Sori Suzuki Smash, yang Gesit Irit Itu Supra X 125, Bukan Kamu

supra x 125 mojok

supra x 125 mojok

Dulu saya pacaran naik angkot, jemput pacar pun pakai angkot. Si doi berdiri di depan gang rumahnya, saya menghampiri dengan melambaikan tangan melalui pintu angkot sembari berseru,

“Kiriiii!”

Untunglah sopir angkotnya tidak fobia palu arit sehingga pas saya bilang kiri, nggak dicap komunis. Sang sopir hanya menepikan angkotnya supaya pacar saya bisa lompat ke dalam angkot. Kata kiri yang keluar dari mulut saya tidak membuat penumpang berkurang, malah nambah.

Tapi, sejak sales motor Honda menyerang, saya nggak jemput pacar pakai angkot lagi. Saya dibelikan motor oleh Bapak setelah sebelumnya berhasil mengendarai motor blio tanpa nabrak tembok kampus sebagaimana hari pertama belajar mengemudi bersamanya.

Motor pertama saya adalah Supra X 125. Warnanya perpaduan hitam dan hijau kue talam, dilengkapi sticker One Heart di bodinya. Stiker itu mengingatkan bahwa saya hanya punya satu hati dan sudah digunakan untuk mencintai satu gadis.

Motor ini dibeli kredit. DP dibayar orang tua, cicilannya saya yang bayar dipotong gaji per bulan. Alasan orang tua berinisiatif membelikan saya motor bukan karena saya sudah kerja, tapi malah biar saya tetap kerja. Waktu itu saya sempat bosan jadi pegawai dan berniat resign untuk mengejar cita-cita sebagai Raja Bajak Laut dan menemukan One Piece, tapi Bapak mencegah.

“Kalau nggak kerja, siapa yang bayar cicilan setiap bulannya?”

Anju. Saya dijebak dengan sebuah motor kreditan.

Mau tak mau saya mengurungkan tekad berlayar dengan bendera bajak laut. Jalan ninja saya dihentikan oleh seonggok motor rakitan tahun 2013. Saya kembali bekerja dengan semangat seadanya. Setidaknya sampai cicilan motor lunas.

Setelah menggunakan motor selama berbulan-bulan, saya merasakan enaknya. Yang dulu saya kesal dibelikan motor tanpa persetujuan, sekarang saya malah bersyukur punya orang tua pengertian. Sekarang saya bisa ke Indomaret tanpa harus jalan kaki. Bisa antar pacar ke stasiun (yang biasanya dia naik ojek, sekarang saya yang jadi ojeknya). Mau kencan nonton di bioskop, saya bisa langsung jemput di depan gang rumah pacar. Bagian jemput depan gang nggak bisa diubah walau saya sudah punya motor. Maklum, waktu itu kami backstreet. Orang tuanya nggak setuju dia pacaran dengan cowok keturunan Jawa.

Tapi, setelah putus dengan saya, mantan pacar saya ini kembali pacaran dengan cowok Jawa. Saya merasa ditipu. Sebab pacar barunya bawa Yamaha Vixion. Jangan-jangan dulu orang tuanya nggak setuju karena saya bawa Supra.

Padahal apa kurangnya Supra? Walau banyak tukang ojek yang pakai Supra, bukan berarti saya ngojek juga. Ya, kecuali sehabis nganter, dikasih duit, saya nggak nolak. Tapi, intinya Supra juga bagus. Iya, bagus! Ehm. Kayaknya.

Selama bawa motor Supra X ini saya nggak pernah ngeluarin banyak duit untuk ongkos perbengkelan. Paling banter ganti busi setiap tahun sekali. Selama empat tahun pemakaian, baru dua kali ganti aki.

Sewaktu ganti aki yang pertama, saya disalahkan oleh Bapak karena jarang memanaskan mesin motor di pagi hari sebelum berangkat kerja. Jangankan manasin motor, Pak, manasin diri sendiri aja susah. Setiap bangun tidur, seringnya saya kedinginan dan mencari kehangatan di balik selimut untuk tidur lagi. Menurut beliau, malas manasin motor adalah penyebab utama kenapa aki cepat tekor sehingga jarum di speedometer ngaco dan lampu depan remang-remang. Klakson pun bunyinya kayak curut kejepit.

