Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati

Inilah awal mula tragedi itu. Tentang pulung gantung yang “benar-benar menghantui”.

Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati MOJOK.CO

Ilustrasi pulung gantung. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CODi tengah dinginnya malam, di tengah siulan angin, kabar pulung gantung muncul begitu saja. Legenda itu menyergap siapa saja yang tidak siap. Sebuah legenda yang “memangsa” mereka yang terguncang jiwanya. Pulung gantung… siapa selanjutnya?

Disclaimer: Tulisan ini memuat cerita yang bisa mengganggu kenyamanan Anda. Bagi yang memiliki pengalaman traumatis terkait peristiwa bunuh diri, lebih baik tidak melanjutkan untuk membaca kisah ini.

Saya lahir dan dibesarkan di salah satu pelosok desa di Kabupaten Gunungkidul, DIY. Sebuah daerah yang punya legenda tak mengenakkan hati. Ini sebuah kisah nyata soal pulung gantung dan kehilangan pahit setelah ditinggal orang terdekat. 

Rumah saya berada paling ujung kampung dan sedikit terpisah dari rumah warga lainnya. Lokasinya yang berada di dataran cukup tinggi, membuat akses jalan menuju rumah saya sulit dilewati kendaraan bermotor.

Saya tinggal bersama ibu saya yang bernama Lastri dan bapak saya, Darko. Bapak tidak memiliki pekerjaan tetap. Jika banyak warga yang membangun rumah, kadang bapak menjadi seorang tukang bangunan. Namun, jika hari-hari biasa, bapak biasanya mencari kayu bakar di ladang dan sesekali ikut pentas jathilan saat ada tanggapan di kampung saya.

Bapak dikenal sangat pendiam dan tidak pandai berbicara. Baik di rumah maupun di luar, dia jarang ngobrol. Hal ini yang kemudian tidak jarang membuatnya digarapi teman-teman sebayanya karena dianggap terlalu pasif.

Hingga akhirnya, pertengahan 2016, tepatnya saat saya lulus SMP, tiba-tiba bapak mengajak saya berbicara. Padahal, selama ini, dia benar-benar jarang berbicara dengan saya. Sambil makan malam, bapak menyampaikan sebuah pesan untuk saya dengan raut wajah yang semringah.

“Pokoknya kamu harus meneruskan sekolah SMA, Le. Jangan seperti bapak Ibumu, jangankan ijazah SMA, SMP saja tidak lulus. Belajar yang semangat, ya, kamu harus jadi orang pintar,” tutur bapak menasehati.

Mendengar kalimat bapak, perasaan saya waktu itu campur aduk. Saya tahu betul saat itu kondisi ekonomi keluarga sedang terpuruk. Kekeringan yang melanda hampir satu tahun membuat para petani di kampung saya gagal panen, tak terkecuali orang tua. Tidak sedikit anak-anak di kampung saya yang harus putus sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membiayainya.

Selesai makan malam, salah seorang tokoh masyarakat datang ke rumah. Tokoh itu datang ke rumah ingin memberi kabar bahwa rumah kami masuk ke dalam daftar Rumah Tak Layak Huni (RTLH). Artinya, kami akan mendapatkan bantuan renovasi rumah dari pemerintah.

Setelah menyampaikan maksud dan tujuannya, tokoh masyarakat itu langsung pamit. Mendengar kabar tersebut, terlihat jelas raut wajah bapak saya seketika berubah. Berbeda dengan ibu saya yang terlihat senang, justru bapak tampak bingung dan bimbang.

“Ada apa, Pak?”

“Ndak apa-apa, Bu”

Bapak meminta saya masuk ke dalam kamar. Rupanya, percakapan kedua orang tua saya itu belum selesai. Tidak begitu jelas apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi saya sempat mendengar bahwa ayah ingin menjual sepetak ladang satu-satunya miliknya. Inilah awal mula tragedi itu. Tentang pulung gantung yang “benar-benar menghantui”.

