Membaca Gerakan Kampanye Tagar-tagaran Pakai Kaidah Ushul Fiqh

MOJOK.CO – Gerakan #2019GantiPresiden sudah ditetapkan tidak melanggar aturan. Di kubu petahana gerakan ini juga ada. Bagaimana membaca gerakan kampanye tagar-tagaran ini pakai kaidah ushl fiqh?

Diakui atau tidak, manusia kerap berusaha mengakali aturan. Sedari kecil kita mencari celah aturan-aturan yang ketat. Santri mbeling mungkin banyak yang begitu. Urusan asmara contohnya. Aturannya singkat: “tidak boleh pacaran”. Akal-akalan dimulai dengan menafsirkan sendiri kata “pacaran”. Lantas dicari celah apa saja yang tak masuk kategori pacaran.

“Lho, cuma teleponan kok, kan bukan pacaran?” dan seterusnya.

Akal-akalan dalam beragama juga ada. Contoh ekstremnya begini.

Puasa Ramadhan itu wajib. Tidak puasa itu dosa. Di sisi lain, memberi makan orang puasa akan diganjar dengan pahala yang sama dengan orang yang berpuasa. Lantas bisakah orang memilih tidak puasa lalu memberi makan orang yang puasa lalu dianggap sudah menunaikan kewajibannya? Toh pahalanya kan sama?

Untuk menjawabnya sama seperti analogi ini: seseorang melakukan tindak korupsi, lalu uang hasil korupsi itu dipakai untuk sedekah yang pahalanya berlipat-lipat itu. Maka bisakah amal saleh seperti itu berguna untuk membersihkan tindakan kotornya?

Nah, secara sederhana inilah yang saya sebut sebagai akal-akalan.

Dalam kajian ilmu fikih (atau fiqh) harus diakui memang ada banyak sisi yang sangat dinamis dan lentur. Beberapa kaidah bisa diperdebatkan dengan logika sebab-akibat sederhana. Tidak jarang kasusnya hanya ada satu tapi hukum yang dipakai berbeda-beda. Semua masih tergantung pada kondisi dan situasi yang perlu dijadikan bahan pendekatan. Inilah kenapa dalam tradisi ke-Islam-an di Indonesia, kita juga mengenal istilah bahtsul masail.

Yang cukup hangat belakangan misalnya soal vaksin. Bagi kalangan konservatif, vaksin jadi persoalan karena kebersinggungannya dengan unsur babi. Dengan itu maka vaksin dianggap haram. Bagi kalangan yang lain mengedepankan istilah istihalah (perubahan sifat) dan istihlak (lebur dengan unsur yg lebih dominan).

Maka bagi kalangan ini, vaksin tersebut dianggap halal karena sudah berubah sifat atau karena tercampur dengan bahan lain yang halal dan unsurnya lebih dominan. Lalu bagi kalangan moderat yang pengen hati-hati ajukan prinsip darurat agar ini tidak disalahartikan.

Jadi hukum asalnya tetap haram, namun karena darurat menjadi boleh. Sebab kalau tidak disebut darurat seperti itu akan bahaya juga kesimpulan hukumnya pada kasus lain. Seperti menghukumi oseng-oseng babi misalnya, hanya karena unsur bumbu dan sayurnya lebih banyak dari dagingnya, maka jadi halal. Ya kan tidak bisa seperti itu juga.

Dalam ilmu fikih penerapan suatu hukum seperti ini jelas berbeda dengan akal-akalan. Ada istilah yang lebih santun untuk menamainya, yakni hasil ijtihad dengan ragam pertimbangan. Ini jelas jadi dua hal yang sangat berbeda. Yang satu mengedepankan nafsu—mencari celah, yang satu memang digunakan untuk mencari mana yang manfaatnya lebih besar dari mudharat-nya.

Persoalannya, soal akal-akalan hukum semacam ini tampaknya juga muncul di hukum positif dan perundangan di Indonesia. Coba tengok aturan soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ada yang ajukan Judicial Review untuk kasus Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Padahal aturannya cukup terang. Seorang wapres bisa menjabat maksimal dua periode. Kemudian dicari celah: Apakah dua periode berturut-turut? Apakah dua periode dengan presiden yang sama? Apakah jika mengundurkan diri sesaat sebelum masa jabatan berakhir disebut satu periode utuh? Lagi-lagi semua muaranya sama: mencari celah.

Belakangan yang ramai adalah gerakan #2019GantiPresiden. Ada banyak perdebatan yang muncul mengenai gerakan ini. Apakah gerekan ini termasuk kebebasan bereskpresi atau bagian dari mencuri start kampanye?

Jika mengacu pada perundangan-udangan hukum positif, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; kampanye diartikan sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.

Lantas saya jadi kepo pada akun pakar konstitusi, Refli Harun (@ReflyHZ). Menurutnya kegiatan yang mempromosikan orang untuk dipilih atau untuk tidak dipilih; yang tidak dilakukan oleh peserta pemilu atau tim kampanye; harus dinyatakan tidak sah. Tidak sah artinya tidak boleh dilakukan.

