Ketika Corona Memberi Jeda

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COKita tentu sepakat bahwa virus corona sangat berbahaya. Ada begitu banyak orang kehilangan nyawa. Ada jutaan bahkan puluhan juta orang yang sudah kehilangan pekerjaan di seluruh dunia. Berbagai kegiatan bisnis terhambat, bahkan mandek.

Tapi sebagai manusia sebagai makhluk perenung, kita diberi sejumlah fakta tentang langit China dan Jakarta yang membiru lagi, pertanda polusi berkurang drastis. Tentang laut di Venesia yang kembali jernih, ikan-ikan bermunculan. Di berbagai belahan bumi, muncul fenomena alam dari mulai birunya langit, jernihnya sungai, munculnya berbagai binatang yang menandai bahwa alam sedang melakukan penyegaran diri.

Dalam setiap masalah, manusia bisa melakukan dua kemenangan sekaligus. Pertama, menyelesaikan masalah tersebut. Kedua, memikirkan ulang tindakan ketika masalah datang, dan lalu mengubah semua cara lama yang merugikan. Seseorang yang kena serangan jantung lalu dipasang ring, dia bisa melakukan dua hal positif. Pertama, mengobati sakitnya. Kedua, mengubah pola hidupnya. Dengan begitu, sakit yang dialaminya adalah fase terbaik. Seadainya dia tidak kena sakit jantung, dia bisa saja jadi orang yang tetap temperamental, makan sembarangan, bergaya hidup ceroboh, dan selalu punya pikiran yang kurang baik. Sakit jantung mereset cara pikir dan pola hidupnya. Jika dia tidak sakit, mungkin secara psikologis dia akan mengalami fase-fase menyedihkan dalam hidupnya, dan dia bisa kena serangan jantung yang mungkin mematikan.

Tapi bisa jadi dia akan mengulang kesalahan yang sama. Karena merasa lebih sehat–ya, dengan dipasang ring secara teoretis seseorang pasti merasa lebih sehat dibanding sebelumnya–lalu tetap melakukan sekian perilaku dan gaya hidup yang destruktif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.

Demikian juga ketika kita mengalami pandemi corona. Kita bisa saja dalam beberapa bulan ke depan, berangsur akan menemukan jalan keluarnya. Tapi hal ini tidak berdampak pada apa pun di kehidupan kita. Masa di rumah yang lama membuat kita kemudian seolah balas dendam untuk keluar rumah terus-menerus. Karena bisnis amblek, kita makin eksploitatif terhadap tenaga kerja manusia dan alam. Hingga kemudian akan muncul “virus” lain atau persoalan lain yang tak kurang mematikannya. Lalu kita kembali mengeluh.

Atau ketika kita sudah bisa melewati pandemi corona, kita mengubah banyak perspektif kita dalam memandang alam, berperilaku terhadap sesama, dan tidak lagi gegabah menjalani hidup ini. Kita lebih menghargai pangan, petani, dan desa, yang sudah menyuplai bahan makanan dan menyelamatkan ekonomi perkotaan, karena di saat demikian, orang-orang kota pada pulang ke desa. Baik untuk sekadar berhemat maupun untuk berlindung sejenak dari kerkahan ekonomi yang tak bisa ditanggulangi. Kita bisa lebih kritis terhadap segala bentuk eksploitasi berlebihan kepada alam. Kita butuh udara segar. Butuh sinar matahari yang lebih menyehatkan. Sehingga kita mesti memikir ulang pertanian dan peternakan skala besar, memikir ulang agar pabrik mempekerjakan karyawan lebih manusiawi lagi, dan berupaya keras meminimalisir polusi. Dan banyak hal lain lagi.

Bahkan pada skala yang lebih kecil lagi, kita makin menghargai orang-orang dekat kita. Keluarga kita. Sahabat-sahabat kita. Para rekan kerja kita. Karena pandemi ini menjadi ajang pertaruhan bagaimana kita semua bertahan dalam kondisi apa pun di benteng paling kecil yang kita miliki. Kita dipaksa untuk dekat dan akrab dengan keluarga dalam waktu yang lama. Kita dipaksa mempertahankan bisnis dengan orang-orang terdekat yang kita percaya. Kita juga dipaksa terus menjalankan lembaga dengan para rekan, yang dulu hubungannya sebatas mekanis saja.

Alangkah ruginya kita, setelah nanti bisa melewati masa-masa sulit menghadapi pandemi ini, sikap kita terhadap segala hal masih sama atau lebih destruktif lagi. Yang itu artinya kita tinggal menunggu bencana yang lebih besar dan mematikan lagi. Tapi tentu yang menyedihkan adalah ternyata kita gagal sebagai makhluk perenung. Orang yang bisa merefleksikan tindakan, dan memperbaiki diri. Kita kehilangan salah satu kemampuan terpenting manusia agar tetap bisa bertahan hidup di dunia ini.

Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dan renungkan dari datangnya pandemi corona, yang memberi kita sebuah jeda yang cukup panjang. Semoga itu tidak menjadi pelajaran yang sia-sia.

BACA JUGA Kenapa Banyak Orang Mulai Keluar Rumah? dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version