Suzuki Shogun R Tak Bakal Bisa Dikejar Honda Vario

Bagaimana rasanya Suzuki Shogun R kena begal? Jengkel, tapi takjub juga Shogun nggak bisa dikejar Honda Vario 110.

Suzuki Shogun R Tak Bakal Bisa Dikejar Honda Vario MOJOK.CO

Ilustrasi Suzuki Shogun R saya dibegal. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODalam keadaan sedang dikendarai begal saja, Suzuki Shogun R tak bisa ditandingi Honda Vario 110! Paten sekali itu motor.

Rasanya memang kurang apple to apple ya, ketika menyandingkan Suzuki Shogun R 110 dengan Honda Vario 110. Iya, Suzuki Shogun R, yang dulu iklannya dibintangi oleh pelawak legendaris, Mamiek Srimulat. Warna di bodinya atraktif banget; biru, merah, dan hitam. Mantap.

Dulu, Suzuki Shogun R punya saya (baca: keluarga kami) dibeli ketika bapak dan mamak menang arisan motor. Duitnya nggak seberapa, sih. Andil terbesar dari mulusnya Suzuki Shogun R datang ke rumah adalah ketika dengan agak tidak iklas, kami menjual sapi pemberian simbah.

Suzuki Shogun R 110 yang datang ke rumah punya dua tone warna. Katanya, motor tersebut adalah bintang baru dari pabrikan Suzuki. Bersaing dengan motor-motor bebek lainnya seperti Honda Karisma, Honda Supra X, dan tentu adiknya, si Smash yang sama-sama imut. Motor empat tak ini memang lebih ramping dan gesit pada masanya. Motor yang setia menemani keluarga ngalor lalu ngidul mudik ke Sukowati, Sragen, itu harus menemui “rivalnya” malam itu.

Ya, suatu malam ya janggal. Diawali oleh sebuah pertanda. Keganjilan.

Sore hari sebelum malam nahas itu, tidak biasanya, bapak mencuci Suzuki Shogun R kesayangan kami. Katanya, peristiwa janggal seperti itu menjadi pertanda kurang bagus. Di samping itu, ada tetangga yang katanya naksir sama motor yang sudah kami rawat seperti Malika, si kedelai hitam. Sore itu, bapak hanya menggeleng sambil tersenyum ketika si tetangga membuka harga.

Hari itu, pertengahan Juni 2011, saya kedapatan deadline harus nge-print laporan untuk pameran di provinsi esok hari. Saya meminta bapak untuk mengantarkan saya meminjam printer milik sekolah bapak. Waktu itu, kami sedang tidak punya komputer. Namun, bapak menolak.

Ah, saya sudah tak enak hati dengan Bu Jum, pembina saya waktu itu, karena molor terus mengumpulkan laporan. Maka, saya nekad pergi ke warnet naik Suzuki Shogun R. Saya mengajak adik saya tapi dia juga enggan. Dasar anak bapaknya. Ah, yowis mangkat dewe ben ndang rampung.

Tidak seperti biasanya, malam itu, jalan ke warnet begitu sepi. Hanya ada suara jangkrik. Sinar rembulan pun malu-malu di atas sana. Remang lampu jalan sing arang kading.

Zaman itu, perjalanan ke warnet memang tidak mudah karena. Saya harus susah payah menuju desa sebelah. Saya harus melewati jalan desa yang sisi kanannya sawah, sisi kirinya sungai. Jalannya ya begitulah. Tanah merah yang dikeraskan. Alhasil, jalan menuju desa sebelah lebih cocok disebut arena motocross ketimbang jalan desa. Suzuki Shogun R bekerja dengan sangat keras melahap jalanan berlubang itu.

Sudah harus berjuang melewati jalanan rusak, masih apek karena warnet di desa sebelah lagi tutup. Mau tak mau, saya harus bergegas beranja ke desa sebelahnya lagi.

Wung, wung, wung. Suzuki Shogun R saya geber biasa saja.

Nggak lama, saya sudah punya firasat buruk. Dari belakang, bayangan lampu depan agak ke bawah milik matik tiba-tiba muncul. Untung Suzuki Shogun R yang saya kendarai masih bisa saya jinakkan. Dari spion, saya bisa melihat itu Honda Vario 110.

Nah, Honda Vario 110 itu berderu di belakang seperti ingin nyalip tapi nggak jadi, mau nyalip lagi, nggak jadi lagi. Saya ikut was was. Jangan-jangan pengendara Honda Vario 110 itu sedang menghayati jadi pebalap motocross di jalan desa bertanah merah itu.

Sayang, dugaan saya keliru. Tiba-tiba, braaak, Suzuki Shogun R saya ditabrak dari samping kanan. Ban Honda Vario 110 itu mengunci Suzuki Shogun R yang saya kendarai. Saya terperosok ke samping sebuah pohon kelapa di dekat jembatan. Kunci saya putar ke posisi Off. Saya turun dari motor dan sudah menyiapkan segala sumpah serapah ke si pengandara Honda Vario 110 itu.

Namun, ketika saya sudah mau ngamuk, salah satu pengendara Honda Vario 110 itu turun dari motor. Dia yang pakai helm full face ini mengacungkan pisau sangkur bergerigi ke arah saya. Ketika dia mengacungkan sangkur itu, azan Isya berkumandang. Dramatis sekali.

Saya, yang merasa tidak mungkin selamat, hanya bisa mengucap takbir. Saya, sih, yakin. Kalau misalnya mati ditusuk, saya akan syahid masuk surga karena sedang mengucap takbir. Itu perkiraan saya, sih, nggak tahu hitungan langit nanti gimana.

