Massifnya intimidasi psikologis di internet terhadap status jomblo menyebabkan sebagian jomblower yang kurang kuat mental berusaha menanggalkan status yang nyaris menyerupai kutukan itu. Tetapi seperti kata pepatah kontemporer, “tiada jomblo yang tak retak hatinya,” sebagian dari mereka trauma hingga enggan melakukan pendekatan langsung. Sebagai alternatif, mereka mencoba terobosan yang ditawarkan teknologi dengan long distance relationship (LDR).
Popularitas istilah LDR pelan tapi pasti mendekati popularitas istilah jomblo, thanks to the internet, sehingga LDR dianggap sebagai terobosan mutakhir yang berdampak positif bagi upaya pengentasan fakir asmara. Tetapi sebenarnya, keliru jika LDR dianggap fenomena kekinian yang selalu berdampak positif bagi kesehatan mental anak-anak muda yang labil mencari jati diri.
Sesungguhnya, dulu juga ada LDR: via surat, atau media cetak/elektronik. Misalnya, orang menjalin cinta lewat rubrik “Sahabat Pena” di majalah; atau saling kirim salam jarak jauh via radio. Jika engkau hidup di era 80-an tentu ingat ada acara semacam “sapa pemirsa” yang berisi kirim-kiriman salam, yang barangkali agak ajaib bagi telinga anak muda masa kini.
Dalam acara Pilpendut (Pilihan Pendengar Dangdut), misalnya, sering terdengar titipan salam sayang yang anonim, semacam “kode” yang hanya dimengerti oleh mereka yang terlibat, seperti:
“Teruntuk Riko Jejaka Tampan tersayang, ada salam manja dari Yulia si Gadis Virgo SMA 5 di bilik kerinduan;”
“Mbak Penyiar, tolong nama Verna Si Lady Libra di kantin kemesraan sering-sering disenggol yah, agar daku yang ada di gubuk penantian bisa mendengar namanya;”
“Buat gadis bermata jeli di seberang kali ada salam dari seonggok bujang yang meringkuk kangen di lembah harapan asmara.”
Itu masa lalu. Kini di zaman Internet, para aktivis LDR—atau yang sedang pedekate jarak jauh—bisa kirim salam langsung, lengkap dengan ikon-ikon yang mengekpresikan emosi via fasilitas chat online yang beragam. Hal-hal positif semacam itulah yang membesarkan hati sehingga tak jarang banyak pemuda harapan pemudi, vice versa, gigih berjuang menciptakan jalinan asmara jarak jauh, kadang sampai antar pulau atau antar negara, bahkan tanpa pernah tatap-muka sebelum dan selama ber-LDR, atau berusaha mati-matian mempertahankan jalinan cinta yang terpisah laut dan lembah agar tak jatuh ke status jomblo yang rawan buli.
Namun kegiatan LDR menimbulkan efek yang entah positif atau negatif. Efek samping aktivitas LDR ini patut diperhatikan sejak dini oleh para pemula yang ingin menjalin relasi ini, agar lebih serius memperkokoh mental supaya tak shock atau justru jatuh ke dalam kepedihan ganda. Ini penting, karena pemuda-pemudi adalah masa depan bangsa; akan jadi apa bangsa ini jika mentalitas mereka berantakan gara-gara persoalan asmara?
Pertama, ada efek gabungan positif dan negatif. Dalam level ekstrim, aktivis LDR bisa berimajinasi tingkat dewa, sehingga mengalami hal yang mendekati delusi atau halusinasi –dan karena itu, ada yang memplesetkan LDR menjadi Long Delusional Relationship.
Sebagai ilustrasi, gejala imajinasi level dewa yang paling mencolok adalah begini: aktivis LDR membangunkan pacarnya lewat twitter atau status facebook, seolah-olah ia datang beneran ke rumah sang pacar, dan seolah-olah tweet atau statusnya hanya bisa dibaca mereka berdua.
Bahkan dalam kasus LDR yang intens, tingkat kepekaan imajinatifnya sangat tinggi. Mereka seakan bisa merasakan sentuhan jarak jauh. Ini adalah kemampuan yang diciptakan oleh kelompok aktivis LDR, yakni bisa merasakan sentuhan dan ciuman melalui teks atau suara, semisal “muacch” atau “peluk.”
