Kolom: Ideal dan Ironi

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

merdeka sepakbola singkong menulis ironi sepakbola jendela sepeda zainuddin mz puasa tarawih kolom menulis tutur tinular penulis buku lagu tv rusak rebahan kolom mahfud ikhwan mojok.co ayam rumah kontrakan contoh esai bagus indonesia mojok.co putu wijaya

Kondisi di sekeliling rumah kontrakan saya di Bantul sebulan terakhir sedikit teruk. Rumah baru sedang dibangun di samping rumah yang saya huni. Suara truk pasir yang menderum datang dan pergi belum akan berhenti dalam waktu dekat—mungkin sampai bulan-bulan berikutnya. Suara besi yang diseret, dengking gergaji dan amplas listrik, kelontang sekop dan pacul, denting betel pemecah batu batu yang dipukul, hilir mudik gerobak sorong, dan saya bahkan belum mendengar mesin molen diputar. Beranda saya terbebas dari tahi-tahi ayam yang telah disingkirkan, tapi segera diselimuti debu pembangunan—dalam arti betulan. Meja dan kursi bambu saya seperti meja dan kursi warung kosong di pinggir jalan masuk sebuah proyek. Bersin saya menghebat lagi. Di masa yang masih dalam pandemi macam ini, mengalami bersin berulang-ulang sama tak nyamannya dengan cepirit di atas bus penuh penumpang.

Tapi itu bahkan tak cukup. Pohon-pohon rambutan dan melinjo di tanah kosong yang memisahkan rumah saya dan kuburan kampung pekan lalu ditebang. Jangan tanya soal deru ribut sensonya—salah satu bunyi paling tak enak di dunia. Yang jelas, sekarang, dari jendela dapur saya bisa lebih leluasa melihat senja. “Merah tembaga,” kata Ebiet G. Ade. Dan tembok kuburan yang kusam sebagai bonusnya. Juga beberapa tonggak nisan.

Penghancuran lingkungan? Pertunjukan keserakahan? Pengganggu ketenangan? Mungkin tak seburuk itu, tapi, ya, sejujurnya saya punya banyak keluhan. Tentu saja saya terganggu. Sulit untuk konsentrasi membaca. Berat untuk fokus menulis. Dan terutama ideal-ideal saya sebagai orang yang—sekurang-kurangnya—mengurban dilukai. Tapi, seperti biasa, saya adalah orang yang terbelah. Pikiran masa kini dan cara pandang termutakhir saya dicibir oleh pengalaman-pengalaman saya di masa kecil.

Saya punya terlalu banyak ironi untuk menertawakan diri.

***

Pada tahun-tahun belakangan, orang-orang menanggapi penebangan pohon seperti mendengar berita pembunuhan. Bisa dimengerti karena isu lingkungan telah menjadi keprihatinan dan pengetahuan semua orang. Dan itu mesti dirayakan. Untuk setiap pohon yang dipotong, orang-orang akan menghitung oksigen yang berkurang, burung dan serangga dan makhluk-makhluk kecil penghuni kanopi yang kehilangan rumah, tumbuh-tumbuhan epifit yang kehilangan inang, dan umur Bumi yang terus berkurang.

Sebagai orang yang tumbuh dan besar di desa tepi hutan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri dari jarak sangat dekat hutan jati yang rusak berat, saya tak sulit memahami hal ini. Tapi, karena pengalaman itu juga, saya tak mungkin semuluk dan seyakin para selebritas yang mengajak kita menyelamatkan Bumi dengan menanam sejuta pohon di iklan-iklan layanan masyarakat yang ditempeli logo korporasi.

