Isu Penggulingan Jokowi di Tengah Pandemi Corona

jokowi pandemi virus corona sri mulyani bpjs kesehatan agus mulyadi gibran rakabuming calon wali kota solo mojok.co dijatuhkan presiden jokowi puthut ea opini tulisan nonfiksi esai mojok.co analisis politik angkatan 2019

jokowi pandemi virus corona sri mulyani bpjs kesehatan agus mulyadi gibran rakabuming calon wali kota solo mojok.co dijatuhkan presiden jokowi puthut ea opini tulisan nonfiksi esai mojok.co analisis politik angkatan 2019

MOJOK.COKalau kamu dengar orang bilang Jokowi mau digulingkan gegara virus corona, tanyakan dua hal: siapa yang mau menggulingkan dan apa dia/mereka punya infrastruktur untuk menggulingkan presiden.

Di media sosial, ada isu yang agak lucu, yakni upaya penggulingan Jokowi. Kenapa isu ini terdengar lucu, karena justru muncul dalam berbagai informasi dan pendapat tentang bagaimana mengatasi pandemi corona. Makin terasa lucu karena pendengung isu ini justru dari para buzzer yang selama ini dikenal sebagai pendukung Presiden Jokowi.

Isu ini kira-kira berdiri di atas sebuah argumen yang rapuh bahwa segala tuntutan masyarakat tentang pandemi corona ini berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap Presiden Jokowi, dan jika ketidakpercayaan itu makin besar, Presiden akan jatuh. Mari kita kuliti sedikit demi sedikit argumen yang berujung pada kesimpulan menggelikan itu.

Pertama, soal ketidakpercayaan publik terhadap Presiden Jokowi. Hampir semua survei politik mengatakan bahwa bekal kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi di saat hendak memulai memerintah pada awal masa jabatannya memang sudah tipis. Penipisan makin terjadi ketika publik menganggap Presiden Jokowi ikut serta dalam proses pelemahan lembaga antikorupsi KPK yang saat itu masih dipercaya oleh publik. Kalau sekarang sih sepertinya KPK sudah tidak dianggap apa-apa lagi oleh publik sampai lembaga ini benar-benar bisa membuktikan dirinya cukup bertaji menangkapi gembong-gembong koruptor di negeri ini yang masih bergentayangan.

Makin tipis lagi tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi saat ia melansir kebijakan omnibus law yang dipandang bukan hanya cacat isi, tapi juga cacat proses (hal yang sama dilihat oleh publik pada saat terjadinya pelemahan KPK). Ditambah lagi, sejak awal kasus pandemi corona ini merebak, Presiden tidak mengambil jalan transparan, jalan yang paling dikehendaki publik. Secara otomatis, pundi-pundi kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi pasti makin berkurang lagi.

Kedua, apakah dengan berkurangnya terus-menerus deposit kepercayaan rakyat pada Presiden Jokowi bisa berujung pada penggulingan Presiden Jokowi? Tentu saja jawabannya tidak. Penggerusan suara dan penggulingan seorang presiden, itu dua hal yang sangat berbeda. Pertanyaan mendasar soal penggulingan Presiden adalah siapa yang akan menggulingkan? Apakah dia/mereka punya infrastruktur penggulingan?

Ketika Soeharto digulingkan, ada infrastruktur kekuasaan yang siap menggantikannya. Demonstrasi mahasiswa adalah faktor pendobraknya. Tapi infrastruktur perlawanan dan elite politik saat itu memang sudah sangat siap menggantikan Soeharto. Militer sudah lama pecah. PDI versi Megawati punya basis struktur sampai bawah. Termasuk PPP yang saat itu banyak dizalimi kebijakan Soeharto ketika pemilu 1997 dihelat. Belum lagi sudah lama Soeharto tidak akur terhadap kekuatan NU dan Muhammadiyah, yang kebetulan keduanya sedang dipimpin oleh dua oposan pemerintah, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien Rais. Lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti ICMI dan LSM yang saat itu kuat juga makin berani berhadap-hadapan dengan Soeharto. Faktor institusi dan konsolidasi elite politik saat itulah yang membuat Soeharto mudah digulingkan. Terlebih, cap dan praktek kediktatoran Soeharto yang sudah lama mengendap dalam diri masyarakat, membuat Soeharto bisa dijatuhkan.

Hal yang sama pun bisa kita pakai untuk manganalisis “jatuhnya” Sukarno, sekalipun lewat jalan yang lebih mengerikan dan memakan waktu lebih lama. Saat Gus Dur dilengserkan, faktor elite politik inilah yang juga lebih dominan. Karena Gus Dur waktu itu mampu mendulang dan mendapatkan dukungan masyarakat, tapi diincar oleh gerombolan elite politik untuk dijatuhkan.

Hal ini tidak terjadi pada Presiden Jokowi. Semua aparat baik kepolisan maupun militer, ada pada genggaman Presiden Jokowi. Partai-partai politik pun ada di lingkaran Presiden Jokowi semua, bahkan termasuk Gerindra yang sempat menjadi ikon kompetitornya. Semua kekuatan penting sudah dirangkulnya. Atas dasar analisis apakah Presiden Jokowi bisa dijatuhkan? Tidak ada. Itu hanya otak-atik pikiran kotor dan berlebihan.

Isu penggulingan Jokowi ini setidaknya sudah dua kali dikampanyekan. Pertama saat isu pelemahan KPK terjadi, dan sekarang ini. Sumbernya sama: dari para buzzer Jokowi sendiri. Di sinilah letak pokok masalahnya. Setiap suara masyarakat sipil untuk menuntut dan atau berbeda pendapat dengan rezim, maka dikampanyekan hendak mengulingkan kekuasaan. Ini mirip sekali di zaman Orba, saat orang tidak bersepakat kepada Soeharto lalu dicap dengan OTB alias organisasi tanpa bentuk. Dan itu cara buruk untuk berkomunikasi kepada publik.

Kampanye tidak produktif semacam ini justru makin membuat Presiden Jokowi mesti menerima beban berat kekeliruan strategi berkomunikasi para buzzer-nya. Citra Jokowi justru dirusak sendiri oleh para pendengungnya, yang mungkin bukan hanya tidak mengerti jagat batin masyarakat, melainkan juga miskin analisis sosial.

Di saat seperti ini, yang dibutuhkan Presiden Jokowi adalah kelompok penyerap aspirasi masyarakat. Bukan pengotor iklim politik masyakarat. Kesalahan mengambil strategi ini hanya akan menimbulkan makin besarnya tingkat ketidakercayaan masyarakat. Namun, dalam kondisi anatomi politik sekarang ini, ketidakpercayaan masyarakat hanya bisa berujung pada “penegasian”. Tidak mungkin sampai pada pelengseran. Karena pelengseran butuh infrastruktur elite politik. Risiko terbesar dari menipisnya kepercayaan masyarakat adalah apa yang disampaikan dan diserukan oleh pemerintah, tidak dijalankan atau dijalankan kebalikannya. Tidak memungkinkan sampai pada penggulingan.

Ironisnya, ketidakpercayaan itu paling banyak justru disumbang oleh cara para buzzer-nya bekerja.

BACA JUGA Penjelasan soal Hand Sanitizer yang Diragukan untuk Bunuh Corona dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version