MOJOK.CO – Munculnya kembali video lawas soal review value outfits beberapa waktu lalu di Facebook mengejutkan banyak netizen. Ya jelas, harga arloji mereka saja bisa untuk beli Avanza Veloz keluaran terbaru.
Beberapa waktu lalu lini masa di timeline saya sempat dikejutkan dengan sebuah video lama yang kembali ramai dibahas. Video berdurasi 7 menit ini berisi tentang wawancara suka-suka yang membahas outfit segerombolan anak muda ibukota.
Lha gimana? Orang-orang kere jelas terperangah ketika tahu harga topi atau hoodie di video tersebut ternyata harganya bisa mencapai 4-6 jutaan, bahkan arloji mencapai harga 200 juta alias cuma beda tipis dengan harga satu Avanza Veloz. Tanggapan video ini pun beraneka rupa dari netizen yang mulia.
Macam-macam komentarnya, dari yang mengatakan bahwa anak-anak muda tersebut tidak peka terhadap kondisi sosial hingga mempertanyakan dari mana mereka memperoleh uang yang bisa untuk beli Toyota Fortuner cuma untuk dipakai beli kaos, sepatu, dan jam tangan?
Meskipun begitu, mau bagaimana pun juga, apa yang mereka lakukan patut diapresiasi bagi saya. Alasannya?
Yang pertama, mereka sukses tampil sebagai penanda bahwa perekonomian kita sedang bertumbuh ke arah positif. Anak-anak muda ini ternyata berhasil menyingkirkan pesimisme para pakar dan ekonom. Mereka sukses mematahkan sentimen negatif dan prediksi yang dibuat oleh pengamat yang mengatakan bahwa Indonesia sedang terpuruk.
Paling tidak daya konsumsi yang mereka perlihatkan sesungguhnya adalah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Daya beli meningkat, ekonomi tumbuh pesat—meroket, pemerintah berhasil. Meski tentu kalau kita bicara bukan mengenai pemerataan daya beli masyarakat lho ya?
Setidaknya, anak-anak muda tajir mampus ini telah benar-benar menjadi garda paling depan dalam mempromosikan kerja pemerintah. Mereka kasih bukti nyata, lebih faktual ketimbang para (maaf) cebong yang mampunya cuma mengolok-olok Pak Gub dan Wagub yang handsome dan menggemaskan itu, atau bisanya cuma nyinyirin tiang bambu dan waring.
Yang kedua, memangnya salah kalau mereka pakai jam tangan senilai 200 juta?
Ada harga, ada kualitas bung. Titik Kartitiani, salah seorang jurnalis yang kebetulan pernah terjun ke dunia pesyen mengatakan bahwa harga-harga yang melambung tinggi bak nilai rupiah tersebut sebenarnya adalah kewajaran di kalangan fashionista. Lebih lanjut menurut Mbak Titik, dunia pesyen bukan melulu soal urusan glamor-glamoran, melainkan juga ada faktor budaya (culture), sejarah, dan—bahkan—isu buruh.
Berangkat dari hal itu, saya jadi teringat ketika diundang ke salah satu pabrik sepatu kenamaan di Tiga Raksa, Banten. Di sana saya juga jadi tahu kalau sepatu-sepatu sporty yang banyak orang banggakan dengan kualitas dunia itu ternyata beberapa pabriknya ya di sini, di Indonesia.
Saat saya diundang, pabrik tersebut tengah membenahi sistem manajemen energinya. Poinnya  mereka sedang menginginkan efisiensi lebih sempurna. Rencananya, dengan pencapaian target efisiensi tersebut, tingkat kepercayaan bertambah, orderan semakin banyak, dan kemampuan ekspor meningkat. Beberapa hal ini bisa juga berarti penambahan kapasitas lini produksi sehingga lapangan kerja makin terbuka.
Ah, tapi sepertinya hal ini luput dari wawasan anak-anak hype di video tersebut. Buat mereka yang penting adalah faktor kenyamanan. Hoodie jutaan rupiah mereka pakai supaya tidak kemringet ketika beraktivitas di atmosfer ibukota yang panas. Pemilihan arloji senilai ratusan juta pun bukan tanpa alasan.
Konon kabarnya, arloji seharga ratusan juta itu terbuat dari material tahan karat. Termasuk fitur ketahanan hingga kedalaman 100 meter di dalam laut. Barangkali spesifikasi ini yang mereka butuhkan ketika asyik membuat VLOG yang peace-love-and-gaul waktu nyelam. Lagi diving ke dalam perairan Raja Ampat, Wakatobi, Umbul Ponggok di Klaten, atau bahkan sekedar in-depth reporting masuk ke dalam Kali Item.