Pasti tak sampai sejuta batang, tapi seingat saya salah satu penghasilan pertama saya sebagai kanak-kanak adalah ikut memburuh mengisi sak-sak bedengan dengan tanah dan kemudian menanaminya dengan biji mahoni. Paman saya seorang blandong, pencuri kayu, selain juga pesanggem. Dan karena itu, sangat mudah dipahami, ia mengenal dengan baik para mandor hutan. Mandor-mandor itulah yang memesan bibit-bibit mahoni kepadanya. Jadi, Sobat-Urban-Pencinta-Lingkungan, sementara kalian mungkin menghapalnya sebagai konsep abstrak, “reboisasi” sudah ikut saya lakukan jauh sebelum istilah itu ditanyakan di soal ujian Tes Hasil Belajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD kelas 4.

Tapi, tentu saja, kami jauh dari mendaku sebagai pahlawan lingkungan. Malahan, boleh jadi, kamilah penjahatnya. Bersisian dengan bedeng-bedeng bibit mahoni yang kami semai, bergeletakan gelondong kayu-kayu hasil curian. Yang paling besar biasanya sudah dikupas dalam bentuk balok-balok persegi empat. Tukang kayu sewaktu-waktu bisa datang untuk menawar. Itu adalah kayu terbaik untuk kusen dan perabot rumah. Ada juga yang dibiarkan sebagai gelondongan. Biasanya untuk jaga-jaga jika atap rumah perlu diperbaiki. Batang-batang yang lebih kecil juga disimpan. Dangau di tegalan atau kandang sapi di halaman belakang kadang membutuhkan tiang cadangan.

Rumah paman saya selingkungan dengan area tempat tungku-tungku batu kapur berdiri dan beroperasi. Salah satu tungku itu milik bapak saya. Dan sebagian dari kayu yang dipakai untuk membakar tungku itu adalah kayu jati juga. Jika bukan dolog, jati muda, maka ia adalah bagian lebih pucuk dari batang-batang gelondongan sisa para blandong, yang sebagiannya bergeletakan di sekitar rumah paman.

Yang paling pucuk adalah bagian kami, para bocah pencari kayu bakar. Jika tersebar berita bahwa Cak Wat atau Pak Wakit atau Paklik No atau Pak Put menebang jati besar, kami harus segera tahu di mana lokasi tepatnya. Menemukan unggunan ranting bekas para blandong menebang jati adalah pesta besar bagi kami, para calon pencuri jati berikutnya. Apalagi jika sudah kering. Tapi terkadang lokasi penebangan itu terlalu jauh dan kami gentar jika mesti masuk hutan terlalu dalam. Terpaksa kami pangkas batang jati terdekat dan terkurus. Tidak, kami tak seluruh menebangnya. (Kami masih takut dengan mandor hutan dan dibawa ke loji, meskipun di belakang punggung mereka kami mencibirkan ejekan.) Kami hanya butuh rantingnya. Ya, sesekali, kalau bongkokan kami masih kurang, cabang yang agak besar terpaksa kami bawa juga. Kalau karena kami tebangi cabangnya jati kurus itu akhirnya ranggas dan mati, itu memang rejeki kami.

Ranting jati adalah rutinitas sehari-hari. Namun, seperti umat beragama, para perambah hutan seperti kami memerlukan hari raya setidaknya setahun sekali. Dan tak ada yang lebih dirayakan bocah-bocah pinggiran hutan selain saat hutan terbakar. Oleh api, semak belukar menjadi lebih bersih tanpa kami mesti membabatnya. Karena api, batang-batang kayu puruk yang basah bisa menjadi kering, dan kami pulang ke rumah dengan kayu bakar yang setengah hangus dan nyaris kering dan karena itu jauh lebih enteng untuk dipikul.

Kebakaran bisa terjadi secara alami. Puncak musim kemarau akan membuat tonggak-tonggak tua membara dan akhirnya menyala. Bisa juga karena kecelakaan. Para pembuka ladang membakar gulma dan angin membawanya menyambar semak kering. Bisa juga dilakukan dengan sengaja. Kalau kebakaran tak terjadi, kami kadang perlu merengek kepada paman blandong kami untuk membakarnya. Dan ketika beberapa hari kemudian arang daun dan rumput beterbangan ke arah kampung, kami pun berderap menuju hutan dengan penuh kegembiraan.