Detik demi detik terasa sangat lambat. Tiba-tiba, pengendara Honda Vario 110 satunya bilang, “Wis, rasah ditusuk.”

Laki-laki yang memegang sangkur itu berhenti, tapi masih mengacungkan sangkur ke muka saya, perempuan lemah lembut ini. Detik itu, saya sudah siap melempar kunci Suzuki Shogun R ke sungai di sisi kanan saya. Namun, kayaknya, si laki-laki bersangkur itu tahu gelagat saya.

Dia maju dengan cepat, merebut Suzuki Shogun R dari tangan kanan saya. Sedetik kemudian, dia mendorong saya ke arah sungai.  Alhamdulillah, sungai itu sedang surut karena kemarau. Saya terjatuh, terluka sedikit, tapi selamat.

Terhuyung-huyung. Sempoyongan. Saya berjalan ke permukiman. Ketika naik dari sungai, saya bisa melihat Suzuki Shogun R itu menderu sepanjang jalan. Beradu kecepatan dengan Vario 110 yang baru launching 2010an itu.

Saya beruntung. Saat itu, almarhum ayah teman saya melihat saya berjalan sempoyongan. Beliau membopong saya menuju ke almarhum bidan, yang tempat praktiknya dekat dengan lokasi kejadian.

Di lokasi lain, bapak saya masih jadi imam di musala kami. Entah kenapa, malam itu, dia ingin membaca salah satu surat panjang yang sering dibaca almarhum kakek kalau jadi imam.

Setelah diperiksa, di tangan kiri saya ada luka sobek yang agak dalam. Mungkin sangkur si maling Suzuki Shogun R sempat menggores tangan saya ketika dia merebut kunci dari tangan kanan saya.

Proses menjahit pun berlangsung dramatis.

Saya masih sempat menelepon teman satu tim saya, sambil dijahit, berujung dibilang bohong karena katanya tidak mungkin saya bisa menelepon. Tapi saya tetap saja menceritakan apa yang terjadi sambil menahan sakit. Bius yang dipake bidan adalah bius lokal untuk menjahit perineum.

Sakit. Dan saya sibuk memegang tangan tetangga saya. Sesekali bidan tersebut berucap, “Nduk, alhamdulillah, kowe selamet nduk, ya Allah. Neng endi to Pak Yanto ki. Wayah ngene kok ora neng omah.”

FYI, Pak Yanto adalah mantri yang ahli jahit menjahit. Baru nyebut sekali, Pak Yanto datang. Sakti nih orang.

Beliau langsung bertanya, “Ini tadi sudah dibersihkan?”

Sambil menangis, bidan menjawab, “Belum.”

Saya cuma bisa meringis dan membatin, “Kojur, kojur!”

Pak Yanto pun bingung. Namun, mungkin karena terlanjur ya sudah syalala. Dijahit saja. Nasib.

Beberapa lama kemudian, bapak muncul. Beliau melihat sebentar, lalu keluar lagi. Haduh, mbok saya ditenangkan dulu, Pak. Malah ditinggal lagi.

Selang beberapa saat, seorang anggota Polsek datang, meminta keterangan kepada saya. Sambil dijahit, saya menceritakan kronologi raibnya Suzuki Shogun R. Kemudian si polisi ini berujar, “Nanti malam datang ke Polsek ya Mbak. Bikin laporan.”

Mamak saya yang ketakutan melihat darah langsung menangis dan bilang, “Jangan bawa anak saya, Pak. Bawa saja bapaknya.” Sontak bapak saya pun kaget.

Selesai prosesi menjahit, paman saya datang. Dia berencana mengajak saya ke rumah sakit. Namun, saya kadung takut ditakuti-takuti mamak soal infus. Katanya infus itu seram. Nggak usah ke rumah sakit. Kan saya jadi takut beneran.

Emang saya rodo oon sih. Nggak takut sangkur, tapi dengar kata infus, nyali langsung ciut. Maka jadi sudah, saya tidak jadi dibawa ke rumah sakit.

Akhirnya paman saya mengantar kami pulang, lalu kembali ke kota. Sementara itu, bapak-bapak menjaga saya, termasuk Pak Yanto. Sekitar pukul 11, ketika kantuk sudah datang, jahitan malah bocor. Darah merembes.

Pak Yanto langsung dengan sigap menyiapkan segala sesuatu. Sudah seperti di rumah sendiri kayaknya. Beramai-ramai, saya dibawa ke rumah sakit naik ambulans.

Sepanjang jalan, bapak sibuk menabok pipi saya supaya saya terjaga. Padahal saya sudah ngantuk luar biasa. Di sela-sela tabokan bapak, saya dengar bapak-bapak di kursi depan ambulans sedang memohon Pak Yanto menyalakan untuk sirine. Katanya, sekali-kali nyalain sirine. Owalah, malah ndagel.

Sampai di rumah sakit, jahitan saya diperbaiki, dan dijadwalkan operasi pukul satu siang keesokan harinya. Bapak menunggui saya sepanjang malam.

Paginya, bapak tetap berangkat ke sekolah. Pagi itu, bapak mendengar temannya bercerita. Dia melihat motor Suzuki Shogun R berwarna biru itu melaju kencang seperti kesetanan, diikuti Honda Vario 110.

Dalam keadaan sedang dimaling saja, Suzuki Shogun R tak bisa ditandingi Honda Vario 110!

BACA JUGA Pengalaman Saya Ditipu Showroom Motor Bekas nan Laknat Saat Membeli Honda Vario 125 dan pengalaman seru lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Penulis: Anisa Fitrianingtyas

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version