Isu Pekerja Perempuan yang Penting Dibahas Saat Musim Kampanye dan Pemilu

Pemilu dan masa kampanye seharusnya dapat menjadi platform dan kesempatan yang baik untuk membicarakan hal-hal ini.

isu pekerja perempuan mojok.co

Ilustrasi pekerja perempuan (Ega Fansuri/Mojok.co)

Pemilu dan masa-masa kampanye adalah waktunya orang jualan isu (selain jualan wajah, tentu saja). Isu yang dibahas tiap 5 tahun ini bermacam-macam, mulai dari isu akar rumput seperti kenaikan harga BBM dan kebutuhan hidup pokok, hingga isu yang lebih ‘grande’ seperti kebebasan beragama dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Isu-isu ketenagakerjaan juga tidak pernah absen jadi bahan jualan saat kampanye, karena serikat pekerja dianggap sebagai organisasi yang punya masa cukup besar. Sayangnya, isu ketenagakerjaan selama pemilu biasanya mentok pada masalah kenaikan upah minimum atau perluasan lapangan kerja. Sedangkan, isu yang spefisik menyasar pekerja perempuan, seperti aturan cuti melahirkan yang tidak jalan di lapangan, diskriminasi hingga kekerasan seksual yang banyak dialami oleh pekerja perempuan, masih jarang sekali jadi sorotan.

Padahal, pemilu dapat menjadi kesempatan untuk mendiskusikan isu-isu pekerja perempuan, serta mempromosikan kesetaraan gender di tempat kerja. Isu apa saja yang penting untuk dilirik?

Cuti melahirkan yang lebih inklusif

Beberapa bulan lalu, isu cuti melahirkan banyak menjadi perdebatan masyarakat karena Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) berencana menambah cuti melahirkan bagi pekerja perempuan, dari tadinya 3 bulan menurut UU Ketenagakerjaan, menjadi 6 bulan. Rencana ini menimbulkan kontroversi, karena di satu sisi memberikan perlindungan tambahan bagi ibu pekerja yang baru melahirkan, namun di sisi lain berpotensi memperparah diskriminasi yang dialami perempuan di tempat kerja. Banyak yang khawatir, bahwa aturan ini justru membuat pemberi kerja makin enggan mempekerjaan pekerja perempuan.

Dilihat dari standar internasional, cuti melahirkan 3 bulan memang masih dibawah standar minimal International Labour Organisation (ILO) yang mengatur bahwa cuti melahirkan setidaknya diberikan dalam jangka waktu 14 minggu. Namun, masalah utama dari ketentuan cuti melahirkan di Indonesia sebenarnya tidak semata soal jangka waktunya, tapi pada penerapannya di lapangan.

Data ILO menunjukkan bahwa kurang dari 10% pekerja perempuan di Indonesia menikmati cuti melahirkan. Hal ini terjadi karena beberapa hal: pertama, banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal yang tidak terlindungi aturan ketenagakerjaan. Kedua, banyaknya perempuan yang bekerja dengan sistem kontrak dan outsourcing yang hubungan kerjanya lebih precarious atau rentan. Ketiga, kurangnya pengawasan di lapangan.

Perbaikan kebijakan tentang cuti melahirkan bisa dimulai dengan memastikan hak cuti melahirkan dapat diakses oleh lebih banyak perempuan pekerja. Memastikan kebijakan cuti melahirkan tidak hanya selesai di atas kertas, namun benar-benar dilaksanakan di lapangan juga merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah.

Kekerasan seksual di tempat kerja

Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunian Kerja Indonesia Tahun 2022 yang dilakukan oleh Never Okay Project dan ILO menemukan bahwa 70,81% responden pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Mayoritas dari korban adalah perempuan, yang menunjukkan bahwa pekerja perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.

Hingga saat ini, satu-satunya kebijakan yang secara spesifik mengatur mengenai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.03/MEN/IV/2011. Namun, kebijakan ini sifatnya hanya pedoman, sehingga keberlakuannya tidak mengikat.