Tapi itu tak sejahat kedengarannya. Kebakaran (dan kadang pembakaran) hutan yang saya ceritakan di atas biasanya terjadi di area semak belukar. Dan area hutan jati, apalagi mahoni (yang kanopinya lebih rindang dan lebih tinggi), biasanya tak banyak bersemak. Oleh karena itu, kebakaran hutan biasanya hanya meludeskan pohon-pohon ukuran kecil (kayu puruk) dan perdu kering, yang sehari-hari diambil untuk kayu bakar. Lagi pula, seingat saya, kebakaran hutan biasanya tak berkepanjangan. Dari puncak bukit di atas desa kami, kami bisa melihat asap mengepul dan memperkirakan di mana area yang mengalami kebakaran. Abu akan beterbangan di atas genteng-genteng rumah pinggir hutan, seperti rumah saya, sehari kemudian. Tapi, kami tak melihat asap sampai ke perkampungan, apalagi ke perkampungan yang lebih jauh. Dan tentu saja tak akan sampai ke Singapura dan Malaysia, atau menyeberangi Pulau Jawa dan Samudera Indonesia menuju ke Australia.

Membakar hutan dengan alasan apa pun sebenarnya tak patut dibanggakan, dan pastinya ilegal di depan hukum positif. Tapi, kadang, itulah sedikit cara yang tersisa untuk mengambil apa yang bisa kami ambil—selain menyogok mandor hutan dengan uang dan rokok dan air bersih untuk gardu mereka di tengah hutan. Dan kadang itu masih tak cukup. Apa yang didakwakan sejarawan hutan Jawa Nancy Peluso selalu berlaku dan masih akan berlaku: Hutan Kaya, Rakyat Melarat. Itulah kenapa orang-orangtua kami, sebagaimana orang-orangtua anak-anak pinggir hutan di Bojonegoro, Blora, Kendal, Ngawi, Nganjuk, Madiun, dst. mesti merantau ke kota besar, ke luar pulau, atau bahkan ke luar negeri.

Ketika para perambah hutan di desa kami jadi buruh migran di Malaysia atau Korea atau jadi pelayan warung pecel lele di kota-kota besar di Jakarta atau Samarinda, itu juga tak serta-merta menyelamatkan hutan dari perusakan. Kawasan hutan mahoni, area paling rimbun sekaligus paling aman, sebab posisinya yang berada paling dekat perkampungan, dengan pohon-pohonnya yang tinggi besar, ditebang habis ketika profesi blandong justru tengah terancam hilang. Demikian juga batang-batang sengon yang tumbuh merimbun di atas bekas ladang-ladang hutan yang ditinggal para pesanggemnya. Pohon-pohon itu, tentu saja, dipanen oleh ia yang memasang palang-palang nama dan mendaku hutan sebagai miliknya.

Ya, kami memang bukan para penjaga hutan yang ideal—seperti yang dibayangkan dan diidamkan para pencinta lingkungan. Tapi, sebagaimana semua masyarakat pinggir hutan di seluruh Indonesia, mungkin juga di seluruh dunia, jelas sekali bahwa kami bukan pihak yang paling merusak.

***

Orang-orang biasanya mengimpikan dan mengidealkan apa-apa yang tak ada pada, atau setidaknya jauh dari, diri mereka.

