaxaxaxaxa… Padahal maksudnya sama: ketawa.

Membenarkan soal “Alpatekah” seharusnya diucapkan “Alfatikhah” itu sah-sah saja sebenarnya. Akan tetapi mengabaikan bahwa dari yang “alpatekah” itu Islam bisa diterima masyakarat sejak zaman Wali Songo seperti menghina sesepuh-sesepuh atau modin kampung yang tetap mengaktifkan surau-surau kecil yang jauh dari sorotan.

Hanya memakai standar “akademis” tidak melulu baik meskipun kenyataan terlihat lebih benar. Sebab dengan begitu, agama jadi terlihat cuma soal batas benar dan salah, dosa dan pahala, atau surga dan neraka. Melihat Islam sebagai rutinitas dan pelajaran saja, bukan kebiasaan atau bahkan kehidupan itu sendiri.

Apalagi kalau mengingat bagaimana Syaikh Kholil Bangkalan sempat diremehkan calon muridnya hanya karena dianggap bacaan Alfatihahnya tidak standar. Soalnya si murid ini merasa belajarnya dah ke mana-mana dan merasa bacaannya yang sudah sesuai standar. Lalu si murid baru tahu kemudian, bahwa dengan bacaan yang dianggapnya kurang fasih itu, ternyata banyak sekali doa Syaikh Kholil Bangkalan yang diijabahi Gusti Allah.

Sampai kemudian si murid menyadari sikap pongahnya, lalu mau berguru kepada Syaikh Kholil Bangkalan. Bersanding bersama murid-murid Syaikh Kholil yang bakal mewarnai lanskap keislaman Nusantara. Dari pendiri Pondok Pesantren Krapyak, KH. Munawwir; pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah; KH. Bisri Mustofa (Ayah Gus Mus); KH. As’ad Syamsul Arifin (pendekar dan pengasuh Pesantren Salafiah Situbondo); sampai kemudian…

…Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno.

Exit mobile version