3 Alasan Tidak Ingin Punya Anak Bukanlah Sikap Egois

MOJOK.CO – Prinsip tidak ingin punya anak sering dianggap egois oleh masyarakat. Namun, ternyata ada alasan yang mereka pertimbangkan supaya tidak menjadi egois dengan punya anak.

Kita hidup di dunia ini, sebenarnya yang dibutuhkan adalah kebahagiaan. Apa yang kita usahakan ya biar ngerasa bahagia. Untuk bahagia sendiri banyak yang bisa kita lakukan. Nah, kalau menurut rangkuman riset dari Badan Pusat Statistik (BPS) nih, ada 10 aspek yang menyumbangkan kebahagiaan serta tingkat kepuasan hidup bagi diri kita.

Diantaranya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, rumah tangga, keharmonisan, keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Dari 10 aspek yang disebutkan di atas, penyumbang kebahagiaan orang Indonesia terkecil adalah pendidikan, sedangkan penyumbang terbesarnya adalah dari aspek keharmonisan keluarga.

Maka dari itu, untuk dapat merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup, mayoritas masyarakat Indonesia berusaha untuk membuat sebuah keluarga yang harmonis. Lantas, menikah dan memiliki anak merupakan salah satu solusi yang ditawarkan.

Wah, jadi ingat salah satu larik dalam puisi Tak Sepadan-nya Chairil Anwar nih, “Kau kawin, beranak, dan berbahagia.” Gimana? Sudah mirip dengan doa-doa para orang tua kita kan? Yang berharap kita segera menyelesaikan pendidikan—oke ini opsional, kan pendidikan bukan jadi sumber kebahagiaan yang besar. Lantas memiliki penghasilan, menikah, dan punya anak.

Mungkin memang begitu alur yang seharusnya, supaya kita dapat merasakan sebuah kepuasan hidup yang sesungguhnya.

Tapi ternyata, banyak orang yang tidak mengamini hal-hal yang berbau seharusnya. Apalah alur semacam itu. Masak ya semua orang harus punya alur hidup yang sama. Mereka menganggap, bahwa sebuah kebahagiaan tidak hanya didapatkan dengan sebuah pernikahan atau dengan sukses memiliki momongan.

Ada teman saya yang memilih untuk tidak menikah. Dia lebih tua beberapa tahun di atas saya, dan teman-teman seusianya rata-rata sudah menikah dan memiliki anak pertama. Tentu banyak orang yang menganggap hidupnya sungguh menyedihkan. Tapi toh, setiap saya bertemu dengannya, dia tidak pernah terlihat semenyedihkan itu.

Jangankan memilih untuk tidak menikah. Menikah dengan usia yang dirasa sudah terlalu tua atau terlambat pun, dianggap memalukan. Namun ternyata, bukan berarti ketika kita memutuskan untuk menikah, maka masalah telah usai. Ohhh, tidak seperti itu, Saudara-saudara. Masih ada tantangan selanjutnya, yakni punya anak!

Masalah punya anak ini, tidak cukup hanya tepat waktu saja, namun juga di waktu yang tepat. Jangan sampai terlalu lama atau terlalu cepat. Camkan itu! Terlalu lama punya anak bisa jadi bahan pertanyaan orang-orang sekitar. Ehm, apalagi kalau terlalu cepat, bisa jadi sasaran empuk bahan gunjingan yang bikin aaaarrgggghhh!

Lalu, apa kabar dengan pasangan suami istri—seperti teman saya yang lain—yang sejak awal memang memutuskan untuk tidak ingin punya anak? Tentu saja, acara keluarga akan menjadi acara yang, “Tolong, ini cari alasan apa lagi buat nggak ikutan??!!!!”

Memutuskan tidak ingin punya anak di Indonesia, menjadi sebuah keputusan yang besar dan berat untuk diambil. Sebab, masyarakat kita menilai keluarga dengan—setidaknya dua—anak merupakan keluarga yang ideal. Semakin terasa berat, karena berbagai lini sosial media—apalagi Instagram—penuh dengan foto bayi-bayi lucu dan menggemaskan. Jadi, kalau kamu nggak kuat, jadilah pasangan yang menganut prinsip tidak ingin punya anak dan tidak pakai sosial media.

