Naik Trubus, Truk Rasa Bus, Menjelajahi Jalur Trans-Sulawesi

trubus jalur trans sulawesi MOJOK.CO

MOJOK.COIzinkan saya pakai kata “bis” di tulisan perjalanan ini biar gregetnya menjelajahi jalur Trans-Sulawesi, jalur yang indah pemandangannya kayak wallpaper itu, terasa beneran.

Saya membuka KBBI untuk mencari kata “trubus”. Sebelumnya, saya kira trubus itu sejenis pupuk atau nama pohon yang bisa berbuah, ternyata bukan, bahkan tidak ada di kamus.

Trubus adalah singkatan dari “truk bus”, truk tapi bus. Meskipun tidak terlalu tepat karena seolah lebih tampak truk daripada busnya. Padahal, kendaraan tersebut lebih banyak mengangkut orang ketimbang barang. Tapi, saya nekat pakai karena jika dibalik (supaya lebih tepat) akan jadi “bustruk” (kayak nama pemain bola Turki) atau malah “busuk” (kayak ada bau-baunya malah). Sementara saya pakai trubus dulu sampai KBBI menetapkan entri mana yang lebih layak masuk ke daftar KK-nya.

Sebentar, trubus itu (((sebenarnya))) apa?

Ia adalah bis—sebetulnya saya lebih mantap pakai kata “bis” meskipun yang baku adalah “bus” karena bis-lah yang dipakai sehari-hari– yang dibangun di atas sasis truk. Jadi, izinkan saya pakai “bis” saja, ya.

Zaman dulu, nyaris semua bis menggunakan rangka truk. Jadi, bis itu semacam station wagon atau MPV sementara truk sebagai pick up-nya. Makanya, bis jadul itu pendek-pendek, kayak truk. Sejak menjelang tahun 80-an, Hino dan Mitsubishi kemudian berinisiatif membuat sasis khusus bis. Mesin sama, cuma rangka, jarak sumbu, juga rasio percepatannya berbeda. Maka, jadilah!

Akan tetapi, perombakan perpanjangan sasis berlaku hanya untuk bis besar. Untuk tipe medium alias bis ukuran tanggung, tidak semua perusahaan otomotif memproduksi variannya. Termasuk yang mengawali adalah Isuzu dengan NQR dan Hino dengan FB dan Dutro (belakangan juga Mitsubishi). Ada lagi? Saya tidak tahu. Maaf, saya bukan sales.

Di Sulawesi, kamu akan jumpai spesies trubus ini dalam jumlah yang banyak. Sasisnya masih didominasi versi lama, sasis truk yang dipasangi bodi bis. Tetapi, mungkin juga sudah dimodifikasi, seperti rangka dan pilar yang dibangun khusus, misalnya dipasangi penyangga tambahan. PO Bone Raya bahkan pasang dua penyangga di dalam kabin, macam orang mau ngecor lantai dua saja. Barangkali karena bis tersebut beli bekas, artinya memang tidak dipersiapkan untuk angkut barang di atap.

Naik trubus seperti ini punya sensasi tertentu, lebih-lebih jika dilakoni di trek Trans-Sulawesi. Pemandangan alamnya surgawi, tapi treknya kayak menari di tubir maut: sekali terjatuh, langsung masuk surga, diberitakan koran keesokan harinya. Pengalaman saya menjajal trek Sulawesi pada Oktober 2019 adalah empat trip. Trip 1 sampai 3 naik bis medium semua, dua trubus. Trip keempat saja yang naik bis beneran, dari Toraja ke Makassar.

Perjalanan itu saya sebut “Jelajah Celebis”, jelajah Celebes Naik Bis. Jika kita ibaratkan, pulau itu sebagai angsa yang menghadap ke timur. Kita mulai dari Manado sebagai kepalanya, Palu di ujung leher, dan Makassar sebagai cakar kaki kanannya. Berikut ulasan singkatnya.

Rute Pertama: Manado – Gorontalo

Rutenya tidak jauh, “hanya” 450-an kilometer, seperti Jakarta ke Semarang. Lama perjalanan makan waktu 9 jam, ditambah waktu makan-salat setengah jam. Bis-bis kecil jenis trubus ini berangkat pagi hari dari Terminal Malalayang, sekitar pukul 6 WITA, atau kurang. Kalau bis besarnya, baik yang tujuan Palu, Luwuk, maupun tujuan Makassar (via pantai barat), berangkatnya siang dan tiba di Isimu, percabangan jalan sebelum ke Gorontalo, sekitar pukul 9 malam.