Kedua, perhatikan bahwa sebagian besar aktivis LDR profesional memiliki account di soc-med lebih dari satu, dengan tujuan jaga-jaga jika pasangannya di sana selingkuh, atau untuk memata-matai pesaing atau aktivitas pacar secara rahasia, atau untuk menggaet pacar lain selain pacar jarak jauh yang sudah ada. Karena alasan itu, mereka menyembunyikan status relationship ini di account cadangan (yang biasanya memblokir account pacar jarak jauhnya) agar dikira belum punya pacar, menjaga citra dirinya masih “free” sehingga “pasarannya” tidak turun di mata khalayak jomblo lain.
Pendeknya, kedua-belah pihak boleh jadi akan saling waspada. Di sisi lain, sebagai langkah antisipasi, aktivis LDR yang sudah cinta mati pada pasangannya akan cenderung selalu lebih peduli secara posesif dan lebih aktraktif dalam menampakkan kemesraannya di ranah soc-med, sebagai semacam pengumuman kepada pihak lain. Bahkan urusan mengingatkan makan siang saja ditulis di ruang soc-med yang dibaca begitu banyak orang. Seolah-olah mereka berkata, “Hai netizen, dia sudah milikku.”
Tetapi kepedulian yang posesif ini sekaligus berpotensi menimbulkan galau dan kecurigaan secara sistemik jika pesan BBM atau chat tak dibalas seketika. Ringkasnya, LDR memperbesar potensi su’udzon, padahal su’udzon atau prasangka buruk dilarang agama, dosa. Artinya, LDR memperbesar potensi dosa.
Ketiga, jalinan kasih yang demonstratif ini kadang menjadi sumber munculnya kenyinyiran dari jomblo-jomblo yang iri dengan kemesraan mereka, atau menyebabkan amarah bagi pihak mantan, yang bisa menyebabkan tindakan pemblokiran account demi kesehatan mental para barisan mantan tersebut. Jadi LDR berpotensi menciptakan dosa berikutnya: sikap iri-dengki. Bisa masuk neraka kalau sifat ini berkembang-biak.
Keempat. Klaim sedang menjalin LDR sering digunakan untuk berdusta secara halus demi menutupi kejombloan. Jika orang ditanya soal pacar, sementara ia masih jomblo, dan tak bisa menunjukkan bukti otentik, maka boleh jadi ia akan menjawab “ada, tapi kami LDR” agar tak kena bui. Padahal yang dimaksud adalah hubungan dengan pacar yang masih jauh jaraknya di masa depan yang belum pasti seperti apa sosoknya. Jadi LDR berpotensi melatih kebohongan kecil-kecilan. Sekali lagi ini berpotensi menciptakan dosa massif. Jika generasi muda banyak dosa, negeri ini tentu kurang barokah.
Kelima. LDR berpotensi menciptakan “kesepian eksistensial” yang berbeda dari kesepian eksistensial jomblo. Filsuf Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi.” Kita tahu, jomblo mungkin pedih karena kesepian, namun tak separah kesepian LDR.
Aktivis LDR, secara esensial, punya pacar; tetapi jika hampir setiap akhir pekan kluyuran sendiri mencari kesibukan secara mandiri, berteman gadget yang selalu terkoneksi dengan internet namun tidak ada tanda-tanda sapaan pacar walau hanya sekadar teks, atau sinyal internetnya jedhal-jedhul koyok umbel sehingga gak bisa connect, maka secara eksistensial mereka sendirian—yang merupakan makna azali dari istilah jomblo. Dengan kata lain, meski secara normatif pacaran, karena jaraknya jauh dan tak bisa bersama secara fisik, maka kesendirian mereka mendahului kebersamaannya.
Mereka berpotensi masuk ke dalam LDR versi lain, yakni Lonely Distance Relationship. Potensi negatif ini boleh jadi menerbitkan pedih yang lebih akut daripada lonely-nya jomblo: Apalah artinya punya pacar tapi tetap kesepian di akhir pekan saat orang-orang bergandengan mesra di sepanjang jalan penuh kenangan? Atau, apalah arti “kebersamaan Platonik” minum jus atau soda gembira tetapi dengan saling menatap kiriman foto di monitor atau via telekonferensi di dua kamar sunyi pada suatu malam yang terpisah jarak berkilo-kilometer?
Maka, LDR berpotensi besar membuat orang dalam kondisi relasi asmara yang cenderung posesif, delusional, demonstratif, penuh kewaspadaan, sekaligus kesepian. Ringkasnya, bentuk jalinan asmara mereka adalah dalam jalinan “Kasih Tak Santai.”