Teman saya nih, ketika dia dan istrinya memutuskan tidak ingin punya anak, langsung aja dianggap egois dan memikirkan dirinya sendiri. Tidak hanya oleh tetangga dan keluarga jauh. Namun oleh teman dekat dan orang tuanya sendiri. Pasalnya, tidak ingin punya anak dianggap sebatas mereka tidak sanggup merawat anaknya atau tidak bersedia jika hidupnya digunakan untuk merawat generasi penerusnya.

Yang kemudian jadi agak lucu dan ironi, anggapan egois itu lantas dilanjutkan dengan pernyataan, “Kalau kamu tidak punya anak, nanti siapa yang akan merawat kamu waktu kamu sakit dan sudah tua nanti? Anak itu investasi loh!” Yap, sebuah pernyataan yang justru menjelaskan betapa egoisnya seseorang jika memutuskan untuk memiliki anak.

Merasa tidak baik secara keuangan dan belum mampu hidup mapan, belum mampu menjadi orang tua yang baik dan tidak tahu cara mendidik generasi baru, ataupun ada keinginan untuk fokus berkarier, merupakan alasan-alasan yang sering dianggap, ‘apa banget’ atau klise oleh masyarakat. Padahal, ada alasan-alasan lain yang juga dipertimbangkan sehingga memutuskan untuk tidak punya anak. Diantaranya,

Pertama, dulu para nenek moyang kita memutuskan untuk meneruskan keturunan supaya manusia tidak punah. Oleh karenanya, kita butuh untuk beranak-pinak. Toh, bumi juga masih sangat luas. Masih sangat-sangat cukuplah untuk diisi oleh anak-cucu. Lantas tidak mengherankan jika peradaban selanjutkan menganggap menikah dan memiliki anak adalah sebuah kebutuhan.

Namun, dengan keadaan bumi saat ini, mereka yang tidak ingin punya anak menganggap bahwa keadaan bumi sudah terlalu padat. Jadi, kalau kita masih membuat anak untuk meneruskan keturunan, akan sampai kapan bumi sanggup menampung?

Kedua, dengan keadaan yang dijelaskan di atas, maka orang-orang yang tidak ingin punya anak ini, merasa kasihan dengan bumi dan anak mereka nanti, jika memaksakan untuk meneruskan keturunan. Kasihan kepada bumi karena dengan semakin banyaknya populasi, maka semakin banyak pula bagian tubuh bumi yang dirusak untuk menghidupi.

Sedangkan kasihan kepada anaknya sendiri, karena merasa dunia tidak akan sanggup lagi menciptakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan anak mereka. Apalagi dengan keadaan dunia yang penuh dengan nyinyiran lambe turah, jalanan yang penuh amarah, dan perempuan yang punya senjata terserah.

Ketiga, mereka masih memiliki alternatif lain untuk tetap merasa memiliki anak, meski tidak benar-benar dari keturunan mereka, yakni dengan mengadopsi. Mereka memahami bahwa masih banyak anak di dunia  yang hidup sendiri dan tidak merasakan kasih sayang orang tua mereka secara nyata. Lantas, adopsi menjadi cara yang bisa jadi jawaban.

Pilihan nggak pengin punya anak memang seolah-olah sedang mengacaukan tatanan hidup yang sudah ada di masyarakat sejak lama. Jadi ya, wajar-wajar aja kalau dapat cibiran dari sana-sini. Tetapi, masalah pengin punya anak atau nggak, sebenarnya itu sudah jadi ranah privasi masing-masing orang. Apa? Ranah privasi? Kita kan hidup di Indonesia, nggak perlu protes dong ketika seluruh aspek kehidupan kita disorot.

Eh tunggu, kalau memang nggak pengin punya keturunan, lalu untuk apa rahim diciptakan? Bukankah semua yang diciptakan Tuhan memiliki alasan?

Exit mobile version