Ongkos ditarik sebelum berangkat. Jadi, meskipun tampak sederhana secara jasmani, trubus ini menerapkan sistem tiket ala kasta ekskutif: tiket beli di loket, tidak ditarik di atas kayak bumel atau patas di Jawa itu.  Alasannya, karena nyaris sepanjang jalan bis tidak menaikkan penumpang lagi. Kalau pun ada, mungkin hanya satu-dua; beda dengan bis-ekonomi di Jawa yang berhentinya meteran.

Ongkos Rp100 ribu untuk trayek sepanjang 450-an kilometer (kurang-kurang dikit, maafkan, karena saya ngukur jaraknya pakai plakat yang dipasang Dishub, tidak menggunakan GPS atau Wikimapia) relatif murah, kan? Bis tanpa AC, sih, tapi pemandangan alam dan treknya sudah sangat sejuk secara alami tanpa bantuan freon. Panoramanya sudah cantik tanpa kosmetik. Oh, ya. Bis pertama yang saya naiki di trip ini berbasis Hyundai.

Jalannya lika-liku kayak ular. Tanjakannya terjal seperti tangga. Boleh jadi, permainan ular-tangga berasal dari tempat ini, kali aja! Trek seperti itu tiga per empat perjalanan alias 6 jam lebih lamanya. Panorama jalan di tepian laut yang berpadu dengan tebing gunung nyaris kayak wallpaper semua. Sepintas, muncul ide betapa menarik andai bikin tempat wisata di sana, tapi siapa yang mau datang? Wong lihat penduduk saja jarang-jarang. Pemuda tanggung yang suka ngebut nyaris tak ada, sebab mau ngebut gimana, baru narik gas, sudah nikung duluan.

Rute Kedua: Gorontalo – Palu

Rute berikutnya, saya masih pakai trubus PO Bone Raya. Kali ini, bis yang saya naiki berbasis Toyota Dyna. Ongkos lebih mahal daripada yang pertama, yakni Rp150 ribu karena jarak tempuhya lebih jauh, juga hampir 20 jam secara durasi. Tidak begitu jauh, sih, selisihnya, hanya 600-an kilometer. Tapi kok bisa selisih waktunya dua kali lipat? Jalannya lebih ampun-ampunan.

Jadi, Jalan Nasional di Sulawesi yang disebut dengan Trans-Sulawesi itu, yang marka tengahnya berwarna kuning itu, tidak lebar-lebar amat. Mungkin ia sekelas jalan antarkabupaten kalau di Jawa, bahkan mungkin lebih sempit. Saya tidak tahu persis lebarnya (belum sempat ngukur dan belum cek Wiki juga) tapi kalau ada dua truk Fuso berpapasan, salah satunya harus mengalah, di bagian tertentu, bisa-bisa “turun tanah”.

Kalau berangkat pukul 09.30 pagi dari Hulondalo (nama asli Gorontalo), melaju ke arah barat, kita akan mencapai perbatasan Provinsi Gorontalo dengan Sulteng pada pukul 5 sore. Desa terakhir provinsi ini adalah Molosipat, berada di Popayato Barat, Kabupaten Pohuwato. Desa pertama yang akan kita lewati berikutnya bernama dua Sejoli, eh, Desa Sejoli, Kab. Parigi Moutong.

Catat, nih! Waktu itu, kami masuk perbatasan pukul 17.00 WITA. Dengan bis berkecepatan rata-rata 60-70 km/jam, kami baru mencapai Toboli pada pukul 03.30 dini hari. Toboli ini merupakan desa di Parigi Utara. Untuk pergi ke Palu, ambil kanan di situ, menerabas hutan kira-kira 50 kilometer jaraknya. Kalau mau ke Poso, lurus terus.

Jarak dari Toboli ke Sausu Torono (batas ujung Kabuaten Parigi Moutong) sama dengan jarak ke Palu, masih sekitar 70-an kilometer lagi. Jadi, begini, jika berangkat dari titik Kab. Parigi Moutung di ujung utara sampai ke ujung kabupaten di selatan, kita butuh waktu kira-kira dari maghrib sampai subuh dengan rata-rata kecepatan segitu. Capek juga jadi bupati sini kalau kunjungan tiap hari.

Sebetulnya, soal angkut-mengangkut barang di atap ada jagonya. Namanya PMTOH dari Aceh, ALS dari Medan, juga bis-bis dari Nusa Tenggara, seperti Titian Mas dan Langsung Indah. Mereka tidak masuk dalam kategori trubus karena mereka itu memang benar-benar bus, cuman angkutan barangnya sangat banyak sampai bejibun di atap.

