Cinta yang Berganti Sesuai Perubahan Honda CR-V

170802 OTOMOJOK CRV

170802 OTOMOJOK CRV

Tahun 2008, saat masih kaya, saya jatuh hati pada Honda CR-V generasi kedua. CR-V yang bentuknya sudah nggak boxy banget. Dimulailah driving experience saya bersama SUV hitam besutan Honda tersebut—setelah sebelumnya kenyang menunggangi Accord Cielo, Kijang Krista, lalu Innova generasi pertama yang seliter bensinnya hanya cukup menempuh jarak 10 tiang listrik.

Hari demi hari, cinta saya tumbuh sangat pesat pada CR-V ini. Sungguh-sungguh cinta, ke mana-mana selalu pakai si body macho ini. Mobil-mobil lain teranaktirikan, paling-paling hanya saya panaskan di garasi dua atau tiga hari sekali.

CR-V is the best, begitu ceramah saya kepada orang-orang yang saya kenal kemudian. “Saya takkan pernah mejualnya!” tekad saya dalam hati.

Powernya yahud, akselerasinya maut, handling-nya meyakinkan, dan penampilannya laki banget. CR-V memenuhi segala ekspektasi saya terhadap sebuah mobil, saat itu ….

Setelah dua tahun, cinta saya pada CR-V hitam pertama itu semakin membara tetapi sekaligus semakin mendekati ajalnya. CR-V hitam yang telah saya lengkapi sound system seharga hampir 30 jutaan itu harus mencucurkan air matanya ketika sebuah SMS (belum ada Wasap) melindap ke HP saya di tahun 2010. Dari orang dealer Honda Janti!

Saya segera berangkat ke dealer Honda untuk menyaksikan tongkrongan idaman baru, New CR-V. Benar-benar berubah total CR-V kali ini. Dari berbentuk ala jeep jadi membulat macam busur. Dari gaya macho ala bad boy jadi gaya eksekutif yang rada genit. Benar-benar berbeda jauh dari CR-V cinta pertama saya yang terparkir di halaman. Tidak hanya eksterior dan interiornya, bahkan jeroan mesinnya. Major change. Lahir-batin!

Tercampakkanlah CR-V hitam itu, digantikan CR-V putih baru. Hanya dalam waktu inden sekira satu bulan. Bye-bye, Blacky ….

Pengalaman mengendarai CR-V sebelumnya, yang pernah saya tekadkan takkan pernah saya jual, terlunasi penuh oleh realisme-magis CR-V putih ini. Tak ada satu pun yang patut dikeluhkan. Benar-benar perfecto!

Kalaupun ada yang mengganjal, itu soal sound bawaannya saja yang memang terlampau sudra untuk ukuran New CR-V. Tapi, bagi cinta yang membara, permaafan selalu ada, kan? Satu iyig takkan membuat hati berpaling, kok. Lagian, solusinya juga sederhana: upgrade. Maka, lagi-lagi, saya “sedekahkan” empat Ninja RR seken (yang kau gadang-gadang bakal memuluskanmu dapat ciwik iyig) demi menutupi satu kelemahan genetik itu.

Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menabuh genderang tekad takkan menjual CR-V putih ini. Persis tekad lawas pada CR-V hitam yang telah diadopsikan ke seorang kawan dengan mahar persahabatan.

Jika lagi teringat CR-V hitam yang saya khianati itu, saya menyegerakan diri berpikir positif bahwa manusia yang bisa salah juga sangat bisa berubah menuju perbaikan diri. Tidaklah elok menilai seseorang dari satu kesalahannya di masa lalu untuk dijadikan definisi permanen sepanjang hidupnya. Jika tekad sebelumnya saya khianati dalam tempo tak ada dua tahun, saya yakin tekad baru pada CR-V baru ini akan abadi. Saat itu ….

Ke arah barat Jogja, atau ke timurnya, ke mana-mana, saya selalu membejek CR-V putih ini. Makin lama makin lupa saya pada kisah cinta CR-V hitam, kecuali saat mengisahkannya pada kawan-kawan perihal kelemahannya. Saya tahu itu tidak adil baginya, bagaimanapun ia pernah memberikan kenangan manis dan bahagia. Ternyata benar, ya … saat sudah ada pengganti, yang lama yang pernah diemut-emut pun enteng saja dihina-hina.

Hari demi hari pun berlalu, sampai cinta saya pada CR-V putih itu porak-poranda. Tahun 2015, Honda yang gemar ngeruketi tabungan orang mengeluarkan All New CR-V. Kembali, kejadian di masa 2010 itu berulang: tampilan baru lahir-batin, jeroan mesin pun dioprek hingga lebih tinggi sekitar 20 HP, benar-benar major change. Bentuknya jauh lebih macho dibanding generasi sebelumnya. Sudah pasti, bejekan akselerasi, handling, dan fitur-fitur iyig lainnya dibikin lebih sempurna oleh Honda. Juga harga jualnya ….

Ya, begitulah memang taktik para bakul untuk memberdayakan sumber daya fanatisme jamaahnya dengan seluas-luasnya. Mau Toyota, Honda, Nissan, Terazi Mak Ilyas, hingga 212, sama sajalah. Maklum, namanya juga bakul.

2015, CR-V putih itu mulai jadi jablai di bawah pohon sukun di depan kantor saya. Daun-daun jatuh yang tak pernah membenci angin berserakan di sekujur tubuhnya. Debu-debu yang tak tahu arah jalan pulang makin tebal di segala sisinya. Sepasang merpati hedon mulai merencanakan sarang di atapnya. Benar-benar nahas nasib cinta yang tergulingkan oleh kudeta sesamanya, maksud saya; sesama CRV.

CR-V putih itu hanya kuasa mengusap matanya yang basah setiap menyaksikan saya lalu-lalang di hadapannya bersama All New CR-V hitam. Namanya juga masih cinta, mustahillah tiada retak rasa. Saya lalu menjualnya kepada seorang kawan dengan harga persahabatan.

Well, jika kini Anda bertanya kepada saya, SUV apa yang amat berkesan dalam hidup saya meski berkali-kali pula saya khianati, jawabannya hanyalah CR-V. Nissan X-Trail yang harganya lebih murah dan Mazda CX-5 yang harganya lebih mahal, ramashoook.

Tapi, saya belajar satu hal dari sejarah CR-V ini: sejarah ekonomi seseorang sangat menentukan sejarah cintanya. Tak usahlah kepedean bila diberi tekad “cinta selamanya” oleh seseorang, sebab sejarah ekonominya lebih perkasa untuk membuatnya berubah. Pun tak usah gelap mata bertekad mencintai seseorang seumur hidup, kondisi ekonomi teramat gahar untuk dibungkam. Ikrar cinta sejati hanya murni lakunya saat kau papa, percayalah.

Tekad cinta bisa berganti sesuai perubahan CR-V. Dan hanya Honda yang makin kaya. Bhaaa …. Suog.

Exit mobile version