Menikung Gebetan Teman Bersama Honda Revo

Sebelum menunggangi Honda Karisma yang ternyata kalah karisma dibanding Honda WIN100 dan bokongnya kalah semok dari Honda Vario itu, saya punya dua tunggangan dalam periode yang berurutan, yakni Yamaha Alfa dan Honda Revo. Untuk Otomojok mulanya saya hendak menulis motor yang pertama.

Lantas saya membaca kisah tikung-menikung bersama Satria FU. Segera saya teringat kepada seorang teman penunggang Satria yang sebenarnya sudah playboy sejak masih pakai Shogun, namun kadar ke-playboy-annya meningkat drastis pasca menunggang Satria. Ndilalah, periode si playboy ganti dari Shogun jadi Satria itu kurang lebih sama dengan periode saya mulai bersama Honda Revo. Ya, Honda Revo saja, tidak pakai absolut, tidak pakai FI. Hanya Revo. Itu sudah.

Berpindah dari Yamaha Alfa berusia 18 tahun ke Honda Revo yang kala itu mereknya saja baru launching 3 bulan adalah hal yang sangat mudah. Jangan bandingkan dengan pindah agama, sungguh jauh. Pindah agama berarti akan jadi omongan di komunitas yang ditinggal, untuk kemudian dipuji setengah mati di komunitas terkini. Kadang dipuji dan dikoar-koarkan doang, tanpa didampingi. Atau pindah partai? Nah, tanyakan saja sama Bapak Ibrahim Agustinus Medah di NTT sana yang pindah partai karena Golkar lebih memilih mengusung lelaki lebih belia bernama Melki Laka Lena di pilkada NTT alih-alih dirinya. Pindah dari Alfa ke Revo? Hanya pujian dan tatapan asyik yang saya rasakan.

Honda Revo saya adalah generasi pertama yang beredar di Desa Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman pada zamannya, tepat saat Pak SBY sedang moncer-moncernya memimpin negara. Motor dengan merek gres pasca konsumen jengah dengan supra-lagi-supra-lagi ini dalam waktu singkat menjadi idola mahasiswa, utamanya yang untuk bayar uang kuliah saja kudu mencari beasiswa dari semester ke semester kayak saya.

Bagaimanapun, dengan harga hanya 10 juta lebih sedikit, Revo adalah alternatif untuk kaum yang tidak mampu menjangkau Supra X 125, tapi ogah merendahkan diri ke Supra Fit, apalagi melipir ke mocin yang sudah kehilangan panggungnya karena dibabat Karisma. Revo ini kelas menengah yang sangat ngehek. Saya bisa ngehek di jalanan sementara orang tua saya terjerat riba karena uang buat beli Revo yang kontan itu ternyata hasil utang bank.

Kuncinya Revo sudah pakai pengaman, beda dengan Fit yang masih bisa dijebol demikian mudah pakai kunci T. Akan tetapi, indikator bensin masih jarum dengan penghitung kilometer juga belum digital. Toh khalayak juga tidak lihat speedometer kan? Woles saja. Belum lagi di bawah jok, Revo sudah memiliki bagasi yang menihilkan aneka gantungan, mulai sandal sampai jas hujan, yang biasanya memenuhi bagian depan sepeda motor.

Revo menjadi profil keluwesan nan hqq. Karena Alfa saya mudah lelah, saya sering meminjam sepeda motor teman-teman—terutama—para gadis, mulai dari Suzuki Smash, Yamaha Jupiter, hingga Honda Supra X 125. Kadang-kadang kalau dolan juga berada di garda terdepan pengendali setang guna memboncengkan gadis-gadis pemilik sepeda motor itu. Dari sederet motor yang pernah saya kemudikan dengan status pinjam itu, Revo sungguh merupakan motor paling luwes. Oh, jangan bandingkan dengan sepeda motor kekinian kayak R15 atau Nmax yha. Jauh.

Ha, bagaimana tidak luwes kalau fairing-nya bahkan lebih mini dari Alfa? Ditunjang mesin yang hanya 100 cc, Revo adalah motor yang paling pas untuk meliuk-liuk, tapi sama sekali tidak optimal untuk nggaya salip-salipan di Ringroad Yogya. Tiadalah mungkin bisa bergaya optimal jika dalam kecepatan 80 km/jam, stang depan sudah goyang Pantura.

