Hari Minggu kemarin adalah hari yang membahagiakan. Saya datang ke acara Tribute to Kretek di Taman Ismail Marzuki. Ada beberapa hal yang membuat saya bahagia. Pertama karena bertemu dengan banyak teman baik. Jarang-jarang bisa bertemu dengan banyak teman dalam satu kesempatan. Kejam sekali Jakarta ini. Dan Tribute to Kretek mengumpulkan saya dengan banyak sekali teman.
Alasan kedua adalah saat tahu tentang kampanye hari anti tembakau. Kampanyenya begitu, uhm, maaf, tolol dan dangkal sekali. Poster yang tersebar di dunia maya adalah gambar jari yang mematahkan rokok. Tulisannya adalah: “Ambil batang rokok dari teman terdekatmu lalu patahkan!”
Lha, itu kan ya tindakan ya dangkal. Kalau di lingkaran perkawanan saya ada yang kayak gitu, ya wis diantemi karo sak koncoan.
Bandingkan dengan kampanye anak-anak Tribute to Kretek yang kreatif sekali. Alih-alih mengajak orang untuk melakukan hal-hal menggelikan, mereka mengajak orang lain untuk bersenang-senang sekaligus belajar banyak hal.
Di acara Tribute to Kretek, para pengunjung bisa bermain catur dengan para jagoan catur jalanan yang bermarkas di Tebet. Banyak yang bertumbangan, tak bisa mematikan raja dalam tiga langkah. Lalu ada klinik tentang kopi. Juga pelajaran membatik rokok dengan ampas kopi. Hingga bedah buku karya Iqbal Aji Daryono. Puncaknya adalah pertunjukan Orkestrawa, sebuah kolaborasi mematikan antara orkestra dengan para comic. Saya menduga, kolaborasi macam ini adalah yang pertama di Indonesia.
Menarik semua tho acaranya?
Hadir dari awal hingga akhir acara, saya bersama tim Mojok Institute berhasil memetakan beberapa jenis penonton yang datang ke acara Tribute to Kretek. Beberapa di antaranya adalah:
1. Penggemar Para Selebritas
Tipikal penonton yang datang ke acara karena ingin bertemu para idolanya. Selebritas ini tak melulu terkait artis yang bisa dilihat di televisi. Melainkan seleb gaya baru: para penulis Mojok, seleb Twitter, hingga Seleb Facebook.
Saya mencatat ada empat orang selebritas yang datang hari itu. Ada Iqbal Daryono dan Rusdi Mathari, yang mewakili seleb Facebook. Ada Arman Dhani, yang mewakili seleb Twitter. Ada pula Agus Mulyadi, lelaki berparas kharismatik yang mewakili seleb blogger.
Penggemarnya pun bisa dipetakan. Penggemar Mas Iqbal rata-rata adalah ibu-ibu muda berhijab. Buktinya adalah antrean mamah-mamah muda itu untuk berfoto dengan mas Iqbal. Sedangkan fans Cak Rusdi adalah orang-orang yang suka menikmati tulisannya yang serius tapi santai.
Kalau Arman Dhani sih sudah jelas. Penggemarnya adalah dedek-dedek muda yang suka sekali dengan kata-kata manis yang mendayu dan…ehm, menipu. Saya menengok, ada ratusan dedek muda yang berfoto dengan Dhani, lalu mengunggah foto mereka itu disertai tagar #KetemuMasDhani.
Penggemar Agus gimana? Tak kalah radikal, Bung. Tadi saya ketemu satu perempuan, yang bilang ke saya sewaktu Agus menunaikan salat Ashar, “Mas, tolong bilang ke Mas Agus, saya siap jadi makmumnya.”
2. Para Penggemar Stand Up Comedy
Seperti yang kita tahu, banyak anak muda sekarang yang memperlakukan dunia lawak dengan berbeda. Mereka mengurangi lawakan slapstick, dan beralih ke guyonan dengan permainan kata-kata, memotret kondisi kekinian.