Disahkannya Undang-Undang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada April lalu menjadi titik terang dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di tempat kerja. Namun, ada aturan lebih spesifik yang dapat kita dorong bersama untuk mencegah dan mengatasi kasus-kasus kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, yakni Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja (KILO 190).

Ratifikasi KILO 190 akan memberikan kewajiban dan arahan yang jelas kepada pemerintah dan pengusaha untuk mengambil langkah-langkah proaktid untuk mencegah kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Hal baik lain dari KILO 190 adalah dia memberikan cakupan dan definisi terhadap apa yang dimaksud sebagai pekerja, sehingga pekerja di sektor informal, bahkan yang tidak dianggap berada dalam hubungan kerja seperti pekerja dalam hubungan kemitraan, juga dapat terlindungi.

RUU PPRT yang mendesak

Agenda mendesak lain dalam isu perlindungan pekerja perempuan adalah mendorong disahkannya Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU PPRT sudah melalui proses yang sangat panjang sejak disusun pertama kali pada tahun 2001. RUU ini krusial untuk melindungi pekerja rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan, dari eksploitasi. Selama ini, ketiadaan payung hukum yang melindungi PRT, menyebabkan mereka berada dalam posisi yang rentan.

Sudah terlalu banyak kasus penganiayaan dan kekerasan terhadap PRT yang kita baca di media massa. Yang terbaru, kasus Rohimah, pekerja rumah tangga yang menjadi korban penganiayaan majikannya di Bandung Barat, video penyelamatannya sempat menggemparkan masyarakat di sosial media.

Namun Rohimah bukan kasus satu-satunya. Banyak perempuan lain yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga yang mengalami kerentanan serupa. Mulai dari dibayar di bawah standar upah minimum, jam kerja panjang tanpa istirahat, hingga kesulitan untuk mengakses jaminan-jaminan sosial. Mengesahkan RUU PPRT dapat menjadi komitmen awal dari pemerintah untuk mengentaskan permasalahan-permasalahan ini.

Kesenjangan upah berbasis gender

Gender pay gap atau kesenjangan upah berbasis gender juga masih menjadi problem yang dialami oleh pekerja perempuan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan bahwa kesenjangan upah buruh perempuan dan laki-laki di Indonesia masih tinggi, yakni di angka 20,39%. Hal ini berarti bahwa pekerja laki-laki di Indonesia dengan masa kerja dan kualifikasi pendidikan yang sama, rata-rata memperoleh gaji 20 persen lebih tinggi dibanding pekerja perempuan.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kesenjangan upah berbasis gender, mulai dari bias dan diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, jenis pekerjaan perempuan yang mayoritas masuk kategori pekerjaan berupah rendah, hingga beban kerja perawatan yang lebih besar pada perempuan, sehingga menyebabkan perempuan lebih sering mengambil cuti untuk mengurus keluarga. Hal ini dapat berimbas negatif terhadap penghasilan pekerja perempuan, karena ini mungkin menghambat promosi, kenaikan jabatan, serta kesempatan-kesempatan lain untuk memajukan karir.

Melibatkan pekerja perempuan dalam dialog

Keempat isu di atas hanyalah sebagian dari banyaknya isu terkait pekerja perempuan di Indonesia. Meski sudah ada pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan pekerja perempuan dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, hingga saat ini pekerja perempuan masih sering menghadapi diskriminasi dan hambatan-hambatan yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh di pasar kerja. Pemilu dan masa kampanye seharusnya dapat menjadi platform dan kesempatan yang baik untuk membicarakan hal-hal ini.

Selama ini, politisi cenderung hanya fokus menjaring suara pekerja melalui kanal-kanal serikat pekerja yang bermassa besar. Namun, harus diakui bahwa keterlibatan pekerja perempuan dalam serikat-serikat pekerja ini dapat dikatakan masih terbatas. Karena itu, penting untuk mengajak dan mendengar lebih banyak suara pekerja perempuan dalam dialog, agar isu-isu penting yang dihadapi oleh perempuan pekerja tidak hilang ditelan bising teriakan kampanye.

Penulis: Nabiyla Risfa Izzat
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Ruang Digital dan Partisipasi Politik Perempuan

Exit mobile version