5 Alasan Kenapa Kamu Sebaiknya Nggak Perlu Masuk Mapala

Mapala

MOJOK.COWahai kalian mahasiswa baru, sebelum kalian tersesat di jalan yang keliru, saya kasih tahu ya, kalian sebaiknya jangan ikut Mapala. Serius deh, jadi anak Mapala itu berat, kalian nggak akan kuat!

“Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” Soe Hok Gie.

Kata-kata dari Gie yang saya kutip di atas adalah salah satu quote favorit anggota mahasiswa pecinta alam alias Mapala. Maklum, gara-gara kata-kata itu, orang-orang yang suka naik gunung kayak mereka, kesannya keren, gagah, cinta alam, dan yang paling penting—sehat jasmani dan rohani.

Sebenarnya sudah sejak dulu banyak mahasiswa demen naik gunung. Tapi, kegiatan ini jadi semakin digilai setelah hadirnya film 5 cm yang diangkat dari novelnya Donny Dhirgantoro pada 2012 lalu. Makanya, ketika udah jadi mahasiswa, makin banyak orang semangat untuk daftar ke Mapala.

Rata-rata keterpukauan ini akan berlanjut saat anak-anak Mapala memperkenalkan diri ketika ospek. Ya wajar, penampilan mereka mudah dikenali. Meski tidak semencolok anak-anak dari UKM Menwa, tapi siapa yang tak tergiur dengan peralatan yang mereka kenakan. Baju PDH, helm, hardness, carabiner, serta tali karmantel yang menggulung di badannya.

Apalagi, di kampus saya, Mapala ini memperkenalkan diri ketika ospek dengan cara unik—kalau nggak mau dibilang ribet. Di saat yang lain paling cuma baris doang saat masuk gedung, mereka sampai harus lompat dari gedung lantai 6 kayak Jacky Chan.

Anyway, sebenarnya dari sini aja kita bisa tahu kalau jadi anak Mapala itu nggak sederhana. Lha wong dari proses pengenalannya aja ribet, apalagi nanti kalo udah jadian. Eh, maksudnya nanti kalo udah jadi anggota.

Maka dari itu, saya mau kasih tahu kalau masuk Mapala bukan pilihan yang tepat buat mahasiswa baru kaya kalian. Jangan sampai kalian terkecoh dengan atraksi mereka yang keren ketika ospek. Itu semua cuma atraksi. Serius. Di kenyataannya sih nggak bakal mereka begitu juga.

Kalau alasan di atas masih belum cukup memperlihatkan kepada kalian keribetan jadi anak Mapala, nih saya kasih tahu lima alasan lain kenapa kamu sebaiknya nggak usah jadi anak Mapala.

Kerjaannya bukan naik gunung doang

Ketika memilih menjadi anggota Mapala, hal yang harus kamu tahu adalah kamu nggak hanya akan diajari cara mendaki gunung doang. Ada banyak divisi di sini. Kamu harus menyelesaikan beberapa tahapan dulu, seperti pra-pendidikan dasar, pendidikan dasar, dan pengembaraan. Sebelum akhirnya bisa fokus pada satu divisi aja.

Di kampus saya—misalnya—Mapala punya tiga divisi. Gunung hutan, gua, dan panjat tebing. Artinya, ada banyak hal yang bisa kamu lakukan ketika menjadi Mapala. Jangan cuma mikir asal udah bisa naik Gunung Semeru terus persoalan udah selesai. Nggak gitu. Maka dari itu, kalau kamu daftar cuma ingin naik gunung doang, ya kamu salah sasaran.

Harus punya rasa kemanusiaan yang tinggi

Meningkatnya aktivitas pendakian beberapa tahun terakhir, ternyata juga dibarengi dengan banyaknya kecelakaan pendaki. Paling tidak kecelakaan pendaki selalu meningkat dalam 4 tahun terakhir ini, pada 2018 saja ada 16 kasus pendaki tersesat dan hilang.

Nah, Mapala sering juga dilibatkan dalam operasi SAR yang dipimpin oleh BASARNAS. Nggak hanya dalam pencarian orang hilang di gunung aja, tapi juga ketika ada bencana alam atau musibah lain.

Jadi kalau daftar cuma karena pengin selfie-selfie aja dan ogah kerja untuk kemanusiaan yang nggak dibayar, mending kamu konsen kuliah aja. Siapa tahu lulus langsung jadi pengusaha MLM yang sukses ya kan?

Nggak boleh egois

Apa?? Kamu orangnya egois?? Ampun. Jika benar gitu, saya jamin, kamu sudah pasti nggak bakal betah di organisasi ini. Di sini, kepekaan dan rasa tolong menolong dibangun dengan tinggi, kadang-kadang malah ketinggian.

Niatnya saling mengingatkan, eh, malah saling berbagi perasaan, “Capek ya? Istirahat aja dulu, nih aku ada minum. Aku pijitin sini.”

Ealah, mooodhuuuss.

Harus mau hidup kere

Kamu mahasiswa yang uang sakunya di atas UMR tapi ogah dengan gaya hidup kere? Meski alat-alat pendakian gunung terbilang cukup mahal dan kamu sudah pasti kuat untuk beli, tapi asal kamu tahu, anak Mapala sering pinjem alat ke kampus lain. Bukan karena nggak ada duit, tapi karena kami jiwa sosialnya tinggi aja. Termasuk jiwa sosial ngerepotin orang lain.

Maka jadi hal lumrah kalau hubungan antara Mapala satu kampus dengan kampus lainnya begitu akrab. Jangankan cuma numpang pinjam doang, kadang kami juga bisa nginep di sekretariat Mapala kampus lain—jadi bisa ngirit untuk biaya penginapan. Jadi kalau kamu nggak bisa hidup modal kere seperti itu, ikut Mapala jelas akan membuatmu tersiksa.

Bikin kuliahmu lama

Mapala dan mahasiswa abadi adalah mitos yang sangat sakral. Kalau ada anak Mapala kok kuliahnya cepet, itu jelas cuma anomali. Perbandingan itu bisa terjadi kayaknya satu banding 1 triliun.

Bahkan gara-gara saking kentalnya stigma ini, sampai muncul istilah lain dari akronim “Mapala”, yakni: mahasiswa lulus paling lama seantero jagat raya sampai bikin nangis orang tua, bikin ghibah tetangga, dan dicuekin calon mertua. Lah kok panjang amat?

 

Exit mobile version