3 Masalah yang Muncul dari Budaya Spill Pelaku Pelecehan Seksual

spill the tea, pelecehan seksual, consent, catcalling, UU ITE mojok.co

spill the tea, pelecehan seksual, consent, catcalling, UU ITE mojok.co

MOJOK.COBudaya spill pelaku pelecehan seksual sedang marak terjadi. Namun banyak masalah muncul dari niat baik tersebut.

Ibarat map di PUBG, Twitter itu sama dengan Sanhok. Keributan bisa ditemukan di mana saja, mau di tempat paling rame atau paling sepi sekali pun. Gairah bertarungmu meluap-luap? Nggak perlu disalurkan di ring, salurkan saja di Twitter.

Belakangan ini, keributan yang marak ditemukan di Twitter adalah tentang spill identitas pelaku pelecehan seksual. Membocorkan identitas pelaku kekerasan seksual di Twitter punya tujuan untuk memberi hukuman sosial kepada pelaku. Mereka pantas dipermalukan atas segala kebejatan yang mereka lakukan.

Ada beberapa masalah yang muncul dalam membocorkan identitas pelaku pelecehan seksual di media sosial.

Pertama, membocorkan identitas pelaku pelecehan seksual melanggar asas praduga tak bersalah. Seseorang tidak bersalah hingga pengadilan membuktikan dia bersalah. Asas ini penting, karena tidak jarang juga keributan di medsos berasal dari ruang kosong, alias tipu-tipu.

Jika ternyata tuduhan yang ditujukan itu palsu, orang yang dituduh pelaku bisa jadi “kehilangan” hidupnya. Ya gimana nggak, identitas udah kesebar, udah dihujat banyak orang, ternyata tuduhannya palsu.

Kedua, pembocoran identitas pelaku pelecehan seksual ini justru rentan dilaporin balik. Pelaku, entah bersalah atau tidak, bisa menggunakan UU ITE untuk melaporkan balik dengan alasan pencemaran nama baik.

Ketiga, dan yang paling penting, yaitu tindakan ini bisa membuat trauma yang dialami korban jadi lebih dalam. Niat awal memberi hukuman pada pelaku, yang terjadi malah korban ikutan dihakimi oleh para netijen.

Orang Indonesia masih belum melek masalah pelecehan seksual. Catcalling dianggap normal, wanita disamakan dengan ikan asin, korban perkosaan dihakimi masalah pakaian, pria diperkosa dianggap “beruntung”, adalah contoh bahwa jalan kita masih begitu panjang dalam pemberantasan pelecehan seksual.

Pengetahuan dasar tentang kegiatan yang termasuk pelecehan saja masih susah dimengerti, apalagi memberantas.

Yang harus diperhatikan dalam penanganan pelecehan seksual adalah fokus kepada korbannya. Pastikan korban pelecehan harus mendapat support system yang bagus, mendapat akses untuk pemulihan dan perlindungan.

Kita harus tau apa yang korban mau lakukan, itu hal paling penting yang harus diketahui. Kalau korban memang belum siap, membuat utas panjang untuk spill identitas pelaku malah membuat korban menjadi rentan akan perisakan.

Penanganan pada korban harus jadi prioritas, bukan spill-nya. Jika memang korban siap dan identitas pelaku harus diketahui publik dengan tujuan agar orang lain tidak menjadi korban, menyebarkan identitas pelaku menjadi hal yang wajib. Tapi lagi-lagi ingat, itu harus seizin korban.

Nggak lucu juga kan kita mau melawan pelecehan seksual tapi bertindak di luar consent?

Saran saya, kalau memang tidak tahu dan kemungkinan cangkemmu tidak bisa dikondisikan, nggak usah urun rembug. Kita nggak harus ikut ribut untuk hal yang tidak kita mengerti. Jadilah obor yang menerangi, bukan jadi obor yang bakar-bakari.

BACA JUGA One Piece Mungkin Ceritanya Bermasalah, tapi Naruto Jelas-jelas Sampah dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.

Exit mobile version