Selangkah lagi, Partai Demokrat (PD) bergabung dengan Gerindra. Dua langkah lagi, PD, Gerindra, PKS, dan PAN akan menjadi satu barisan politik untuk berlaga melawan para parpol pendukung Jokowi. Faktor SBY dianggap sebagai salah satu faktor dominan. Benarkah?
Sosok SBY jelas bukan sembarangan dalam kancah politik mutakhir Indonesia. Dia bukan hanya berhasil membangun dan membesarkan PD, namun juga menjadi Presiden dua kali. Itu semua menunjukkan kapasitasnya sebagai organisator dan peracik strategi yang ulung. Bahkan di tengah badai politik yang menggulung PD dengan berbagai korupsi, PD masih meraup perolehan 10 persen lebih. Itu angka yang tidak sedikit.
Pamor SBY dan PD dianggap melorot ketika mengantar AHY dalam pilgub DKI 2017 lalu. Tapi saat itu, PD menentukan calon pada detik-detik akhir. Dan Jakarta memang bukan basis pemilih PD. Meraup 17 persen suara, bukanlah angka yang buruk untuk AHY saat itu, yang didukung oleh PD, PAN, PKB, dan PPP.
Terbukti kemudian, PD dalam waktu singkat seusai laga tersebut, mampu mengatrol dan membesut AHY sebagai salah satu kandidat kuat dalam Pilpres 2019. Di berbagai survei, nama AHY banyak unggul utamanya sebagai Cawapres.
Daya tarik SBY bisa jadi memang memudar, dan itu hal yang wajar dalam dunia politik. Tapi bukan berarti lenyap sama sekali. Pengalaman panjang dalam membangun partai dan berlaga dalam Pilpres langsung, dan menang, jelas belum pernah dimiliki oleh sosok siapa pun di negeri ini.
Sementara kita tahu, ada sosok Prabowo dalam Gerindra, yang juga memiliki kapasitas kepemimpinan yang tak bisa diragukan. Dia berhasil membangun Gerindra sebagai partai urutan ketiga pada pemilu 2014 dengan perolehan hampir 12 persen. Prabowo memang kalah dua kali dalam laga Pilpres, sekali saat menjadi Cawapres Megawati pada Pilpres 2009, dan sekali saat menjadi Capres pada Pilpres 2014. Namun begitu, dia punya pengalaman memenangkan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012, dan Anies-Sandi pada Pilgub DKI 2017.
Prabowo juga berhasil ikut serta meningkatkan keterpilihan pasangan Sudirman-Ida pada Pilgub Jateng 2018 sebesar lebih dari 41 persen. Itu angka yang nyaris fantastis. Bahkan dalam laga ketat Pilgub Jabar, di hari-hari terakhir, Prabowo mampu membuat perolehan suara Sudradjat-Ahmad Syaikhu naik drastis menjadi hampir 29 persen. Perolehan pasangan ini menyalip pasangan lain yang diunggulkan yakni Deddy-Dedi yang meraih suara hampir 26 persen, dan hanya terpaut 5 persen dari pasangan pemenang Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul.
Sebagai pengingat, pada Pilpres 2014, PD absen tidak mendukung pasangan mana pun. Dengan hadirnya PD pada Pilpres 2019, dan memilih berlabuh pada Gerindra dkk, tentu akan terjadi perbedaan yang cukup mencolok.
Sementara itu di sisi yang lain, sosok Jokowi sangat kuat sebagai figur Capres. Dipasangkan dengan siapapun, Jokowi selalu unggul telak dalam berbagai survei. Tapi harap diingat, Pilpres masih akan dilangsungkan sekira setahun lagi. Dalam politik, jangankan hitungan tahun atau bulan, hitungan minggu dan hari saja bisa mengubah banyak hal.
Melihat komposisi partai dan jagoan masing-masing, jika memang kubu PD, Gerindra, PKS, dan PAN berhadapan dengan koalisi PDIP, Nasdem, Golkar, PPP, Hanura, dan PKB, maka dipastikan laga akan berlangsung sengit. Kubu PD cs punya modal ahli strategi dan peracik taktik yang hebat, sementara kubu PDIP cs memiliki Capres yang punya elektabilitas tinggi.
Pekerjaan rumah kedua kubu sudah tentu terlihat jelas. Kubu PD cs butuh Capres-Cawapres yang punya pamor kuat untuk menandingi pamor Jokowi yang sangat berkilau. Sementara PDIP cs butuh peracik strategi seandal SBY dan Prabowo.
Tampaknya pertandingan bakal seru. Tapi seseru apapun, semoga tidak destruktif dan membuat masyarakat makin terpecah. Ibarat pertandingan sepakbola, kita ingin permainan yang asyik, enak ditonton, kaya akan kreasi dan manuver, tapi tanpa banyak pelanggaran dan kartu kuning. Apalagi kartu merah.