Selain nggak banyak jajan, Supra hemat bensin. Ngisi Pertamax full tank tak sampai 30 ribu rupiah, bisa kuat buat seminggu. Saya nggak perlu jadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menekan anggaran BBM, cukup naik Supra. Si gesit irit boleh jadi jargon Suzuki Smash, tapi Supra-lah juaranya. Karena iritnya itulah saya jadi cinta dengan Supra. Saya nggak pernah berniat ganti motor baru selama Supra masih super dan prima. Terserah mantan dan orang tuanya ngomong apa.

Tapi, ada satu omongan teman yang sempat saya dengarkan mengenai Supra dan saya.

“Beli helm dong. Biar nggak kegedean helm. Lu jadi kayak pilot pesawat Sukhoi.”

Sejak motor keluar dari dealer, saya memang pakai helm orisinal bawaan pabrik yang warna hitam itu. Alasannya, karena saya sudah dapat helm dari sononya, kenapa harus beli? Alasan lain, helm ini nggak bikin calon maling gelap mata atau mantan maling kambuh lagi. Saya yakin nggak bakal mengalami peristiwa helm dicolong, seperti yang dialami teman saya yang hobi beli helm mahal. Kalaupun nanti amit-amit motor saya digondol maling, paling helmnya ditinggal. Lengkap dengan pesan di kertas:

“Helm pilot Sukhoi kenapa dipakai naik motor, Mas?”

Tapi, setelah berkaca di spion, saya mengiyakan kalau helm Honda yang saya pakai ini bikin saya tampak seperti pilot Sukhoi.

“Untung, lo nggak pakai jaket Honda juga. Kalau iya, fix tukang ojek pengkolan genic,” ujar teman saya lagi.

Setelah beli helm baru, saya merasa lahir kembali. Saya naik Supra dengan penuh percaya diri. Sampai akhirnya saya dapat pengganti mantan. Dengan Supra ini juga saya jalan bersamanya ke mana-mana.

Suatu hari saya diajak naik bukit oleh temannya pacar yang juga mutual friend saya di Facebook. Waktu itu kami double date. Saya bonceng pacar naik Supra. Teman dan pacarnya naik Yamaha Byson. Sewaktu nanjak bukit, si Supra merengek, nggak kuat dan ngibarin bendera putih. Sampai akhirnya Supra mundur lagi dan saya cepat-cepat menyuruh pacar di boncengan untuk turun.

Di saat itulah saya tahu, Supra memang lebih pantas menyandang jargon Suzuki, tetapi soal tenaga ia masih kalah. Apalagi jika dibandingkan dengan Yamaha yang semakin di depan.

Selanjutnya, saya nanjak bukit bersama Supra dan minta bantuan tumpangan untuk pacar. Pacar saya pun di-pick up oleh teman saya yang bawa Byson. Sejak itu saya merenung lama, apakah saya masih pantas mencintainya?

Pulangnya saya membuat keputusan sulit. Saya nggak mau ganti motor, jadi saya berniat ganti pacar dengan alasan “Kamu terlalu berat buat aku dan motorku”. Saking cintanya saya dengan Supra.

Hehe. Canda.

Disclaimer: OTOMOJOK menerima kiriman ulasan dan pengalamanmu mengenai berbagai macam kendaraan. Dari Vespa klasik sampai Marcedes-Benz, Jaguar maupun Wim Cycle, bajaj roda tiga hingga truk gandeng roda delapan sekalipun. Panjang minimal naskah 800 kata, bisa dikirimkan ke redaksi@mojok.co. Jangan lupa tulis “OTOMOJOK” di subject email. Tulisan yang dimuat akan menerima honor yang lumayanlah buat DP sepeda Family untuk keponakan.

Exit mobile version