Seorang teman belum lama ini bercerita, sebagai orang yang tumbuh di sebuah desa di pelosok Ngawi, mimpi tertinggi masa kecilnya adalah tinggal di pinggiran jalan raya Surabaya-Jogja. “Banyak kios dan toko di sana, cari apa-apa gampang. Lagi pula, kalau mau naik bus ke Sragen jauh lebih mudah, tinggal melambai dari depan rumah,” katanya. Itu kurang lebih mirip dengan puncak kegembiraan saya di usia yang sama. Jalan-jalan ke Kota Tuban, melihat dengan penuh keanehan kelenteng Kwan Sing Bio dan gereja Santo Petrus, melihat dengan ketakjuban keramaian dan aneka barang di Pasar Atom, dibelikan es serut, dan pulang dengan membawa sekeresek buah manggis, adalah kenangan-kenangan indah yang langka dan karena itu mendekam dalam dalam ingatan. Saya mungkin tak pernah bermimpi untuk tinggal di kota seperti teman saya, tapi punya kaset ludruk serumah penuh pernah saya ucapkan ketika tak sepotong kaset pun, apalagi tape, saya punyai. Teman-teman sepermainan saya, yang sehari-hari naik gerobak sapi, barangkali mimpi terliarnya adalah naik kereta api.

Maka, tak mengherankan bila orang-orang kota yang hidup di rumah-rumah dempet tak berhalaman begitu mendambakan taman-taman yang hijau lapang dengan bunga warna-warni dan bangku-bangku besi bersih bercat putih. Orang-orang yang pemandangan keseharian dari lotengnya adalah jemuran tetangga boleh jadi membayangkan alangkah indahnya jika ada pantai tenang dan sepi dengan air yang biru di seberang jendelanya. Sementara mereka yang biasa berjam-jam tersekap di dalam kendaraan yang macet mungkin melamunkan tempat nongkrong yang lengang, dengan gemericik air dan bunyi serangga malam, dengan diiringkan musik dari masa silam dalam volume pelan.

Mimpi-mimpi konyol orang desa tentang kemudahan dan kemegahan kehidupan kota sudah lama terbukti salah. Karena itu, khususnya di Indonesia, istilah urbanisasi bahkan langsung mengalami peyorasi begitu ia diperkenalkan. Namun, idealisasi orang kota tentang ketenangan kehidupan desa, misalnya, atau tentang apa pun yang mereka tak punyai dalam kehidupan sehari-harinya, jauh lebih awet. Barangkali karena mereka bisa membelinya—atau berusaha membelinya, kadang dengan sekuat tenaga, sering kali dengan harga yang terlalu tinggi dari semestinya. Dan semua hal yang dimiliki atau setidaknya membiaskan kepentingan orang kota berderap mendukungnya: mulai dari media, paket-paket wisata, negara, ilmu pengetahuan dan para intelektualnya, sebagaimana seni-budaya dan para seniman-budayawannya. Dengan segala ironinya.

Itu kenapa orang-orang kota begitu menikmati makan di warung gubuk di tengah sawah dengan atau tanpa kesadaran bahwa warung itu berdiri di atas sawah kesekian yang hilang. Itu kenapa para seniman mendirikan rumah di pinggir sungai yang menenangkan dan inspiratif, berharap mendengar gemericik air dan suara serangga dan kodok, sembari dengan terpaksa atau senang hati mengusir serangga dan kodok-kodok pergi. Itu kenapa para pendatang berpendidikan dan tercerahkan di Jogja memilih desa-desa tenang di pinggiran, mengutuki kota yang pikuk dan sibuk, sembari dengan sendirinya meng-“kota”-kan desa yang ditinggalinya. Itu kenapa seorang pengarang penulis kolom menggelisahkan rumah baru yang dibangun dan pohon-pohon yang ditebang dari rumah mungil yang disewanya, yang beberapa tahun lalu boleh jadi didirikan dengan mengganggu tetangga sekitarnya dan menebang lebih banyak batang melinjo dan rambutan di atas bidang tanahnya.

Dan ia masih menggerutuinya bahkan saat ingatan atas berhektar-hektar hutan jati gundul di selatan rumahnya menyeringai mengejeknya.

BACA JUGA Menggunting dan Menempel… dan Membaca dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.

Exit mobile version