Yang ketiga, pola konsumsi mereka telah berkontribusi besar untuk sektor perbankan. Semakin sering mereka belanja, semakin intens penggunaan fasilitas kredit, bank akan bersorak gembira. Kredit lancar, uang hasil riba berputar, pembangunan infrastruktur ngebut. Lagi-lagi perekonomian jalan.
Saya pernah menemani seorang teman masuk ke dalam sebuah toko arloji mewah di salah satu mal ibukota. Raut muka saya seketika pucat ketika mendengar harga arloji yang sedang ditimang-timang oleh si teman. Harganya? 175 juta alias nyaris seharga mobil keluarga kecil saya yang nyicilnya saja sudah bikin keluarga saya makan tahu-tempe-tahu-tempe tiap hari.
Tapi tak demikian halnya dengan teman saya ini. Dengan elegan dan santai, ia cukup percaya diri mencoba jam tangan tersebut, lalu manggut-manggut cantik ketika dijelaskan soal fasilitas kredit cicilan 12 bulan oleh sang pramuniaga. Sosialita yang hobi belanja tentu akan menjadi sahabat baik perbankan.
Saya sempat ingin bertanya kepada sang pramuniaga, apakah dengan harga fantastis tersebut jam tangan seharga mobil itu niscaya bakal tidak akan pecah ketika jatuh ke lantai dan kelindas eksavator nggak sengaja lewat?
Tapi mengingat bahwa saat itu saya sedang mengenakan kemeja M2 hasil berburu End of Season Sale, celana jeans merek Levis (yang kw tentu saja) senilai 150 ribu, jam tangan Alexander katanya Christie, dan sepatu Converse diskonan, maka saya urung bertanya.
Yang keempat, video viral tersebut kembali mengingatkan kita bahwa ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh netizen dan masyarakat pada umumnya. Yakni menghadapi jurang polarisasi yang semakin tren di kalangan masyarakat kita.
Jokowi versus Prabowo, Anies versus Ahok, cebong lawan kampret, dan sekarang—gara-gara video tersebut populer—muncul lagi dikotomi di sosial media soal golongan kaya dan miskin. Apakah hal ini buruk? Entahlah. Yang pasti adalah hal yang melelahkan apabila Anda mencoba untuk berada di tengah.
Seseorang yang mencoba untuk selalu netral dalam pandangan politiknya, begitu ia mengkritik kebijakan Gubernur DKI maka serta merta ia akan dicap sebagai cebong. Sebaliknya, ketika mengritik kinerja pemerintah, mengeluhkan fasilitas jalan tol, maka ia akan langsung disebut kampret.
Demikian halnya dengan zona miskin dan kaya. Akhir-akhir ini kita mengenal ungkapan social climber, yakni orang-orang yang mencoba terlihat kaya supaya bisa mendongkrak status sosialnya, dengan mengabaikan fakta bahwa dirinya kere. Social climber yang mencoba untuk melompat dari zona miskin ke zona kaya niscaya akan kerepotan. Yang terjadi adalah ketidakmampuan untuk mengukur kapasitas dan kemampuan finansial yang dimiliki.
Saya pernah mencoba untuk masuk ke dalam lingkaran elite dengan cara bermain golf. Ternyata modal dengkul saja tidak cukup. Walaupun stik golf saya dapatkan gratis—lungsuran dari teman yang sudah punya tipe terbaru, tetap saja saya terhempas dari arena.
Bagaimana tidak? Tiap kali bermain golf, saya harus merogoh gocek minimal 1 juta rupiah. Itu pun masih tergolong murah karena bermain di hari biasa (weekday). Apabila Anda bermain di akhir pekan, apalagi di lapangan golf favorit, 3-4 juta rupiah rasanya bakal ludes dalam sekejap.
Biaya ini terdiri dari green fee, snack makan minum, termasuk tips untuk caddy. Ya kalian pikir caddy seperti Rani Juliani dandan mempesona begitu cuma untuk dapat tips seratus ribu?
Sekarang pertanyaanya, ada di mana kita sekarang?
Kalau kamu masih suka mencet-mencet odol hingga penyet, atau bahkan kamu gunting ujungnya supaya sisa-sisa pasta gigi masih bisa digunakan, kalau kamu suka campur sampo dengan air di tetes-tetes penghabisan, dan kalau kamu sudah ambil beberapa buku ketika mampir ke toko buku tapi lalu dikembalikan semuanya ke rak karena baru ingat bahwa sekarang masih awal bulan sementara gaji tinggal sekian untuk seminggu makan, ya udah yuk gabung sama saya di pojokan.
Kita tonton video tersebut lalu replay. Lalu tonton lagi. Lalu replay lagi video itu sambil cekikikan. Jangan lupa siapin tisu, kalau-kalau kebablasan menangys karena sadar betapa miskinnya kita ini di hadapan anak muda-muda itu. Untuk kemudian menyadari, betapa kita cuma jadi baut-baut kecil dalam roda perekonomian bangsa.