Urusan cinta tak bisa dipandang secara linier. Ia dinamis. Ada kemenangan. Ada kekalahan. Yang menang sudah tentu beroleh kesenangan, kebahagiaan. Biasanya kehidupan statis dan stabil menantinya. Yang lebih pasti lagi, kolom status di KTP terisi dengan gagah: KAWIN.
Sementara yang kalah selalu dihinggapi situasi yang bergelora. Pencarian dan pembelajaran tiada henti, pastilah. Ini modal meniti perbaikan nasib. Walau mereka selalu diejek dan mengalami perundungan tiada henti, mesti diingat, kekalahan mereka bukan kekalahan yang sepi. Lelaki-lelaki yang secara percintaan kalah, justru mengalami surplus dalam hal pujian. Kamu kira jomblo gak ada, apa, yang diberi bintang kepahlawanan? Ingat, di setiap millimeter kekalahan selalu terselip mimpi-mimpi untuk memperbaiki diri, memperbaja jiwa.
Belajarlah dari sejarah dan kenangan, betapa kekalahan bukan akhir dari segalanya. Tegakkan badan dan ambil posisi. Kamu punya teman dalam sejarah yang menghikmati jamu pahit kekalahan cinta tapi menjadi penyelamat nusa dan bangsa. Paling minim mendapatkan pendukung yang tiada disangka-sangka dari mana datangnya. Yang berubah jahat dan durjana ada juga sih.
Inilah 7 minibiografi lelaki yang kalah dan insya Allah memberi ibrah bagi kehidupanmu di kemudian hari.
Arya Kamandanu (Manguntur)
Sosok ini digandrungi ribuan anak muda sampai orangtua pada tahun 1980-an. Ia sosok yang rajin sport, karena itu badannya atletis dengan perut six pack. Sayangnya ia emoh dengan sastra, terutama puisi. Justru di sini soalnya. Puisi mengutuknya. Ia menjadi pemuda yang selalu kalah dalam percintaan. Cewek yang diam-diam dia bribik justru takluk pada penyair yang sialnya adalah kakanya sendiri, Arya Dwipangga.
Benar kata orang, kalau sudah bulat di hati, tembak saja. Tapi Kamandanu, walau tinggi ilmu kanuragannya, sifat pemalunya tiada bertara. Padahal cewek butuh kepastian yang verbal. Toh itu yang ditunggu Nariratih. Bahkan, saat Candi Walandit sudah sepi dan Nariratih sudah menggigil dibakar berahi, ditampiknya cewek itu. Kecewa ia. Penyair Dwipangga datang, ya bubar semua harapan Kamandanu. Nariratih yang jadi korban PHP si pendekar langsung saja banting kemudi. Hasilnya, ia bunting oleh si penyair (jadi kelingan Mas Sitok, duh).
Gak berhenti di situ saja. Setelah berbulan-bulan bermandi airmata dan memutuskan meninggalkan ortu dan kampung untuk melupakan tragedi cinta di Desa Manguntur, seberkas sinar cinta mencucup kembali. Pemudi cantik dari seberang, Meishin, rupanya menggetarkan hati si Pendekar Nagapuspa. Tapi itu tadi, kutukan puisi selalu menyertai kehidupannya. Pedangnya yang hebat tak pernah bisa mengalahkan puisi si penyair Dwipangga. Kamandanu meleng dikit, Meishin disambar Dwipangga. Bunting lagi.
Dua anak ceweknya yang dibuntingi penyair sekaligus kakaknya itu, justru biaya hidup semuanya di bawah tanggungannya. Nelangsa betul hidup pendekar yang dikutuk puisi ini.
Ia memang kemudian mengenal cewek bernama Sakawuni. Tapi sebetulnya gak pernah disukainya dan hanya dijadikannya teman dalam jalan pedang membangun batu bata Majapahit. Sakawuni berharap ia bisa menjadi pacar perjuangan si pendekar. Apa boleh bikin, Kamandanu mau mengawini Sakawuni hanya karena stres setelah ditolak tanpa tedeng aling-aling oleh Meishin di pelabuhan Tuban ketika ia minta kawin-ulang. Enak saja kawin-ulang, lha wong saat di lereng Arjuna ketika Meishin minta dicumbu, eh di pikiran si pendekar ini melela gambar-idoep si penyair cabul Dwipangga dan Kamandanu memutuskan memilih berkarir di Kutaraja ketimbang mengayuh biduk di ceruk sunyi Gunung Arjuna.
Kamandanu, pada akhirnya mengawini Sakawuni hanya karena gak elok rasanya seorang panglima perang Majapahit kok jomblo. Atas nasehat Lembu Sora, Kamandanu meminang Sakawuni di jalan raya saat keduanya berada di atas kuda. Darurat betul si Kamandanu ini. Cermat dalam bertarung, tapi tergesa-gesa dalam urusan asmara. Dan caranya menyusun kalimat pinangan itu seperti anak-anak semester awal jurusan sastra dan bahasa Indonesia. Gak bunyi.
