MOJOK.CO – Sudah betul itu, kita harusnya kecewa sama massa aksi 22 Mei yang bukannya membela rakyat malah membela kepentingan elit politik haus kekuasaan.
Selama ini saya pikir orang yang bisa melakukan aksi hanya orang yang memiliki empati. Maksud saya, keputusan untuk melawan dengan melakukan aksi hanya bisa dilakukan ketika kamu benar-benar tahu, mengerti, dan merasakan langsung adanya penindasan dan ketidakadilan.
Bikin aksi tuh berat, Dilan aja nggak akan kuat dan aksi, tentu saja bukan sesuatu yang bisa secara impulsif kamu lakukan. Karena aksi, bisa dibilang cara terakhir yang bisa kamu lakukan ketika kamu sudah mengupayakan segala cara formal (seperti maju ke pengadilan) untuk melawan penindasan dan ketidakadilan itu.
Karena aksi itu melelahkan, menghabiskan banyak tenaga, memakan banyak waktu, menghabiskan banyak biaya, dan (tetap) berpotensi tidak menghasilkan apa-apa, makanya melakukan aksi itu, hanya bisa dilakukan orang yang punya empati tinggi—yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, yang mau dan bisa mengorbankan dirinya, berusah payah untuk memperjuangkan kepentingan orang-orang yang tertindas dan mengalami ketidakadilan itu.
Orang yang individualis, punya banyak privilese, dan tidak pernah merasakan penindasan (seperti saya) mana punya panggilan untuk melawan. Yang ada, seringnya kita malah mempertanyakan untuk apa sih orang-orang itu melawan?
Karena tentu saja, empati kita tidak pernah sampai, otak kita nggak akan pernah kepikiran alasan-alasan kenapa orang bisa berjuang sekuat tenaga seperti itu. Karena kita, tidak pernah berada di posisi mereka karena selama ini selalu ada di posisi yang diuntungkan.
Kita tidak pernah mengerti kenapa buruh selalu melakukan aksi, kenapa ibu-ibu kendeng sampai menyemen kaki mereka sendiri, petani kulon progo tetap memaksa tinggal di wilayah yang rawan karena pembangunan, sampai kenapa sih masih ada orang-orang yang tetap bertahan belasan tahun ikut aksi kamisan padahal jelas-jelas mereka diabaikan?
Tapi hari ini, saya melihat pemandangan aksi yang berbeda. Sebuah aksi yang membuat saya kecewa. Bagi saya, massa aksi 22 Mei ini adalah aksi yang sangat jauh dari empati. Alih-alih bertujuan untuk melawan penindasan, aksi hari ini lebih cocok jadi aksi terror yang menakutkan, mengecam, dan sarat akan kekerasan.
Bukan hanya tidak memiliki manajemen aksi. massa Aksi 22 Mei ini juga jelas melanggar aturan, memancing kerusuhan, dan tentu saja yang paling mengecewakan adalah—tidak jelas apa yang sedang mereka lawan.
Lalu, ketika sudah dianggap keterlaluan (tidak membubarkan diri setelah lewat jam 6 malam, melempari polisi dan petugas keamanan, membakar mobil, memancing keributan) dan ketika hendak diamankan oleh kepolisian mereka bermain sebagai korban. Mengutuk-ngutuki polisi bertindak brutal, dan menyerang tanpa alasan.
MON MAAP NICH, ITU ANDA SENDIRI YANG CARI PERKARA. POLISI YA KERJAANNYA MENJADI POLISI, FYI NICH Polisi kalau dianggap brutal itu bukan cuma di aksi Anda, tapi di semua aksi (yang melanggar aturan) juga melakukan hal yang sama. Anda selama ini kemana aja?? Hah??
Kalau mau aksi sih ya aksi aja, tapi harus tetap bertanggung jawab dan ikut aturan dong. Jangan sampai menguasai ruang public terlalu lama, mengganggu ketertiban, stabilitas keamanan dan mengganggu perekonomian. MON MAAP NICH IBU KOTA KAN BUKAN CUMAN MILIK ANDA.
Hadeeh, padahal lagi puasa, Anda ini bikin saya ngegas aja. *buru-buru istigfar*
Lagian, apa sih yang kalian perjuangkan itu? Penindasan macam apa yang sedang kalian lawan? Dan yang paling penting—Mon maap Anda ini siapa, yha? Hmm? Mewakili rakyat? Rakyat yang mana?
Kalau tujuan Anda aksi gara-gara kalah pemilu lalu Anda ngamuk-ngamuk begitu, saya jadi curiga kalau Anda ini bukan sedang membela rakyat, tapi sedang membela elit politik yang pengin berkuasa dengan segala cara.
Hmm?? Apa?? Aksi ini meniru aksi reformasi??
Lho, asem. Jangan samakan aksi 22 Mei ini dengan aksi reformasi. Reformasi jelas, musuhnya adalah tiran. Lah, Anda ini melawan apa? Kecurangan yang masih belum bisa dibuktikan?
Tolong Anda jangan terlalu polos. Ketika Anda berantem. Elit tuh pada ketawa tauuk.
Lha wong bagi elit politik, kalah dari pertarungan kekuasaan bisa dengan mudah mereka selesaikan dengan melakukan konsensi-konsensi supaya kepentingan mereka tetap bisa terakomodasi kok.
Sadar nggak sih kalau segala keributan ini, nggak ada untungnya buat kita. Yang ada, kita malah jadi korban dari akumulasi proses-proses sebelumnya yang melibatkan ketakutan dan ancaman.
Narasi bahwa “Jika Jokowi menang tidak ada lagi yang menyembah tuhan” dan “Jika Prabowo menang rezim otoriter dan militerisme akan hidup kembali” jadi terdengar masuk akal dihembuskan supaya kita berpikir bahwa siapa pun yang menang, Negara tidak akan baik-baik saja. Dan kekerasan akan dibolehkan karena kita sedang berusaha menegakan keadilan, dan mencegah kehancuran negara.
Keadilan ndasmu. Membela elit mati-matian seperti ini itu emangnya jenis perlawanan macam apa?
Makanya saya kok selalu sepakat sama apa yang dikatakan gerakan golput waktu itu, “siapa pun yang menang, rakyat tetap kalah”.
Sudahlah, mari kita hentikan ribut-ributnya. Elit nggak perlu dibela. Politik itu cair dan mereka akan bisa saling mengisi sendiri-sendiri.
Daripada ribut-ribut, lebih baik simpan energi yang kita punya untuk dialihkan kepada hal-hal lain yang lebih penting. Lagipula, membela elit politik itu nggak ada gunanya. Toh selama ini kita tetap menjalani hidup bergantung pada diri sendiri. Bukan pada mereka.
Terlalu lama terjebak pada ketidakpuasan atas hasil pilpres nggak akan bawa perubahan apa-apa. Ada banyak hal penting yang lebih baik kita urusi. Hal-hal yang bersinggungan dengan kehidupan kita sendiri. Konflik agraria, sengketa tanah, pencemaran lingkungan, terorisme, pelanggaran HAM, kekerasan seksual, dan banyak hal lainnya. Lebih baik kita kawal isu-isu ini.
Melawan dengan menekan pemerintah dan para elit bekerja adalah salah satu cara terbaik untuk menunjukan ketidakpuasan. Jangan bikin elit nyaman dengan kita yang berantem nggak jelas lalu melupakan tugas-tugas penting yang harus diselesaikan. Lagian, aksi tanpa empati yang kalian lakukan itu, juga aslinya nggak ada gunanya. Cuman bikin suara kalian keras tapi buat apa kalau nggak mengetuk nurani siapa-siapa.