Pilkades dalam Ingatan Saya, Cucuk dan Dukun adalah Kunci Kemenangan

Sejujurnya, saat sudah memiliki hak suara saya tak lagi berminat untuk memilih. Di mata saya, pemilu memang kurang menarik. Barangkali pula kemalasan yang benar-benar menyebabkan saya selalu golput. Satu-satunya momen politik elektoral yang menyenangkan dalam hidup saya justru cuma pilkades.

konsultasi pilkades ke dukun

Ilustrasi salah satu kunci memenangkan pilkades; konsultasi ke dukun (Mojok.co)

MOJOK.CO – Windi mengaku sepanjang hidupnya belum pernah nyoblos saat pemilu. Tapi dia sangat antusias menceritakan pemilihan kepala desa (pilkades) di masa kecilnya dulu. Ingatan mengenai betapa meriahnya pesta politik di desa terus melekat sampai sekarang.

Pemilihan kepala desa (pilkades) di suatu desa bagian barat Kabupaten Sidoarjo adalah prosesi pemungutan suara yang masih samar-samar saya ingat sebagai hajat politik yang sungguh-sungguh layak jika menyebutnya sebagai “pesta” karena kemeriahannya. Saya lahir dan tinggal di sana selama 16 tahun. Jadi, setidaknya terjadi dua kali pilkades yang saya ingat selama kurun waktu tersebut.

Saat itu, kepala desa incumbent mencalonkan diri kembali dan terpilih. Kemudian, di periode berikutnya istri kepala desa maju sebagai calon bu kades, namun gagal sehingga kami tidak jadi memiliki kepala desa perempuan kala itu.

Hal-hal yang terjadi selama proses pilkades ini hadir di depan mata karena kebetulan saya tinggal di rumah dinas puskesmas di dalam area balai desa.

Juru kampanye bikin warga berpartisipasi

‘Cucuk’ adalah istilah yang untuk masyarakat setempat menyebut juru kampaye masing-masing kepala desa. Jumlah juru kampanye ini mungkin tidak banyak, namun cucuk sangat aktif dalam melancarkan propaganda. Mereka tidak selalu menjual visi dan misi yang calon tawarkan. Mereka membawa amplop berisi uang yang tak seberapa mendekati hari-H pencoblosan, tapi bukan itu fungsi dan tugas utamanya.

Menurutku, inti dari masa kampanye pilkades saat itu bukanlah politik uang dan politik gagasan. Strategi suksesnya kampanye tidak berpusat pada keuntungan yang calon pemilih dapatkan, atau seberapa hebat kandidat lurah yang sedang berkampanye, tapi partisipasi warga merupakan kuncinya.

Warga di kampungku dulu terlihat sangat menikmati menjadi bagian dari kampanye. Proses kampanye masa itu kalau kubayangkan sekarang, mirip sebuah gerakan. Para calon pemilih turut andil memeriahkan event akbar ini, dan kelak mereka juga turut menjadi bagian dari pembangunan desa di kemudian hari.

Peran cucuk sangat krusial. Karena ia bisa memantik sekaligus mengarahkan obrolan ringan menjadi tetap hangat dan kondusif. Berkat kehadiran cucuk di tengah-tengah kumpulan yang sedang ngobrol ngalor-ngidul, warga merasa menjadi bagian dari gerakan politik.

Cucuk harus bisa merasakan apa yang warga rasakan. Cucuk juga harus bisa pula menjadi bagian dari gosip yang tengah beredar di antara calon pemilih. Bagaimana interaksi ini berkembang menjadi intim dan tetap terarah adalah kunci dari kemenangan calon kepala desa yang. Dengan kata lain, cucuk harus menjadi sekutu calon pemilih sehingga sebaliknya, warga juga akan merasa aman menjadi sekutunya. Ya, cucuk adalah penyambung lidah rakyat.

Suatu kali, ada pasangan suami istri yang bercerai karena masing-masing merupakan cucuk yang menjagokan calon yang berbeda. Sang istri menjadi cucuk karena ia adalah anak kemenakan salah satu calon, namun suaminya mendukung calon yang berbeda.

Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa menjadi cucuk adalah pekerjaan yang sangat serius. Meskipun durasi masa kampanye tergolong singkat dan saya pikir komisi menjadi cucuk juga tidak seberapa, tapi mungkin aliansi yang terbentuk saat proses kampanye bisa berguna sebagai aset sosial yang membawa keuntungan di kemudian hari.

Menanti ketiban pulung dan kentungan bertalu

Selain cucuk, pulung menjadi salah satu aspek penting dalam perayaan pilkades. Pulung adalah pertanda spiritual yang konon merupakan petunjuk siapa yang bakal menang dalam kontestasi ini. Oleh karena itu, masing-masing calon berikhtiar untuk mendapatkan pulung tersebut dengan mengadakan acara doa-doa. Tak sedikit juga yang menghadirkan pertunjukan tradisional seperti pagelaran wayang yang seringkali masyarakat menganggapnya sakral.

Secara umum, masyarakat Jawa percaya bahwa pulung turun dalam bentuk cahaya dari langit menuju ke rumah orang yang beruntung (ketiban pulung). Namun, ada juga tanda-tanda lain yang terasa lebih khas terkait ciri lokalitas setempat. Tanda khas itu di desa saya dulu adalah bunyi kenthongan.

Konon kenthongan tersebut dapat bertalu sendiri jika akan terjadi peristiwa besar di desa, misalnya kemalingan, kematian, ataupun jika ada warga yang akan dapat untung besar. Kenthongan di desa saya adalah pusaka desa. “Memenangkan kenthongan” menjadi hal yang penting, yang entah bagaimana wangsitnya, namun pertanda itu dipercaya tidak akan salah.

