Larangan Hijab dalam Industri Perhotelan: Antara Hijabophobia atau Upaya Mengatur Tubuh dan Penampilan?

Larangan Hijab dalam Industri Perhotelan: Antara Hijabophobia atau Upaya Mengatur Tubuh dan Penampilan? MOJOK.CO

Ilustrasi Larangan Hijab dalam Industri Perhotelan: Antara Hijabophobia atau Upaya Mengatur Tubuh dan Penampilan?

Sebagai orang yang setidaknya (gak banyak-banyak amat) belajar mengenai pariwisata. Entah sudah berapa kali saya mendengar ungkapan bahwa pariwisata adalah sektor yang inklusif. Mulai dari diskusi ruang kelas sampai seminar atau workshop ke-pariwisata-an yang dibuka oleh pejabat dari berbagai level. Saya jadi percaya bahwa sektor ini adalah sektor yang sangat welcome bagi siapapun. 

Akan tetapi setelah membaca tulisan Hamman Izzudin di Mojok mengenai sisi gelap pekerja hotel di Jogja. Saya agaknya mulai mempertanyakan nilai inklusivitas yang acapkali digembar-gemborkan dalam industri pariwisata.

Salah satu yang kemudian menarik perhatian saya adalah tentang larangan berhijab di beberapa hotel. Sebagai disclaimer memang tidak semua hotel melarang pegawai-nya untuk memakai hijab. Akan tetapi pelarangan hijab dalam industri perhotelan merupakan masalah yang nyata terjadi serta “merusak” klaim inklusivitas dalam industri pariwisata.

Seturut cerita dari beberapa perempuan yang pernah magang atau bekerja di industri perhotelan. Mereka diminta untuk tidak memakai hijab apabila sedang berhadapan dengan klien. Salah satunya cerita dari G yang mengaku dilarang oleh boss-nya untuk berhijab, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Akan tetapi tak berhenti di situ, ketika G  mencoba melamar kerja di beberapa hotel di Jogja. Salah satu syarat yang diajukan pihak hotel adalah ia tidak boleh menggunakan jilbab selama jam kerja.

“Pengaturan tubuh” dalam industri pariwisata

Dalam beberapa studi, upaya pelarangan hijab dalam dunia perhotelan acapkali dikaitkan dengan fenomena islamophobia dan hijabophobia yang merebak pada medio abad Ke-21. Akan tetapi, larangan berhijab dalam industri perhotelan bukan hanya tentang islamophobia dan hijabophobia. 

Dalam Creamy and seductive: Gender surveillance in flight attendant work (2023), Smith menyatakan bahwa: “Industri pariwisata  merupakan industri yang lekat dengan kebijakan kepengaturan tubuh dan penampilan”. Misalnya, perempuan berhijab acapkali dianggap tidak sesuai dengan corak industri pariwisata yang menuntut pekerjanya untuk berpenampilan creamy and seductive

Sederhananya, seperti pengalaman G bahwa saat bertemu dengan klien, atasannya kerap memintanya untuk tidak menggunakan hijab dengan dalih identik dengan terorisme, dan masih banyak lagi. 

Dalam beberapa kasus, pengaturan tubuh dan penampilan yang industri pariwisata lakukan acapkali berdalih memenuhi kebutuhan customer. Fakta bahwa hijab merupakan identitas budaya-keagamaan tertentu seringkali dikhawatirkan akan mengabaikan aspek inklusifitas dan egaliter dari industri tersebut. Selain itu, tenaga kerja yang “estetik” sangat penting dalam industri pariwisata. Tidak jarang perusahaan menetapkan pedoman mengenai penampilan fisik karyawannya untuk membantu mengatasi layanan pariwisata yang bersifat tidak berwujud.

Lemahnya bargaining power perempuan

Dari sudut pandang makroekonomi, kebijakan ini juga sangat dipengaruhi oleh persaingan antar-perusahaan di industri pariwisata. Hal ini terbukti dengan banyak perusahaan pariwisata menerapkan standar yang relatif sama mengenai penampilan. Salah satunya adalah larangan berhijab, khususnya bagi pegawai perempuan di front office.

Perempuan kemudian menjadi pihak yang paling terdampak atas pengaturan tubuh dan penampilan ini. Hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya bargaining power perempuan di tempat kerja atas kebijakan manajerial yang patriarkis. Meskipun saat ini sudah banyak perempuan yang mengisi jabatan manajerial, akan tetapi nilai-nilai patriarkis dalam perusahaan masih terus diarusutamakan. 

Oleh karena itu, masalah ini (hijab dalam industri perhotelan) tidak dapat disederhanakan sebagai masalah islamophobia belaka. Akan tetapi perlu melihatnya sebagai masalah yang jauh lebih besar yakni terkait dengan minimnya pemahaman interseksionalitas gender dalam industri pariwisata. 

Minimnya kesadaran tersebut kemudian mendorong terjadinya berbagai normalisasi terkait gender dalam industri pariwisata. Salah satunya normalisasi bahwa perempuan yang bekerja di industri pariwisata tidak boleh menggunakan hijab. 

Lemahnya perlindungan bagi pekerja perempuan di perhotelan

Di Indonesia, hak pekerja perempuan telah dijamin dalam konstitusi, undang-undang, dan beberapa peraturan pelaksananya. Misalnya dalam UUD 1945,  Pasal 28D ayat (2) menegaskan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja dan melarang segala praktik diskriminasi. Industri pariwisata menjadi salah satu industri yang seharusnya juga turut andil dalam proses diskriminasi tersebut. 

Padahal, jika kita melihat dalam kode etik pariwisata global, salah satu tujuan pariwisata adalah “membangun pengertian dan saling menghormati antara masyarakat dan wisatawan”. Hal tersebut mengandung konsekuensi etis bahwa apapun perbedaannya, tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengabaikan hal yang dianggap liyan seperti hijab, dan sebagainya. Meskipun demikian, praktik ini masih diabaikan dan cenderung sebagai standar ganda bagi perempuan yang memakai jilbab di dunia perhotelan.

Meskipun secara normatif hukum ketenagakerjaan kita menyiratkan untuk membangun iklim kerja yang egaliter dan inklusif. Akan tetapi, isu perlindungan tenaga kerja perempuan acapkali menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Pelarangan hijab di tempat kerja seperti yang dialami G, hanya sebagian kecil. Relasi kuasa yang sangat timpang antara pekerja perempuan dan atasan juga menjadi salah satu pemicu utamanya. Terlebih jika dalam perusahaan tidak ada mekanisme yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak pekerja.

Menghormati dan mendukung perempuan yang memilih untuk mengenakan jilbab dalam industri perhotelan seharusnya menjadi adalah dasar dalam memajukan inklusivitas dan keberagaman. Mengakui dan menghargai pilihan pribadi dan identitas budaya perempuan ini bukan hanya mempromosikan lingkungan pariwisata yang lebih ramah dan inklusif, tetapi juga menyampaikan pesan kuat tentang rasa hormat dan kesetaraan. 

Penulis: Akbar Bagus Nugroho
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mengungkap Ketidakadilan Pada Perempuan di Industri Pariwisata

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version