Bukan mustahil, separuh nyawa mereka ini memang berasal dari infus paket. Di Nusa Tenggara, konon—karena saya belum sampai ke situ—bis-bis medium juga banyak, tapi angkut-angkut barang di atapnya tidak seganas di Sulawesi.

Rute Ketiga: Palu – Toraja

Di rute ketiga ini, armadanya sudah bukan trubus lagi, melainkan truk biasa yang digauni seperti bis. Kenapa begitu? Mungkin karena penumpang-penumpang tujuan Poso, Palopo, dan Toraja, memang tidak suka bawa barang banyak-banyak, beda dengan tipe penumpang tujuan Palu, Gorontalo, dan Manado. Tapi, bisa jadi karena alasan lain yang saya tak tahu.

Dari arah Palu, rute ke arah pusat kopi enak ini melewati dua hutan—dan hutan beneran, bukan hutan jadi-jadian macam di Saradan atau di Baluran itu—sepanjang 45 dan 60 kilometer. Hutan pertama adalah yang ada di antara Tawaeli dan Toboli. Hutan kedua yang ada di antara Palopo dan Toraja.

Kala itu, sopir bis parkir sebentar di Battang Bar, Wara Bar, ngajak penumpang ngopi-ngopi di kesyahduan kabut pagi, sembari dia ngitung setoran. Tapi, ternyata kopinya tidak enak. Mungkin yang enak-enak sudah dibawa ke Starbucks dan Excelso, dan saya cuman kebagian biji-biji mentahnya. Cilaka.

Rute Keempat: Toraja – Makassar

Rute terakhir jelajah jalur Trans-Sulawesi ini memperlihatkan sebuah ironi. Perjalanan dari Rantepao ke Makassar punya banyak pilihan. Armada-armadanya kelas sasis premium, berkebalikan dari yang sebelum-sebelumnya. Scania dan Mercy kayak kecambah. Sembarang tunjuk pasti kena. Dan rutenya adalah yang terpendek, hanya 350-an kilometer saja.

Rantepao ini kota unik. Kecil. Ia hanya kecamatan yang kemudian dijadikan ibu kota kabupaten yang dimekarkan, yaitu Tana Toraja, menjadi Toraja Utara. Tapi begitu, untuk urusan angkut-mengangkut, tempat ini termasuk surga bagi penumpang bus, selain Kutaraja di Banda tentunya. Angkotnya saja pakai Innova, yang Reborn juga ada. Angkot, lho, yang kalau di Malang pakai Suzuki Carry itu. Kalau travelnya mah ada juga yang pakai Mercy Sprinter, itu, lho, yang harganya 10 digit.

Saya kira, perjalanan akhir dengan PO Manggala Trans menuju Makassar ini adalah sejenis dessert, penutup yang enak, dan bakal melupakan tiga trip sebelumnya. Ternyata, eh, di Makassar, malah ketemu trubus yang lebih ganas lagi: PO Cahaya Ujung. Bis ini benar-benar tampak seperti paket raksasa yang dikasih roda enam biji. Entah mau ke mana dia, ujung mana, saya tidak tahu.

Awalnya, saya kira, trubus-trubus hanya berkeliaran di sekitar utara, di Manado, Gorontalo, dan Palu. Ternyata, di Makassar, saya malah ketemu monsternya, yang nyaris seluruh atap dan bagian belakang bisnya tertutup terpal karena dipenuhi barang. Truk station ini benar-benar berasa truk, cuman dikasih tempat duduk saja.

Jadi, pan-kapan, mainlah ke Sulawesi, jelajahi seluruh jalur trans-nya. Sulawesi adalah tempat yang benar untuk belajar toleransi dan keberagaman, mulai dari soal adat, agama, sampai soal bisnya: dari yang trubus sampai Scania.

Tapi, ingat, jangan lama-lama! Kalau sampai dibangun jalan tol, nanti kamu menyesal karena tak kebagian kesempatan mencoba jalur Trans-Sulawesi. Maka, jika ada kawan cerita dan berkesimpulan bahwa seluruh penjuru Indonesia itu indah, sementara dia hanya naik pesawat dan kereta, jangan keburu percaya, sebab keindahan Indonesia itu nyaris ada pada setiap tikungan jalannya.

BACA JUGA Pandangan Baru Dunia setelah 202 Jam Naik Bis Lintas Sumatra-Jawa atau tulisan petualangan naik bus lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version