Tapi ia kawin juga. Hasilnya, Sakawuni hamil. Anak yang lahir kulitnya bersisik ular. Si pendekar malu. Memutuskan pensiun dini dari panglima militer dan lari ke hutan. Sementara Sakawuni meninggal dalam persalinan. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Minke (Surabaya)
Semua pembaca biografi si Minke ini pasti hafal kalimat menggetarkan di akhir Bumi Manusia yang masyhur itu: “Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”.
Menurut saya, itu kalimat Ontosoroh untuk menghibur Minke yang kehilangan istrinya yang masih berusia belia, Annelies Mellema si Bunga Awal Abad. Kalimat itu, uwesss, gak usah ditafsir ndakik-dakik. Itu kalimat kekalahan yang menjadi awal kekalahan beruntun si pemuda pribumi yang berusaha sekuat-kuatnya menjadi lelaki modern dan setara dengan orang-orang Eropa.
Minke ini bisa jadi jago menulis, tapi lemah dalam percintaan. Yang agresif itu Nyai Ontosoroh. Walau hanya berasal dari kawula miskin, Ontosoroh jauh lebih berpengalaman. Buktinya, ia bisa membalik kenyataan, bahwa kawin-kontrak yang dialaminya menjadikan mentalnya makin membaja.
Lha Minke, mau kenalan sama cewek tingting anak Ontosoroh saja malunya sangat memalukan. Bribiknya gak cas ces cas ces crot. Sama saja dengan Kamandanu. Bedanya, Ontosoroh tahu kelemahan riil Minke ini dan mengambil inisiatif berkali-kali, agar Minke dan anaknya beroleh kesempatan dua-duaan di rumah.
Minke memang kawin kemudian. Penulis dan pelajar cerdas di HBS Surabaya ini, astaga, malam pertamanya, bahkan membikin malu sastrawan hebat macam Ajip Rosidi. Gak ada romantisnya, kata Ajip. Ajip saja mengaku nggak ada horni-horninya setelah Pram membocorkan adegan romantis malam pertama Minke dan si Bunga Awal Abad.
Maka itulah, kutukan sejarah pergerakan berlaku: Minke kehilangan istrinya setelah kalah berperkara di pengadilan. Setelah itu, kehidupan Minke berubah total. Kekalahan dalam percintaan dan dalam gapaian harapan membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah dilampiaskannya dengan menjadi jurnalis, penulis cerbung, dan aktivis pergerakan. Ia begitu berbahaya bagi pemerintah, namun menjadi olok-olok dalam urusan cinta.
Sebagaimana nasib cintanya, hidupnya pun berakhir tragis. Ia mati kesepian dan hanya tujuh orang yang mengantarnya ke pekuburan Mangga Dua, Jakarta.
Rangga (Jakarta)
Dalam hukum dialektika, Rangga adalah antitesis. Semua tesis tentang cowok paling diminati cewek di SMA diruntuhkannya, seperti terlatih basket, anak band (atau paling gak bisa bikin bunyi itu senar gitar) atau ketua OSIS. Lha, Rangga? Pendiam, sinis dan dingin, menulis puisi gelap, melek sastra Indonesia (puisi), dan menganggap perpustakaan sebagai kuil suci pencerahan. Tapi Cinta yang pecicilan dan suka rame pun bisa dibuatnya takluk. Juga ratusan ribu cewek yang menjadikannya idola baru. Sampai-sampai ada yang bikin KW-nya yang berakhir memalukan: si Rangga KW terlibat narkoba dan meringkuk dalam tahanan BNN.
Nah, si Rangga ori yang suka pada buku ini yang bikin saya memasukkan kisahnya menjadi salah satu film-buku penting. Namun bertahun-tahun kemudian saya mulai berpikir ulang, ini si Rangga sebetulnya lelaki yang kalah dalam percintaan. Apalagi alasannya meninggalkan gairah Cinta yang begitu menggelora tak terlalu jelas, selain bahwa pada suatu siang yang terang rumahnya dilempari bom molotov.
Muncul selentingan, bapaknya adalah sisa kiri masa lalu. Baiklah, katakan bahwa kiri selalu mengalami derita berlimpah-limpah dalam sejarah Indonesia. Tapi, tak adakah generasi kiri jilid 2 seperti Rangga ini sedikit saja bisa meraih kehangatan dalam urusan asmara dan tak melulu kecut. Misalnya, sukses dalam berpasangan.
Ataukah ini memang hukum besi sejarah: dinamika sejarah setarikan lurus dengan dinamika pencarian cinta. Atau ini: berkeluarga dalam cengkeraman neo-lib yang menjual kesenangan dan kemewahan di awal milenium ketiga hanya melanggengkan borjuisme dalam praktik?
Saya lalu bisa memahami bagaimana mantan mahasiswa kiri—dan kepala divisi agitprop KPRP—macam Puthut EA tergila-gila dengan kisah Rangga dengan berpura-pura mengagumi Cinta lewat cara-cara yang tak lazim, tapi picisan: membuat sayembara menulis puisi di On/Off pada 2002 dengan tagline: Dian Sastro for President! Itu semua demi mengidentifikasi diri bahwa Rangga itu kiri.
