Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek

ilustrasi Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek mojok.co

ilustrasi Adu Argumen sama Orang yang Nggak Bisa Bedain Penggunaan Kata di, Cuma Bikin Capek mojok.co

MOJOK.CO – Penggunaan kata di sebagai prefiks atau preposisi sudah diajarkan dari SD. Konon, orang yang masih nggak bisa bedain cara penulisannya nggak layak diajak berdebat.

Ada sebuah mitos yang hampir mirip kepercayaan dan banyak dipegang teguh oleh netizen Indonesia. Konon, kalau ada orang yang nggak bisa membedakan penggunaan kata di sebagai prefiks atau preposisi, lalu mengunggah pendapat yang nggak jelas di media sosial, argumennya nggak usah didebat. Soalnya, kebanyakan argumen orang-orang ini nggak masuk akal, bodoh saja belum, dan cuma bikin capek.

Sebenarnya penggunaan kata di yang dipisah dan digabung itu mudah sekali dibedakan. Kata “di” yang berfungsi sebagai prefiks atau imbuhan itu biasanya melekat pada kalimat pasif. Jadi, kata itu bisa juga diubah jadi kalimat aktif. Misalnya kata “disuruh” bisa diubah jadi “menyuruh”. Selain yang befungsi sebagai prefiks, penggunaan kata “di” berarti sebagai preposisi, misalnya “di bawah”, “di antaranya”. Buat lebih jelasnya kalian bisa lah belajar dari sini.

Jujur saja, mitos dan kepercayaan seputar “penggunaan kata di” di media sosial itu ada benarnya. Tapi, sebagai entitas yang tidak sempurna ini, saya juga kadang kasian. Ini lebih mengarah ke stereotip ngasal yang tidak berdasar dan nggak ada bukti ilmiahnya. Sayangnya, stereotip macam ini pernah saya uji coba dan secara subjektif memang mengandung kebenaran.

Seseorang yang bikin argumen ngawur dan ngetik kata “di suruh” bukan “disuruh” itu sejujurnya bikin saya geli banget. Ternyata setelah dibaca lagi, argumennya juga jauh lebih menggelikan. Ketika ada orang lain yang mendebat dan mencoba menjelaskan di mana hal yang wagu, eh si orang yang nggak paham penggunaan kata di ini justru semakin menggila. Di samping itu, hal ini bikin saya nggak fokus ke argumennya, malah fokus ke penulisan dan bagaimana dia merangkai kata. Duh, kan kebiasaan buruk buat cari-cari kesalahan orang lain, dasar editor.

Saya sebenarnya nggak berani banget buat mendebat argumen orang yang nggak paham penggunaan kata di tadi. Masalahnya bukan karena saya takut salah, justru karena kalau ngasih kritik dan menyoroti soal penulisannya, saya takut dibilang nggak asyik. Maklum lah, kalau di luar sana ada grammar nazi, di sini saya juga bisa tumbuh jadi polisi EBI atau polisi bahasa. Padahal kalau mau ngurutin semua artikel yang saya buat, setidaknya pasti ada typo, salah tik, dan kesalahan-kesalahan bodoh lain yang mungkin belum saya pahami ketika itu. Nah, kan takut jadi bumerang, saya pun ciut.

Di saat lagi ciut-ciutnya, ternyata emosi saya diuji. Belum lama ini saya menyimak di media sosial masih aja ada orang yang menulis kata “sekadar” dengan kata “sekedar. Parahnya dia pun menulis “Aku ingin merubah diriku.” Tolong lah, Anda mau menjadi rubah? Kan yang benar “mengubah”, Sayanggg. Seketika itu saya pun kepancing, udah argumennya seenak jidat, ngejekin orang lain, merasa paling benar, typing-nya pun buruk rupa. Padahal ini permasalahan yang sepele, lho. Masalah yang sebenarnya sudah diajarkan dari SD, soal penggunaan bahasa yang benar, penggunaan kata di yang benar, penggunaan awal me-, dan lain sebagainya.

Senada sama orang yang masih pakai kata “merubah” ada juga yang pakai kata “menyuci”. Ah elah, kalau huruf c kemudian melebur jadi huruf y, ya masa sih bakal ada kata “menyampakkan”, “menyuri”, “menyintai”. Hassssh, ra mashook.

Ya kalau memang belum paham betul sama penulisan yang sesuai EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) nggak masalah, tapi mbok ya ada keinginan buat belajar gitu lho. Udah ada Uda Ivan Lanin yang kadang memberikan pencerahan dengan sentuhan jokes bapack-bapack, nggak galak kayak guru bahasa Indonesia kalian pokoknya. Apa salahnya dipahami, terutama hal-hal mendasar kayak penggunaan kata di. Semakin paham, semakin ganteng typing kalian. Semakin nggak kelihatan bodoh pula argumen kalian di media sosial. Walaupun tetap bodoh, setidaknya bisa ngetik bener lah biar nggak kelihatan tambah pekok. Hindarkan diri kalian dari mitos-mitos “penggunaan kata di”.

BACA JUGA Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version