Penulis: Satria Aji Imawan
Pilpres 2024 tak lain adalah kontestasinya para elite politik. Jangan sampai terbawa arus dan lupa esensi memilih pemimpin.
Dalam kurun waktu sekitar kurang lebih seminggu ini bangsa kita kena hantam berbagai fenomena politik. Mulai dari kontroversi putusan MK hingga panasnya tensi politik setelah Gibran resmi menjadi cawapres Prabowo.
Publik beranggapan Pilpres 2024 kental dengan nuansa politik dinasti. Ada nepotisme hingga hegemoni politik, apalagi Gibran merupakan putra sulung dari Presiden Jokowi.
Kecurigaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, rentang waktu antara keputusan MK dengan majunya Gibran terbilang sangat singkat. Keputusan ini seperti sudah terskenariokan.
Rentetan peristiwa ini menyiratkan adanya “main mata” antara Gibran, Prabowo dan koalisi pengusungnya dengan pemerintah. Namun, di luar dari sorotan tajam ini, kalau kita perhatikan Pilpres 2024 sebetulnya tak lepas dari jeratan elite politik.
Jika melekatkan aktor politik dengan basis rekam jejak kepemimpinan, maka semuanya adalah elite. Ganjar adalah Gubernur Jateng selama dua periode. Satu dekade memimpin, tentu menempatkan Ganjar sebagai elite. Status elite ini tentunya berkorelasi dengan ketenangannya dalam menghadapi peristiwa politik.
Setali tiga uang, Mahfud MD adalah politisi gaek. Gaek artinya beliau sudah makan asam garam dalam bidang politik. Mulai dari menjadi pejabat di level eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Kelengkapan beliau tersebut menempatkannya tidak hanya sebagai elite namun juga senior.
Begitu pula dengan Anies dan Cak Imin. Anies adalah mantan menteri, rektor dan gubernur ibukota DKI Jakarta. Anies di masa lalu juga seorang penggagas Indonesia Mengajar. Senada dengan itu, Cak Imin pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR dan DPR serta pernah menjadi menteri di era presiden SBY.
Rekam jejak seperti itu tentu tidak bisa dianggap enteng. Sehingga, menunjuk bahwa pasangan elite hanyalah Prabowo-Gibran tidaklah tepat karena masa lalu memperlihatkan bahwa semua paslon adalah elite.
Bila demikian, apakah Pilpres 2024 adalah kontestasinya para elite di tengah isu nepotisme dan hegemoni kekuasaan? Bisa jadi demikian mengingat tren peristiwa belakangan ini mengarah kepada hal tersebut.
Jika kita melepaskan kata elite dari perdebatan, maka sesungguhnya seluruh capres dan cawapres ingin melanggengkan kekuasaan. Entah itu lewat elevator kepemimpinan dari gubernur menjadi presiden atau dari menteri menjadi wapres.
Sinyalemen seperti ini seharusnya menjadikan publik tak lagi berfokus kepada soal-soal tersebut. Lantas, apa yang dapat perlu jadi fokus?
Teropong rakyat bisa mengarah kepada hal-hal yang substantif. Alih-alih memfokuskan diri kepada permainan elite, masyarakat bisa mengalihkan perhatian kepada rekam jejak semua capres dan cawapres.
Hal ini penting karena permainan elite hanya menempatkan masyarakat sebagai penonton. Sementara rekam jejak akan memposisikan rakyat sebagai subyek.
Sorot mata kepada rekam jejak sangat bisa kita lakukan karena semua calon pernah menjadi pemimpin di berbagai level. Dengan histori dan dukungan jejak digital, tentu tak sulit bagi rakyat untuk menguliti kapabilitas para calon di dalam memimpin daerah atau institusinya di masa lalu.
Pelacakan rekam jejak seperti ini akan menyadarkan rakyat untuk lebih fokus kepada persoalan yang lebih penting. Inisiasi-inisiasi yang lembaga lakukan juga dapat jadi sebagai corong rakyat dalam melihat rekam jejak calon pemimpinnya.
Misalnya KPU dan Bawaslu bisa mengawal integritas calon yang akan maju. Kedua lembaga ini bisa memberikan informasi yang terpercaya tentang rekam jejak calon yang akan maju di pilpres.
Selain lembaga negara macam KPU dan Bawaslu, civil society juga bisa melakukan hal serupa. Misalnya lewat berbagai platform inisiatif masyarakat seperti bijakmemilih.id yang merupakan bagian dari upaya edukasi untuk para pemilih, terutama pemilih pemula. Lalu, informasi mengenai rekam jejak di media sosial yang masyarakat bikin.
Dengan interaksi yang inovatif, para calon dapat kita lihat rekam jejaknya secara komprehensif. Kepungan dua inisiatif, baik dari entitas negara maupun masyarakat dapat menjadi effort holistik agar masyarakat lebih rasional di dalam memilih pemimpin.
Berbagai inisiatif tersebut tentu harus ditunjang dengan daya kritis masyarakat terhadap program-program yang para paslon tawarkan. Potensi daya kritis masyarakat ini tidak dari nol.
Banyak masyarakat yang sudah memiliki pengalaman panjang mengikuti pemilu. Apabila kita hitung sejak 2004 sebagai pertama kalinya terselenggaranya pemilu langsung, maka 2024 akan menjadi pemilu kelima bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Track record ini menjadi modal bagi masyarakat Indonesia bahwa mereka bukanlah pemilih kemarin sore. Pengalaman empiris tersebut semakin masif ketika ada dukungan teknologi. Dengan dukungan teknologi, masyarakat dapat saling berbagi tentang bagaimana cara mengkritisi program-program paslon utamanya program mana yang betul-betul menyentuh rakyat.
Bagi pemilih lama, mereka dapat share pengalaman personal mereka kepada pemilih pemula. Sebaliknya, pemilih pemula dapat pula bercerita kepada pemilih lama tentang metode penyampaian aspirasi dengan cara-cara kreatif sekaligus kritis.
Kombinasi pengembangan teknologi, mentalitas kepo dan pengalaman sejarah mengalami pemilu dari tahun ke tahun akan menjadi kolaborasi lengkap di dalam menegakkan integritas pemilu. Ketiganya akan menjadi mantra ajaib atas jebakan wacana bahwa pilpres atau pemilu 2024 adalah murni kontestasi para elite. Padahal, pemilu merupakan pesta demokrasi bagi seluruh pihak, termasuk dan utamanya adalah rakyat.
Pola pikir seperti ini akan mereparasi cara pandang publik terhadap pemilu 2024. Jangan biarkan ihwal kontes demokrasi yang menggembirakan justru menjadi menjemukan.
Esensi pemilu bukan hanya tentang menang-kalah. Jauh daripada itu, pemilu juga soal bagaimana memilih para pemimpin yang mempunyai rekam jejak bagus, penuh integritas dan memiliki visi ke depan.
Semangat seperti ini harus terus ada sampai waktu pemilihan nanti. Langkah demikian semoga dapat menjadikan pemilu kali ini dapat kembali ke akarnya, yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat.