Dibanding Citilink, Saya Pikir Batik Air Lebih Bagus

MOJOK.COBatik Air lebih oke ketimbang Citilink. Kenapa? Sebenarnya apa sih barometer pesawat ekonomi yang bagus itu?

Di antara sekian banyak orang yang punya pengalaman buruk sama Lion Group, saya tidak termasuk di dalamnya. Hehehe.

Pesawat adalah pelarian saya dari kereta api. Terutama karena rute utama yang saya tempuh adalah Yogyakarta-Jakarta. Kedua, karena kereta api dan pesawat mengalami banyak perubahan.

Sebelum rezim Menteri Jonan, kereta api adalah moda transportasi paling murah dibanding bis dan apalagi pesawat.  Itu masa-masa kereta api belum di-setting kayak bandara seperti sekarang, yang harus cetak boarding pass, pengantar nggak boleh masuk peron, dan tiketnya jadi mahal sekali.

Bahkan untuk poin pengantar masuk peron, jujur saja ini perubahan yang paling tidak menyenangkan. Stasiun tak lagi syahdu. Anda yang pernah jadi mahasiswa di Yogya pasti tahu rasanya, ketika momen-momen duduk sama pacar nunggu kereta sambil ngobrolin masa depan disambung dadah-dadahan sentimental kini hanya jadi kenangan.

Saya tidak menyangkal bahwa Menteri Jonan membuat kereta api berubah lebih baik. Tapi, tiketnya juga jadi melangit. Anda bisa cek, tiket kereta eksekutif kini sama dengan tiket pesawat. Bisa tembus hampir 500 ribu. Sementara perjalanan kereta Yogya-Jakarta memakan waktu delapan jam dan pesawat hanya satu jam. Naik kereta ekonomi? Sudah nggak masuk akal karena bisa sampai belasan jam di jalan.

Dan kemudian, pesawat andalan tentu saja Lion Group. Apalagi sejak Traveloka berjaya.

Nyaris sudah setahun belakangan saya jadi langganan tetap Adisutjipto-Halim Perdanakusuma. Derita cah LDR yang tiap wiken membersamai jamaah lain yang rutin melakukan perjalanan PJKA. Pulang Jumat kembali Ahad. Naik turun di Halim karena apalagi kalau bukan Soekarno-Hatta jauh dari kota. Rute ini hanya menyediakan dua jenis pesawat: Batik Air dan Citilink.

Selain itu, ada beberapa pesawat yang pernah saya cicipi untuk ngalor-ngidul di rute domestik. Lion Air, Garuda, Sriwijaya Air, dan NAM Air. Udah, cuma itu. Masing-masing pernah dicoba lebih dari satu kali. Berbekal pengalaman itu, saya coba memberanikan diri mengulas, mana sih yang paling enak di antara semua pesawat itu.

Seperti sebagian besar rang-orang kismin di Indonesia, tanpa Lion, mungkin saya nggak akan pernah naik pesawat. Lion Air adalah pesawat pertama yang saya naiki, penerbangan Yogya-Jakarta. Itu pun dibayarin teman.

Semua orang tahu, Lion punya citra buruk. Delay adalah nama tengahnya. Tapi, seperti saya bilang di awal, saya kok nggak merasa pernah punya pengalaman buruk dengannya ya.

Saya perhatikan, semua pesawat di Indonesia punya masalah yang sama. Kadang terlambat terbang, kadang terlambat mendarat. Tapi, masalah itu biasanya karena problem bandara, bukan maskapainya.

Misal, satu pesawat yang terlambat akan membuat pesawat selanjutnya ikut molor. Itu terjadi di bandara-bandara dengan satu lajur terbang seperti Adisutjipto dan Halim. Atau di lain waktu, pesawat agak lama berputar-putar di udara karena antre landing. Nggak cuma Lion, nyaris semua pesawat pernah mengalaminya.

Makanya, buat konsumen yang tidak tahu rahasia dapur, susah menentukan siapa yang jadi biangnya delay. Atau kadang malah bukan delay, tapi kecepetan terbang. Yang kayak gini juga adaaa.

Delay satu dua jam rasanya masih bisa dimaklumi karena masalah tadi. Pengalaman terburuk saya dengan delay malah terjadi saat naik Garuda (yang tentu saja karena dibayari kantor). Sampai enam jam penerbangan terlambat karena masalah cuaca.

Secara kenyamanan, ada tiga pesawat yang menurut saya ada di kelas yang sama: Lion Air, Citilink, dan NAM Air. Sama-sama tidak enak dinaiki, hahaha.

Terutama soal kursi. Ketiganya memakai kursi yang tidak begitu empuk. Lion Air dan Citilink malah menyebalkan, kursinya melengkung. Punggungnya masuk, sementara bagian kepala condong ke luar. Posisi duduk kita jadi kayak udang.

Selain itu, ketiga pesawat ini punya ruang kaki yang supersempit. Semisal kita sudah telanjur duduk di baris dekat lorong dan kemudian ada penumpang lain yang harus masuk ke posisi dekat jendela, mau tidak mau kita harus keluar dulu. Saat terbang, mau menurunkan posisi kursi pun rasanya sungkan pada penumpang di belakang karena bisa mengganggu mereka.

Kemudian soal makanan. Saya rasanya lupa, apa Citilink dan Lion Air memberi kue dan air minum. Mungkin ada ya di rute yang agak jauh? Yang jelas, NAM Air selalu memberi dan kuenya saya ingat karena dibungkus kantung kertas yang ada tulisan NAM-nya.

Sayangnya, NAM biasanya cuma melayani rute ke dari Jawa ke luar Jawa. Pesawat yang satu grup dengan Sriwijaya Air ini pasti saya naiki jika terbang dari Yogya ke Pontianak.

Untuk Sriwijaya Air, saya merasa dia satu kelas dengan Batik Air. Keduanya jelas lebih baik dari Lion, NAM, maupun Citilink. Parameternya? Soal kursi yang lebih ergonomis dan ruang kaki yang lebih lebar. Tapi, ya, itu: Sriwijaya lebih umum dijumpai pada penerbangan ke luar Jawa.

Lalu bagaimana dengan Garuda? Pertama, karena aspek delay-tidak delay tidak saya masukkan dalam pertimbangan dan mengingat delay terlama saya terjadi pada pesawat ini, saya tidak akan memasukkan mitos “Garuda pantang delay” ke dalam ulasan ini. Kita bicara kenyamanan saja.

Garuda jelas pesawat nyaman. Tapi, nyamannya sama saja dengan Batik dan Sriwijaya. Kecuali bahwa dia memberi makanan yang lebih baik.

Penerbangan jarak dekat menyajikan roti, air, dan tisu basah yang dikemas dalam kotak rapi; penerbangan jarak jauh menyajikan makan berat seperti nasi ayam dan menu minuman yang bervariatif, seperti jus Buavita, Coca Cola, kopi hitam, dan teh, bisa minta pakai es dan dikasih gelas. Tapi, kayaknya hanya makanan yang bermartabatlah yang dikompensasi Garuda dengan tarifnya yang nyaris selalu dua kali lipat pesawat lain.

Kalau mau bisa nonton sambil terbang, toh Batik juga menyediakannya. Memang, ada jenis absurd seperti teman saya yang menilai pesawat juga dari seberapa cantik pramugarinya dan seberapa bagus seragamnya.

Saya bilang sama dia, kalau harus nambah 400 ribu untuk dibantu orang cakep lalu lalang dengan rok terkibas, mending kamu nonton video-video Gal Gadot di YouTube saja. Tapi, orang memang selalu punya sisi nggak masuk akal dalam diri mereka.

Lalu apa kesimpulannya? Ya menurut saya sih, untuk penerbangan di dalam Pulau Jawa, Batik Air adalah pesawat terbaik. Dia tidak semahal Garuda, ada makanan, ada layar untuk menonton, kursinya lebih nyaman dari Citilink dan Lion Air, harganya pun sama saja dengan Citilink dan Lion Air, dan penerbangannya ada banyak.

Sedih ya, sampai harus menganggap pesawat Lion Group sebagai pesawat terbaik? Gimana lagi, seperti kata Rusdi Kirana sendiri, “Saya ditanya, di-compare dengan airlines di Amerika, Lion Air seperti yang mana? Saya bilang, tak ada. Airlines saya adalah yang terburuk di dunia. My airlines is the worst in the world, but you have no choice. Makanya, ada yang bilang, Lion Air dibenci, tapi dirindu.”

Sesungguhnya kita ini memang konsumen yang lemaaah. Selemah di hadapan Mark Zuckerberg yang sudah melanggar privasi kita, tapi kita nggak nutup-nutup Facebook juga.

Exit mobile version