Lawakan macam ini ternyata jadi tren baru di dunia komedi Indonesia. Beberapa yang sukses, diborong pula di acara Tribute to Kretek ini. Mulai Anang Batas, Uus, hingga Mukti Entut.
Para penggemarnya berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari anak-anak muda berumur belasan tahun, hingga ibu paruh baya berjilbab yang tetap saja terkekeh waktu para comic melontarkan lawakan saru. Mereka termasuk fans militan para comic.
Penonton jenis ini memadati Teater Kecil TIM, hingga tiket sebanyak 300 lembar terjual habis. Mereka yang tak kebagian tiket masuk, rela menonton di luar, dengan layar besar yang disediakan panitia.
3. Para Penyuka Musik
Penonton jenis ini datang untuk menonton orkestra yang berkolaborasi dengan para comic. Seperti yang saya tulis di atas, kolaborasi ini sepertinya adalah yang pertama di Indonesia. Atau bahkan dunia. Tak heran kalau banyak penyuka musik yang penasaran dengan kolaborasi macam ini.
Selama ini orkestra, terutama musik klasik, diposisikan sebagai musik yang jauh berada di awang-awang. Ini adalah musik para dewa yang berada di Gunung Olympus. Penikmatnya adalah para cendekia, terpelajar, dengan otak cemerlang, dan isi dompet yang tebal.
Namun kali ini orkestra diperlakukan berbeda. Alih-alih menjadi musik yang menyeramkan dan berjarak dengan penonton, musik dari Yogyakarta Symphoni Orchestra ini sangat dekat dengan para penonton. Kedekatan ini bisa tampak dari dandanan para musisi orkestra yang tampil. Mereka tak memakai tuxedo atau gaun malam yang mewah. Melainkan memakai pakaian sehari-hari: ada pemadam kebakaran, pegawai Pemda, pria bersorba, mas-mas baju batik, hingga anak SMA.
Repertoar yang dipilih juga meniadakan jarak. Mereka tak mau jadi snob dengan memainkan nama besar di musik klasik, seperti Vivaldi, Mozart, Bach, atau Chopin. Mereka memilih untuk memainkan musik pop Indonesia yang ramah dan tak asing di telinga pendengar. Seperti lagu “Malam Biru” milik Sandy Sandhoro, “Lapang Dada” dari Sheila on 7, hingga lagu favorit Mas Puthut EA kalau sedang galau, “Aku Lelakimu” dari Anang Hermansyah.
Kedekatan ini ditambah dengan adanya para comic yang mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hasilnya adalah tepuk tangan yang memecah udara di Taman Ismail Marzuki tadi malam.
4. Simpatisan Kretek
Nah, simpatisan ini datang karena mereka tergerak dengan aksi simpatik kampanye laskar kretek. Mereka ini biasanya perokok maupun orang yang tidak merokok, sadar wacana pertempuran kretek vs antirokok, dan datang karena bersimpati dengan pergerakan kreatif.
Contohnya Mas Kokok Dirgantoro. Ia bukan perokok. Namun mantan foto model majalah remaja era 80-an ini datang, ikut diskusi bedah buku, bahkan memborong selusin buku karya Iqbal Daryono.
Saya juga bukan perokok. Sejak lahir hingga sekarang sama sekali tidak pernah merokok. Namun saya menaruh simpati kepada para perokok, terutama para perokok cerdas yang tetap saja diperlakukan seperti kriminal. Saya datang karena simpatik dengan kampanye laskar kretek ini. Kampanye mereka cerdas dan tepat sasaran. Mengajak kita untuk tersenyum dan berbahagia.
Mas Kokok, saya, dan mungkin para non perokok yang datang ke Tribute to Kretek adalah bukti kalau apa yang dilakukan dengan cara simpatik, cerdas, dan dari hati, juga akan menuai hasil yang sama. Tsah!