Kekurangan gereget di jalanan lantas digantikan Revo saya dengan kemampuan menyalip gebetan di dunia percintaan. Ini penyalipan barokah karena sekaligus menyelamatkan teman saya dari cinta terlarang. Nyatanya memang sepeda motor baru selalu meningkatkan prestise penggunanya, secemen apa pun merknya.

Alkisah, saya punya teman sepermainan yang dahulu agak-agak banyingan, sebut saja namanya Rambat—ah, kisah Rambat sudah dilikuidasi dengan semena-mena sama editor sini. Sudah punya pacar, bawa motor pacar pula (perkara begini jamak di Yogya masa itu), eh berani-beraninya mendua bahkan meniga! Jadi Rambat ini bisa lo sarapan dengan Asih, makan siang dengan Endang, dan kemudian dinner dengan Narti. Semua dilakukan di kawasan yang situ-situ saja. Sangat memperlihatkan kepedean Rambat sebagai seorang playboy rintisan.

Sedangkan saya saat itu sudah menjomblo dan menyerahkan kembali sepeda motor kepada mantan hingga rezeki kemudian mengantarkan saya bawa Revo anyar itu tadi. Bermodal Revo, saya bisa was wus ke Sinolewah di kaki Merapi sana untuk ikut ospek dan lantas mbribik dengan mulia sebagai mahasiswa tua sekaligus panitia jemawa.

Tanpa saya sadari, salah satu mbribikan saya adalah teman makan Rambat. Revo lantas menjadi saksi kala saya melakoni kedok religi khas mahasiswa Katolik Yogya: mengajak ke gereja bareng serta ke tempat religius seperti Ganjuran (Bantul), Sri Ningsih (Klaten), atau Jatiningsih (Kulonprogo). Mengingat kurang asoy dibawa ngebut, maka di jalanan jelang Ganjuran yang penuh pohon di kiri dan kanan yang kini nge-hits karena sangat Instagramable itu, posenya adalah jalan dengan kecepatan 40 km/jam sembari bincang santai dan rem-rem sedikit demi keuntungan sesaat.

Bagaimana kalau perjalanan itu menggunakan Yamaha Alfa? Jangan harap. Saya pernah dua kali mengajak pacar orang untuk sekadar makan malam dan hasilnya adalah mendorong motor bersama. Kalau nggak percaya, baca saja novel saya.

Bahkan Honda Revo juga menjadi tempat yang saya pilih untuk menembak korban mbribik itu tadi dan alhamdulilah diterima dengan catatan bahwa mantan masih eksis di hati. Pada detik yang sama, Rambat akhirnya terlepas dari urusan meniga dan di kemudian hari diketahui bahwa yang dua lainnya juga lepas. Selain lepas dari dosa poli-pacaran, Rambat juga lepas dari keribetan mengurus tiga wanita sekaligus.

Si Revo kini masih eksis di Jogja, mengalami erupsi Merapi dengan petualangan dari posko ke posko, sudah pernah ke Angkringan Mojok, dan sudah jatuh berulang kali karena dipakai adik saya yang jomblo. Kedok religi dengan pergi ke gereja bersama serta lanjut ke Ganjuran juga dilakoni oleh adik saya dan bahkan berhasil untuk sebuah periode singkat sebelum kemudian gadis itu dia putuskan dengan sadar sepenuhnya. Baginya, pacaran itu penting, tapi sekadar untuk tidak lagi menjadi orang yang tidak-pernah-pacaran-selama-20-tahun.

Adapun generasi Honda Revo terkini sudah menjelma dengan segala embel-embelnya. Absolute lah, FI lah, 150 lah, matic lah. Kapasitas mesin meningkat, kenyamanan bertambah, fitur-fitur juga dilengkapi untuk meninggalkan sang pendahulu. Saya sendiri juga sudah tidak lagi pakai Honda Revo itu di usianya yang kini memasuki10 tahun itu.

Satu hal yang pasti, 10 tahun silam dengan Honda Revo anyar gres itu saya bisa wira-wiri Maguwoharjo ke Ngangin-Ngangin (Kulonprogo) guna menuntaskan skripsi, menunaikan kedok religi, hingga menikung target teman demi menyelamatkannya dari noda dosa.

Lantas, apakah cerita ini cukup penting bagi masyarakat? Jelas tidak. Tapi bukankah negeri ini juga sibuk mengurusi hoak-haok Pak Tifatul dan utamanya membincangkan pernikahan Raisa dan Hamish padahal tidak diundang?

Exit mobile version