Sementara menurut pendukung gerakan #2019GantiPresiden, gerakan tersebut adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Lagian, KPU dan Bawaslu juga tidak menganggap gerakan ini sebagai gerakan kampanye—setidaknya sampai saat ini. Hal yang sama juga berlaku pada aksi tagar-tagaran yang mendukung paslon di sisi lawan.

Kalau kamu boleh memilih, kamu akan pilih pendapat yang mana?

Kalau saya sendiri, sebagai (self-declare) “pakar mengakali aturan” punya pendapat begini:

Dalam kaidah Ushul Fiqh ada istilah Mafhum Mukhalafah. Apa itu? Mafhum mukhalafah biasa digunakan untuk menalar hukum yang tersirat. Caranya dengan memahami antonimi. Contoh sederhana: dilarang menyalip dari sebelah kiri. Orang waras langsung paham, berarti dibolehkan menyalip dari sebelah kanan tanpa perlu ada anjurannya.

Contoh lain: dibolehkan tayammum bagi mereka yang sulit dapat air dan sakit. Berarti kamu kalau sehat dan tinggal di negeri yang gemah ripah lohjinawi sugih banyu; kamu harus wudu pakai air. Tidak boleh tayammum. Maka kita bisa pahami nalar sederhana itu tanpa perlu disampaikan secara tersurat bukan?

Nah, dalam kasus tagar-tagaran tadi, sudah ada paslon. Kebetulan hanya ada dua. Mengajak untuk mengganti yang satu, berarti ajakan untuk memilih yang satunya. Tidak ada alternatif. Begitu kaidah mafhum mukhalafah bekerja.

Bahkan misalnya ada gerakan #2019TidakPilihPresiden atau golput yang jelas tidak merujuk ke siapa-siapa, simpulannya akan sama karena mempromosikan orang untuk tidak dipilih. Maka, saya pikir cuma ngibul belaka jika ada yang bilang bahwa #2019GantiPresiden belum tentu dukung paslon satunya karena ada kata “ganti presiden”.

Berdasarkan itu, maka gerakan ini sudah bisa saya kategorikan sebagai kampanye dalam kalimat: meyakinkan pemilih untuk memilih salah satu peserta pemilu. Dari simpulan sederhana itu, untuk sementara bisa dibilang bahwa ini termasuk dari cara mencuri start kampanye secara tersirat.

Persoalannya di kubu petahana hal itu sebenarnya juga sudah pernah dilakukan, seperti tagar #DiaSibukKerja dan #2019TetapJokowi misalnya. Secara tersurat memang tidak melanggar peraturan, tapi secara tersirat itu bisa saja masuk kategori, bahkan yang kedua telak sudah bisa masuk jadi bagian dari kampanye. Artinya, gerakan tagar-tagaran ini bisa saja masuk jadi bagian akal-akalan juga.

Akan tetapi, secara hukum positif, apa yang dilakukan gerakan tagar-tagaran ini tidak salah. Sebab perundang-undangan di negara kita tidak memakai kaidah Ushul Fiqih. Nah, di sinilah saya pikir pengusung tagar-tagaran mampu melihat celah itu kemudian memanfaatkannya dengan cerdik.

“Lho, kami kan tidak mewakili peserta pemilu tertentu. Lagian kami juga bukan Tim Sukses. Ya, boleh dong.”

Memang yang tertulis adalah “peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu” dilarang melakukan kampanye di luar jadwal. Sependek pengetahuan saya, tidak ada aturan untuk pihak di luar itu. Lantas apakah jika kegiatan itu digagas oleh orang-orang di luar tim sukses atau di luar tim resmi, jadi dibolehkan? Oh, tunggu, nanti dulu.

Berlaku kaidah Ushul Fiqih lain yang sering disebut mafhum muqafaqah. Apa itu? Kaidah ini merupakan lawan dari mafhum mukhalafah. Memahami yang tersirat dengan alur yang searah. Contoh sederhana: Dilarang membentak orang tua. Yang waras langsung paham bahwa memukul orang tua juga dilarang. Membentak saja nggak boleh apalagi sampai memukul, tak perlu ditegaskan kembali bukan?

Kembali ke soal tadi. Jika kegiatan kampanye tidak boleh dilakukan oleh tim resmi, apalagi oleh tim yang tak resmi, maka sudah barang tentu lebih tidak boleh lagi. Seperti kata Refly Harun, tidak sah. Kira-kira seperti itulah mafhum muwafaqah bekerja.

Tidak rumit sebenarnya melihat bagaimana ada banyak peraturan yang bisa diakali. Apalagi dalam politik semua hal hanya soal akal-akalan.

Pertanyaannya, siapa yang mau diakalin?

Exit mobile version