Merayakan Kegagalan bersama Honda Karisma

Memberi cap gagal sebenarnya adalah kebahagiaan tersendiri bagi lingkungan sekitar kita. Kalau ada saudara yang sudah nikah setahun dan belum hamil-hamil, langsung dicap gagal subur alias mandul. Padahal, itu saking lurusnya hidup pasangan suami istri tersebut sebelum menikah hingga akhirnya, untuk menemukan jalan yang benar jadi agak lama.

Kalau saudara saja berani dicap gagal, jangan heran kalau presiden juga begitu mudah diberi cap yang sama. Nggak percaya? Ketik saja “negara gagal” di Twitter, dijamin muncul tudingan-tudingan dari orang-orang yang mengelola uang jajan sendiri saja tidak becus.

Kegagalan adalah jatah semua bangsa. Semua orang. Semua makhluk. Mau sahur tapi baru terjaga pas imsak, itu sudah sebuah kegagalan di tingkat sederhana. Mau nembak gebetan yang cantiknya minta ampun tapi ternyata sudah beranak dua, itu juga gagal dalam kadar yang lebih signifikan.

Sebagaimana bola bagi Kapten Tsubasa, gagal adalah teman bagi kita semua.

Mengingat gagal adalah milik semua manusia, jangan heran kalau produsen sepeda motor juga, bahkan sering sekali, gagal. Kenapa larinya ke sepeda motor? Tentu saja karena ini rubrik Otomojok, jadi nggak mungkin saya nulis Chiki.

Sembari kalian guk-ling singkatan-singkatan era Mbah Harto sesuai arahan Muhidin M. Dahlan, silakan ketik “merek sepeda motor Honda yang gagal”. Percayalah, dari sekian versi yang muncul, dari yang memuat Kirana hingga CS1, ada satu merek yang pasti ada: Honda Karisma.

Kenapa pula Honda? Cobalah ke Sumatera sana: mau naik Yamaha, Suzuki, Tossa, pasti tetap disebut Honda. Ini bukan soal merek unggulan atau tidak, ini semata-mata tentang keberpihakan.

Membicarakan Honda Karisma artinya harus pula menyinggung Reformasi. Kemunculannya di awal 2000-an tentu bersandingan dengan hiruk piruk kala Amien Rais mengusung Gus Dur ke kursi presiden dan beberapa waktu kemudian menggusurnya dari kursi yang sama.

Kemunculan kembali Amien Rais sebagai Bapak mertua Selmadena Reformasi belakangan langsung membuat saya mengenang transisi yang terjadi belasan tahun silam, baik transisi Republik Indonesia maupun transisi sepeda motor milik Honda. Saya tengah menggeber gas Honda Karisma kelahiran 2003 ketika kenangan itu datang, berselang-seling dengan bayangan Gal Gadot yang beredar tiada henti.

Cap gagal pada Honda Karisma begitu mudah terlihat apabila ia dibandingkan dengan Supra, edisi yang muncul sesudahnya.

Supra itu sudah digoreng sama Honda sampai bolak-balik, plus diolesi tepung lagi. Ada Supra Fit, Supra X, Supra X 125, hingga Supra XX. Khusus yang terakhir ini, di beberapa daftar, dicap sama gagalnya dengan Karisma. Kalau Supra sudah sedemikian banyak variannya, Karisma hanya ada dua dan sesudah itu mati.

Honda Karisma pada zamannya muncul untuk menggantikan tugas legendaris milik Honda Legenda. Pada tahun 2000-an itu, Indonesia diserbu sepeda motor dari pabrikan Tiongkok yang akrab dikenal sebagai motor Cina alias mocin. Percayalah, pada zaman motor seperti Jialing dan Hokaido muncul, tidak ada yang berteriak-teriak “Cina komunis” atau “tolak asing aseng”. Semua tampak bahagia dengan sepeda motor yang dijual dengan harga nyaris separuhnya sepeda motor Honda.