Itu Puthut EA! Absurd dan menye betul jalannya sejarah (kiri) milenium ini.
Duryodhana (Peranakan Jawa-India)
Bisa jadi semua orang yang sedang dibuai cerita Mahabharata—di kelir pewayangan Jawa atau layar kaca milik Bakrie—mengutuk Duryodhana sebagai lelaki setan dengan semua barisan ciri lengkapnya. Tapi bisakah kalian semua merenungkan, barang sedikit saja, bahwa durjananya Duryodhana justru berawal sejak cintanya ditolak Drupadi, lantaran sayembara cinta yang absurd dan menyedihkan itu. Drupadi hanya bisa dipersunting sang ksatria jika memenangkan adu panah. Tahu sendiri Duryodhana adalah ksatria gada. Sehebat-hebatnya ksatria gada maksimum bisanya ya cuma tukang pukul, tukang palu. Jadilah Arjuna yang mendapatkan Drupadi.
Seandainya saja, kekalahan asmara Duryodhana itu tak pernah terjadi, maka tak akan ada meja dadu, tak terjadi pelucutan pakaian Drupadi, tak pernah ada pergelaran Baratayudha di Kurusetra.
Kekalahan asmara memang bikin ribet. Bikin runyam peradaban.
Rasus (Banyumas)
Apa jadinya getar cinta yang ditenun sejak kecil justru kandas setelah malam bukak klambu berlalu?
Rasus, nama pemuda kampung dekil itu, menghabiskan masa kecil dan remajanya bermain bersama Srintil. Tapi Srintil yang dalam darahnya mengalir karakter seorang penari ronggeng mengubah jalannya segala harapan yang dibangun Rasus secara sepihak. Ia ingin keluarga sakinah, tapi garis edar Srintil beda. Walau Rasus dapat keperawanan Srintil sebelum bukak klambu, tapi toh gak menolong.
Rasus kabur dari desa menanggung hati yang perih oleh luka asmara yang tak bisa ditanggungkannya. Ketimbang menjadi preman, ia mengganti kekalahan asmaranya dengan menjadi tentara.
Saat si tentara muda kembali ke kampung halaman, Srintil sudah digebuk bersama barisan panjang orang-orang kiri yang malang.
Wowo (Jakarta)
Dia lelaki yang gagah. Otaknya encer. Penguasaan bahasa asingnya moncer. Karir militernya cemerlang. Biasanya, kecemerlangan karir seorang lelaki juga diikuti oleh indahnya nasib asmara. Dan betul saja, Wowo berhasil mendapatkan putri lelaki yang senyumnya paling ditakuti oleh semua manusia kritis dan suka banyak omong di negeri bawah pelangi ini.
Tapi usia keyakinan “kecemerlangan karir juga diikuti oleh indahnya nasib asmara” tidak berlangsung lama. Ketika roda karir berada di titik nadir, di titik nadir pula riwayat cintanya. Saya tak bisa membayangkan seperti apa telunjuk Mbak Titik saat menunjuk pintu pagar Cendana yang terbuka untuk Wowo.
Tak terlalu lama berselang setelah peristiwa jari-menunjuk-pintu-pagar-halaman itu, karir kemiliteran Wowo dicopot. Sang ksatria terpukul hebat. Ia memilih lari jauh-jauh.
Setelah masa pertapaan usai, ia kembali lagi membangun karir baru. Ia mendaftar jadi capres tahun 2009, namun gagal. Bisanya cuma cawapres. Eh, gagal juga.
Pemilu berikutnya, ajaib, partai yang didirikannya bisa masuk “Tiga Besar”. Bukan cuma itu, Wowo bisa mendikte dan mengendalikan Golkar yang notabene adalah partai dengan cabang paling kuat dan paling merata.
Move on Wowo dari keterpurukan 98 akibat karir dan asmara nyaris saja bisa mengantarkannya menjadi presiden ketu7uh jika saja tak ada lelaki satu ini: Caca Handika.
Caca Handika (Tasikmalaya)
Ya, Caca Handika adalah lelaki ketu7uh yang mengabadikan kekalahan kaum lelanang jagad ini dalam hampir semua lagunya. Semua cerita tentang penyebab patah hati, pengkhianatan cinta, menye-menyenya hati lelaki, dirangkum di semua syair lagu Caca.
Saya berpendapat, lagu-lagu macam “Angka Satu”, “Bakar Kemenyan”, “Cincin Putih”, “Gantungan Baju”, “Mandi Kembang”, “Sedih Sekali”, “Undangan Palsu”, “Semua Tahu”, “Orang Sekampung”, “Pesan Perpisahan”, dan “Ramina” seperti judul-judul bab almanak asmara lelaki kalah yang paripurna.
Tentu saja syair yang paling legendaris, epik, dan menjadi heroisme tragis para lelaki kalah adalah yang ini, “Angka Satu”:
Masak… masak sendiri
Makan… makan sendiri
Cuci baju sendiri
Tidurku sendiri
Cinta aku tak punya
Kekasih pun tiada
Semuanya telah pergi
Tak tau kemana
Hidup serasa kaku bagaikan
Angka satu
Meranalah… kini merana