MOJOK.CO – Pemimpin perempuan yang memiliki latar belakang dinasti politik kerap jadi sorotan. Kinerjanya sering kali tidak dilihat sebagai hasil dari kemampuannya, melainkan dari kekerabatannya. Bias semacam ini perlu terus dikritisi.
Dinasti politik sudah tidak asing lagi di dunia politik Indonesia. Praktik ini sebetulnya juga terjadi di banyak negara. Salah satu poin negatif dari adanya dinasti politik, praktik ini dapat mengikis demokrasi karena check and balance di pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana mungkin terjadi check and balance kalau yang mengisi posisi strategis merupakan kerabat sendiri yang secara turun menurun memonopoli politik.
Peneliti Cakra Wikara Indonesia (CWI) Mia Novitasari mengamini bahwa dinasti politik merupakan praktik buruk dan tidak sehat bagi demokrasi Tanah Air. Karena politik semacam ini memperkecil peluang orang-orang potensial non-dinasti duduk di kursi pemerintah. Sementara, politisi dinasti yang terpilih cenderung mengutamakan kepentingan kelompoknya.
Perempuan dan dinasti politik
Akan tetapi, Mia juga mengkritisi bagaimana praktik dinasti politik lebih sering dikaitkan dengan kader perempuan. Padahal praktik ini juga dilakukan oleh kader laki-laki. Seolah-olah dinasti politik menjadi masalah khas perempuan saja.
“Media terkesan berat sebelah ketika yang terpilih itu dinasti perempuan, disorotnya bisa habis-habisan,” jelas Mia kepada Mojok belum lama ini.
Padahal berdasar riset yang pernah dilakukannya, ada juga perempuan berlatar belakang kekerabatan politik yang memang memiliki rekam jejak cemerlang. Laporan riset CWI berjudul “Kepemimpinan Politik Delapan Kepala Daerah Perempuan: Tarik Ulur Relasi dan Identitas” yang diterbitkan pada 2021 mencatat, ada beberapa pemimpin daerah perempuan yang memiliki rekam jejak politik lebih panjang dibanding suami maupun keluarga lain yang terjun di dunia politik. Hasil kerja pemimpin perempuan ini juga lebih nyata dibanding kerabat lain yang pernah menjabat sebelumnya.
Adapun beberapa pemimpin perempuan yang menjadi narasumber riset itu adalah Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Faida (Bupati Jember, Jawa Timur), Sri Sumarni (Bupati Grobogan, Jawa Tengah), Mirna Annisa (Bupati Kendal, Jawa Tengah), Anne Ratna Mustika (Bupati Purwakarta, Jawa Barat), Cellica Nurrachadiana (Bupati Karawang, Jawa Barat), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya, Jawa Timur), dan Dewanti Rumpoko (Walikota Batu, Jawa Timur)
Sepanjang pengamatan Mia, di ranah legislatif pun juga ada perempuan-perempuan berlatar belakang kekerabatan politik, tapi tetap lantang mendorong isu-isu perempuan dan kesetaraan di komisi.
Memang, tidak semua politisi dinasti punya rekam jejak baik dan kinerjanya nyata saat menjabat. Tidak sedikit yang kurang kompeten dan memanfaatkan posisinya demi kepentingan kelompoknya. Namun, kondisi tersebut tidak serta merta bisa menstigma pemimpin perempuan. Apalagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik memiliki banyak aspek yang perlu dilihat kembali.
Perempuan punya tantangan lebih besar
Dinasti politik terlihat seperti karpet merah bagi perempuan. Punya latar belakang kekerabatan sama halnya mengeliminasi hambatan-hambatan yang biasa dihadapi perempuan-perempuan non-dinasti. Misalnya, perempuan yang berangkat dari dinasti politik relatif lebih mudah mendapat restu untuk berkarir sebagai politisi dibandingkan mereka yang non-dinasti.
Selain itu, politisi dinasti cenderung lebih siap secara modal material untuk bertarung dalam pemilu. Sudah jadi rahasia umum, bertarung dalam pemilihan kepala daerah maupun legislatif memang memerlukan dana yang besar.
Di atas baru sedikit gambaran privilese perempuan-perempuan dalam dinasti. Bisa dibayangkan betapa besar upaya yang diperlukan perempuan non-dinasti untuk bisa melenggang ke pemilu. Hambatan sosio-kultural terkadang terlebih dahulu menggugurkan perempuan-perempuan potensial sebelum politik dinasti menghambat.
Hambatan sosio-kultural sifatnya sistemik mengingat patriarki masih langgeng di masyarakat. Ini bisa berbentuk beban ganda sehingga kesempatan perempuan untuk berkarir di dunia politik kian sempit. Belum lagi suburnya anggapan bahwa perempuan tidak layak turun ke ranah publik, terlebih menjadi pemimpin.
Rendahnya komitmen parpol
Perjalanan perempuan terjun ke dunia politik juga diperberat oleh parpol yang belum memiliki komitmen serius untuk mengkader perempuan. Padahal parpol merupakan kendaraan utama seseorang terjun ke politik.
“Ini bisa dilihat dari berapa banyak parpol yang punya aturan kuota internal bagi perempuan yang duduk di posisi strategis, di DPP saja misalnya. Bisa dilihat juga berapa besar sih persentase pendanaan partai yang digunakan untuk pemberdayaan perempuan atau pelatihan kader perempuan?” terang Mia.
Parpol cenderung merekrut kader perempuan hanya demi memenuhi kuota afirmasi 30 persen supaya bisa bertanding di pemilu. Rendahnya komitmen itu membuat parpol melakukan pengkaderan secara instan. Perempuan yang tidak mendapat pelatihan memadai selayaknya kader laki-laki berujung pada ketimpangan kemampuan antara kader laki-laki dan kader perempuan. Ketimpangan kemampuan itu membuat kader perempuan kalah bersaing di pertarungan politik.
Akhirnya, mereka yang bertarung memperebutkan posisi strategis berasal dari dinasti lagi. Akan sangat baik apabila politisi dinasti ini mau berlajar dan berkembang untuk memperjuangkan isu-isu perempuan dan kesetaraan. Namun, menjadi masalah kalau politisi dinasti yang menjabat sakadar memupuk keuntungan bagi kelompoknya.
Melihat kondisi itu, Mia menekankan, pentingnya peran pemilih perempuan dan masyarakat sipil. Masyarakat perlu memilih secara kritis dengan menilik rekam jejak politisi. Di samping itu, masyarakat juga bisa terus mengawal isu perempuan dan kesetaraan, mengawasi mereka yang sudah terpilih, serta melakukan advokasi. Parpol juga memainkan peran penting untuk menghadirkan kader-kader perempuan yang berkualitas. Tidak hanya memenuhi dari sisi kuantitas, parpol perlu merekrut kader-kader yang berpihak pada isu perempuan dan kesetaraan warga.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi