Persaudaraan Pengemudi Vespa dan Bengkel Berjalan di Bagasi Mereka

komunitas-vespa-mojok

komunitas-vespa-mojok

[MOJOK.CO] Sering mogok di jalan bikin pengemudi Vespa sangat solider. Satu mogok, semua berhenti ikut memperbaiki. Naiiis.

Di Indonesia hanya para pengendara Vespa yang akan saling sapa di jalanan. Biasanya mereka akan membunyikan klakson setiap kali mendahului sesama pengendara motor itu, kenal atau tidak kenal. “Nggak ada itu pengendara Astrea yang saling sapa di jalan,” kata teman SMA saya, Ratdhitya, ketika dulu membanggakan Vespanya.

Tapi, kalau kamu bawa RX King atau Ninja 2 tak yang biasanya mengganti fungsi klakson dengan suara nyaring knalpot, jangan coba-coba meniru kebiasaan anak Vespa itu. Masih untung cuma dikira nantang, kalau tanpa fafifu langsung dihajar kan repot.

Untungnya lagi kebiasaan itu tidak dilakukan pengendara Avanza. Jalanan bunyi klakson semua nanti.

Sesama pengendara Vespa juga akan lebih mudah akrab. Kalau kebetulan sebelahan waktu lampu merah mereka akan saling tanya tujuan atau tanya, “Vespanya masih standar?” Kalau lampu udah hijau tapi obrolan masih ingin lanjut biasanya mereka akan menepi, tapi lebih sering ngobrol sambil laju.

Ketika ada masalah di jalan, cerita akan sangat beragam. Dari mulai busi, kehabisan bensin, ban bocor, sampai masalah seker atau kopling putus. Yang pasti pengendara Vespa lain akan menghampiri. Minimal tanya ada masalah apa, dan kalau bisa dibantu pasti akan dibantu.

Malam minggu kemarin adik kelas saya di Kehutanan UGM mengajak saya iktu kumpul dengan komunitas Vespa. Kebetulan sedang ada acara Jogja Rolling Scooter di Jogja Expo Center (JEC). Sayangnya, kami datang terlambat, rombongan sudah selesai keliling kota Jogja.

Akhirnya malam Minggu kami habiskan di angkringan utara Kehutanan. Banu juga mengajak Bolang, dia asli Cirebon, adik kelas saya juga di Kehutanan. “Aku nggak pernah pergi jauh pakai Vespa,” kata Banu.

“Emang paling jauh ke mana?” Tanyaku.

“Cangkringan.” Cangkringan itu wilayah Yogyakarta di kaki Gunung Merapi.

Kemudian saya tanya ke Bolang, “Kalau kamu pernah ke mana saja?”

“Banyak. Pacitan, Cilacap, Bandung, Demak, Pangandaran. Biasanya pergi berdua sama teman kos.”

Anak ini ketika di Cirebon juga tidak pernah lepas dari motor ini. Katanya sudah nyaman. Makanya dia boyong Vespa PS tahun ‘82 miliknya ke Jogja.

“Waktu saya ke Pacitan, ban Vespa sempet bocor di jalan. Apesnya itu kok ya di tengah hutan. Mana ada tambal ban pikir kami, wong itu sudah malam juga. Lah untungnya ada anak Vespa lewat. Orang Semarang. Dia tukar ban bocorku sama ban cadangannya. Ha itu masih saya pakai sampai sekarang,” sambil menunjuk ke arah motornya.

Ketika di JEC, Bolang berkata ingin membuat komunitas di UGM. “Vespa apa saja, yang matik juga bisa gabung, biar ramai,” katanya. Sekadar kumpul dan menjalin relasi, kemudian diakhiri dengan keliling kota ramai-ramai, itu yang biasanya dilakukan perkumpulan Vespa.

“Kalau yang punya lebih banyak cerita itu anak Vespa gembel,” Bolang mulai berbicara lagi. Vespa gembel adalah Vespa yang dibentuk sekreatif mungkin, ditambah satu saf ban, body dibuat panjang, setang dibuat tinggi sebelah, sampai dibentuk cespan dengan aksesoris gantungan macam-macam.

“Mereka bisa sampai ke Sabang cuma bawa uang saku lima ratus ribu, dan mereka benar-benar nggembel,” lanjut Bolang.

Di kos Bolang ada satu Vespa gembel milik temannya yang sudah lulus. Sayangnya si empunya sedang tidak di Jogja. Bolang pernah membawa Vespa gembel itu masuk ke kampus, tapi ya gitu. Diusir.

“Vespaku juga pernah kehabisan bensin, jam 3 pagi itu. Kudorong sampai nemu yang jual bensin,” Banu mulai bercerita.