Seingat saya, sang calon akan meletakkan sesajen di kenthongan yang terletak di balai desa. Jika berbunyi, nah itu pertanda bagus.

Kalau dipikir-pikir kembali, kenthongan atau kentungan tidak hanya sebagai simbol dari suara atau dukungan namun juga connaissance—bentuk dominasi atas respon masyarakat terhadap fakta. Yang mana kebenarannya—dari suara kenthongan itu sendiri—dianggap imanen karena kenthongan adalah perwujudan kewaspadaan komunal masyarakat sekitar.

Dukungan dukun secara psikologis

Ritual doa bersama merupakan tradisi yang sudah lama terjadi dan terus lestari pada masa itu. Tapi, mungkin masih kurang cukup. Usaha masing-masing calon tidak berhenti sampai di situ. Tentu saja, mereka berkonsultasi pula ke dukun.

Dukun adalah pakar atau ahli profesional yang konon dapat menuntun para calon kades ke jalan kemenangan. Seorang, dua, atau bahkan beberapa dukun sekaligus bisa dimintai tolong oleh para calon untuk mengatrol tingkat elektabilitasnya ataupun menaikkan karismanya sebagai pemimpin. Dukungan dukun ini secara psikologis terbukti dapat membantu membangun rasa percaya diri dan membentuk citra yang ingin ditampilkan masing-masing calon.

Adu kanuragan pun dilakukan secara tak kasat mata. Namun, saling gertak dalam metode passive agressif ini memang punya efek yang nyata. Cucuk kembali hadir di sini sebagai pemantik gosip tentang adu kesaktian yang sebenarnya tidak secara langsung disaksikan, tapi hidup dalam bayangan kepala warga.

Adu kanuragan sebenarnya memang agak absurd untuk dideskripsikan. Tapi kabar bahwa calon A bisa mendatangkan batu permata, calon B bisa membuat keris berdiri, atau calon C tidak mempan dibakar adalah topik hangat yang mengarah kepada siapa yang lebih sakti dan jimat siapa yang lebih kuat.

Hadirnya dukun dalam ajang laga politik ini merupakan salah satu komponen wajib di tengah perebutan jabatan sebagai pemimpin desa.

Dukun di sini adalah imaji tentang kekuatan pihak luar yang mendukung salah satu calon. Sehingga, semakin banyak dukun yang di-hire seorang calon kades, dianggap makin kuat calon tersebut. Tentu, calon-calon elite politik ini sudah menyediakan sumberdaya seperti sejumlah duit dan barang tertentu, agar dukun berkenan melakukan akad politik dengan mereka.

Konsultasi politik antara dukun dan calon lurah

Saya melihat peran dukun di dinamika pilkades memang dengan cara yang berbeda. Karena sejujurnya, bapak saya yang sehari-hari merupakan mantri (perawat) puskesmas cum seorang dukun. Tapi ia bukanlah seorang dukun spesialis kampanye. Sehari-hari ia sebatas melayani warga yang anaknya perlu disuwuk (dijampi-jampi dengan tujuan penyembuhan atau agar si anak sukses disapih).

Profesi bapak sebagai mantri mengantarnya jadi orang yang penting dalam masyarakat. Meski sudah lama tinggal di sana, masyarakat akan selalu menganggapnya sebagai “orang luar”. Orang-orang seperti bapak adalah pemilih dengan kategori khusus. Ia dianggap punya pandangan berbeda karena lebih berjarak dengan penduduk asli dan merupakan orang-orang yang suatu saat akan pergi.

Menggandeng orang-orang seperti bapak adalah nilai lebih, namun bapak sendiri juga harus sangat berhati-hati agar keberadaannya di sana tetap diterima masyarakat dari golongan manapun.

Melihat persaingan dalam laga politik lokal tingkat desa ini sangat mengasyikan bagi saya yang waktu itu masih anak-anak. Bagaimana tidak, saya mengenal sosok masing-masing calon kepala desa, begitu juga dengan cucuknya. Politisi dari Partai Singkong dan Jagung bergantian mengunjungi bapak saya, bercakap-capap biasa, dan saya menguping dari balik pintu kamar.

Saya juga gembira ketika datang ke sebuah acara kampanye, seperti orkes dangdut dan pagelaran wayang. Acara-acara seperti itu selalu menarik perhatian paklik-paklik penjual jajanan kala itu.

Tingkah aneh masing-masing kelompok pendukung yang menjalankan “pra-syarat” dari para dukun secara visual sangat sinematis. Suatu kali, saya pernah melihat tim pendukung seorang calon lari bertelanjang kaki mengelilingi balai desa. Mereka juga biasa menaruh sesuatu di balai desa sesuai instruksi dari sang dukun.

Kalau sekarang ingat-ingat kembali, kesederhanaan dalam persaingan politik inilah yang membuatnya seru. Masing-masing calon harus mampu menyatakan bahwa ia sosok yang kuat—tanpa adu gontok, yang terwujud dari bagaimana ia mampu menggandeng dukungan dari dalam (cucuk) maupun dari kekuatan luar (dukun).

Terserahlah dengan “visi-misi” pemimpin. Idealnya, kemaslahatan akan berpihak pada pemenang dan pesta politik ini selalu menghadirkan banyak cerita secara transparan. Ah, saya jadi merindukan momen pilkades.

Penulis: Windi Wahyuningtyas
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Masa Jabatan Kepala Desa Tak Masuk Akal, Hanya Lahirkan Korupsi dan Oligarki

Exit mobile version