Honda Legenda diluncurkan dengan segala kesederhanaannya untuk mengembalikan Honda sebagai patron. Dan sesudah Honda kembali di hati konsumen, Karisma meluncur ke pasar hanya untuk dicap gagal.

Padahal, Honda Karisma adalah golongan perdana yang mengenalkan indikator bensin non-jarum. Jangan lupa, pada 2007 Honda Revo saja masih pakai jarum. Honda Karisma juga mengenalkan bagasi jok yang muat banyak, sementara sebagian Supra yang muncul kemudian belum memberikan fasilitas itu. Karisma diberi cap sebagai motor bongsor, kegedean pantat, dan apalah-apalah yang lain, padahal di balik bodinya yang kurang seksi itu terselip inisiatif-inisiatif yang kemudian menjadi populer belasan tahun kemudian.

Dengan motor yang disebut gagal itu saya berhasil mengarungi banjir setinggi footstep di daerah Sekip, Palembang; di Jalan Raya Cikarang—Cibarusah, Bekasi; hingga di Jalan Sudirman, jalan protokol Ibu Kota Indonesia yang kerap menjadi sumber keributan massal bagi orang-orang yang bahkan tidak pernah ke Jakarta. Di genangan-genangan yang diciptakan oleh ketidakbecusan Kementerian PU itu, Karisma saya melaju dengan bahagia dan tidak pernah sekali pun mati mesin meski kelelepnya lumayan.

Bersama motor yang katanya gagal itu juga saya mencatat bahwa dalam kurun tujuh tahun, jok Karisma saya sudah pernah diduduki tiga mantan pacar dan satu pacar yang kemudian dimantankan juga untuk dijadikan istri. Mantan pertama dibonceng dalam status sudah mantan. Mantan kedua dalam status masih pacar dan ketika sudah mantan. Mantan ketiga dalam posisi belum jadi pacar. Yang terakhir dalam kondisi sudah pacar, lalu ketika sudah kawin. Masihkah ada jomblo yang akan menyebut Karisma sebagai sebuah kegagalan jika demikian faktanya?

Bersama Honda Karisma pula saya masih bisa sesekali balapan dengan Si Boy-Si Boy yang beredar di jalanan dengan motor besar mereka yang diperoleh lewat ngambek ke orang tua. Di Jakarta Raya, saya masih cukup sering menyaksikan bokong bongsor Honda Karisma berkeliaran, dipakai untuk menjajakan bakso maupun mengangkut kain yang ditumpuk satu setengah meter di Tanah Abang. Semuanya dilakukan oleh sepeda motor yang dibilang gagal itu.

Honda Karisma mungkin gagal sebagai sebuah merek. Produksinya dibunuh dengan keji oleh orang tuanya sendiri. Akan tetapi, Honda Karisma telah memberi jalan bagi teknologi sepeda motor untuk berkembang. Kegagalan Karisma sebagai sebuah merek nyatanya justru menjadi keberhasilan dalam konteks transisi teknologi. Atau kalau mau dipolitisasi, dapat disebut sebagai transisi atau sinkronisasi.

Jadi, sebelum memberi cap gagal, ada baiknya kita kunyah dahulu fakta-fakta yang ada. Jangan-jangan kegagalan itu sebenarnya transformasi dalam bentuk tertentu. Saudara yang belum hamil tadi, jangan-jangan pas hamil nanti malah kembar tiga anaknya. Nembak gebetan gagal, jangan-jangan karena sudah ada gadis yang dipersiapkan untuk kita. Kalau tulisan belum dimuat di Mojok, jangan-jangan karena editornya asyik berkasih-kasihan.

Honda Karisma telah memberi pelajaran bahwa tak apa-apalah disebut gagal selama membawa perubahan.

Dan jangan lupa, tiada satu merek kendaraan bermotor pun yang dapat meningkatkan kelas penggunanya hingga berlipat-lipat sebagaimana Honda Karisma. Ya, karena menunggang Karisma, saya seketika dapat disebut sebagai “Pria Ber-Karisma”. Hayo, gadis mana yang tidak kesengsem kalau begini?

Exit mobile version