Ceritanya biasa saja, tidak terlalu menarik di bagian ini, tapi saya tetap mendengarkannya.

“Aku juga pernah di Ternate, Maluku,” sambung Banu.

“Ha! Katanya nggak pernah jauh-jauh!” sahut saya.

“Waktu KKN itu. Lumayan dapat pinjaman Vespa dari mahasiswa Universitas Khairun. Bisa buat keliling-keliling Ternate. Tapi distarter susahnya minta ampun. Businya gampang basah kan itu, jadi kalau mesinnya sudah hidup, jangan sampai mati di jalan, bisa repot.

“Lah kok ndilalah pas lampu merah mesinnya mati. Untungnya ada anak Vespa lewat. Dia lebih paham mesin daripada aku, diotak-atik sedikit sudah nyala lagi. Yang bantu aku itu padahal mau ke rumah sakit jenguk saudaranya, tapi masih sempat otak-atik mesin,” Banu menutup ceritanya.

Saya jadi ingat waktu ke Camp Mawar, Jimbaran, Kabupaten Semarang untuk mendaki bersama beberapa kawan waktu masih SMA. Kami salah ambil jalan karena jalur utama ditutup. Masuk ke desa yang sangat sepi karena sudah malam. Jalan desa yang rusak parah membuat perjalanan tambah susah.

Kami tidak tahu sudah sampai mana dan akan tembus ke mana jalan ini, tapi kami terus saja. Bukannya malah putar balik.

Di jalan yang aspalnya berlubang-lubang itu, knalpot Vespa kawan saya lepas. Bencana dimulai, pikir saya. Si kawan dengan cepat mengeluarkan alat-alat dari bagasi motornya yang sudah mirip bengkel bergerak itu. Mencoba memperbaiki sebisanya. Terpasang, lepas lagi, dipasang lagi, lepas lagi. Begitu terus setiap melewati lubang-lubang besar dan jalan yang tidak rata. Padahal sepanjang jalan di desa-desa yang kami lewati keadaannya begitu semua.

Sampai kapan penderitaan ini. Mana kami sudah mengantuk dan ingin cepat-cepat tidur di tenda.

Beberapa jam kami lalui dengan kesibukan pasang-memasang knalpot sampai mencapai jalan dengan aspal mulus. Ternyata kami baru sampai Kota Ungaran, masih jauh lagi. Perjalanan yang biasanya hanya dua jam malam ini kami tempuh sampai hampir lima jam.

***

Bolang tidak yakin dengan apa yang membuat ikatan di antara pengendara kendaaraan ini begitu kuat. Dari yang tidak kenal bisa saling membantu di jalanan. “Sudah dari dulu seperti itu, zaman saya masih di Cirebon juga seperti itu. Tiap ada Vespa mogok pasti langsung didekati. Nggak pandang umur, golongan, partai, apalagi status sosial, selama masih bisa bantu pasti dibantu.”

Tidak hanya pada sesama pengendara kendaraan buatan Italia ini, pada pengguna jalan lain, tak jarang mereka juga membantu. Dengan modal bagasi yang sudah mirip kotak perkakas, isinya alat-alat bengkel membuatnya lebih mudah membantu orang.

“Sekarang kalau sama Vespa matik juga menyapa. Tapi, harus kita dulu yang nyapa, kalau nggak ya mereka juga nggak nyapa duluan.”

Solidaritas di antara pengendara yang tinggi itu menurut saya tidak muncul dengan sendirinya. Ada hal-hal yang melatarbelakangi.

Saya yakin kesamaan nasib adalah salah satu alasan yang kuat, yang membuat pengendara memiliki ikatan yang kuat. Seperti terbentuknya sebuah suku bangsa, mereka adalah bangsa pengendara Vespa.

Setiap pengendara Vespa pasti mengalami masalah-masalahnya sendiri saat berkendara. Saya juga ikut merasakan bagaimana dibuat repot oleh motor yang bermasalah. Walaupun sudah dirawat, kadang-kadang banyak hal-hal tidak terduga terjadi, seperti knalpot yang lepas itu.

Siklus dibantu dan membantu orang yang terjadi dalam perjalanan hidup pengendara Vespa membuatnya memiliki ikatan yang kuat tanpa harus melalui diksar ala mapala atau mondok di tempat guru-guru besar ala pesantren. Ya kalau santri yang gabung mapala dan jadi pengendara Vespa berarti punya jiwa Vespa yang lebih-lebih lagi. Tetapi memang yang seperti itu tidak dapat diukur.

“Tapi sekarang ada juga yang seperti anak Vespa kok. Itu Go-Jek,” tutup Bolang yang kemudian diikuti tawa orang-orang di dalam tenda angkringan.

Exit mobile version