Singkat kata, rencana menjual tanah ini akan digunakan bapak untuk menutup biaya kekurangan pembuatan rumah. Pasalnya, pemerintah hanya memberikan anggaran sebesar Rp20 juta. Tentu saja, uang tersebut tidak cukup untuk menutup semua biaya pembangunan rumah, sehingga bapak berinisiatif untuk menjual tanah yang biasa digunakan untuk bercocok tanam.

Namun, keinginan bapak ditolak oleh ibu dengan alasan bahwa ladang itu satu-satunya warisan dari orang tua yang masih tersisa. Untuk itu, ibu menyarankan sebaiknya bapak mencari pinjaman di bank dengan menggadaikan sertifikat tanah tersebut. Setelah terjadi perdebatan kecil, akhirnya ayah mengiyakan saran ibu dan meminjam uang di bank sebesar Rp20 juta.

Tidak hanya digunakan untuk menutup kekurangan biaya pembuatan rumah, uang tersebut juga dipakai untuk mendaftarkan saya sekolah. Namun, ternyata uang pinjaman tersebut masih kurang sehingga bapak harus pontang-panting mencari pinjaman uang ke tetangga sekitar.

Tepat lima bulan setelah selesai membangun rumah, hampir setiap minggu bapak saya didatangi debt collector. Ya, bapak tidak sanggup melunasi semua utang-utangnya yang habis dipakai untuk biaya sekolah dan renovasi rumah. Hingga akhirnya, ladang satu-satunya milik bapak harus disita pihak bank.

Tarian menjelang Maghrib

Sejak tanahnya disita pihak bank, bapak selalu menyendiri dan tidak bersemangat. Hampir setiap hari, dia habiskan waktunya untuk duduk melamun di depan rumah, tidak mau bekerja, pandangannya kosong, jadi pemarah, dan kehilangan selera makan.

Tidak hanya melamun, bapak sering tiba-tiba menangis, kemudian tertawa sendiri tanpa sebab yang jelas. Hingga suatu hari, sepulang sekolah, saya melihat bapak sedang menari di depan rumah sambil membawa jaran kepang. Kejadian itu terjadi saat surup atau menjelang salat Maghrib.

“Tolong ambilkan topeng barongan, Le. Sudah ditunggu Mbah Bayan,” tutur bapak tiba-tiba menyuruh saya mengambilkan topeng di belakang rumah.

Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambilkan topeng buto berwarna hitam berambut panjang buatan bapak sendiri. Topeng itu dibuat sekitar lima tahun lalu dan biasa dipakai saat pentas jathilan.

Bapak menari seperti kesurupan. Dengan jaran kepang, dia terus menari sesekali sambil berbicara sendiri seolah di sekelilingnya banyak penonton. Padahal, di sekitar rumah tidak ada siapa-siapa, hanya saya dan ibu yang berulang kali meminta agar bapak menghentikan tariannya.

Kebiasaan menari tersebut terus dilakukan hingga berbulan-bulan. Melihat perilaku bapak yang semakin janggal, sebenarnya ibu ingin sekali membawanya ke psikolog. Namun, karena biaya ke psikolog mahal dan kondisi keuangan yang tidak memungkinkan, akhirnya ibu hanya bisa mendatangkan sesepuh desa, Mbah Darso, untuk melakukan “semacam ritual”.

Terlihat Mbah Darso mengelilingi rumah saya sambil menabur parem (beras dengan campuran kunyit). Sesekali dia membunyikan cethen (cambuk sapi) yang dibawa dan merapalkan mantra-mantra berbahasa Jawa.

“Yang sabar, ya, Nduk,” tutur Mbah Darso kepada ibu sesaat sebelum pamit. Mbah Darso seperti bisa melihat tragedi pulung gantung akan segera menghampiri.

Pulung gantung dan bola api yang melintas di atas rumah

Petang itu, saya menemani bapak yang sedang duduk melamun di depan rumah. Saya melihat jelas raut wajah bapak yang semakin pucat, cemas, dan menggigil. Berulang kali dia memandang langit dengan tatapannya yang tajam.

Sudah berbulan-bulan sejak tanahnya disita bank, bapak kehilangan selera makan dan susah tidur. Setiap kali diambilkan makanan oleh ibu, selalu dibuang. Hal ini yang kemudian membuat tubuhnya semakin kurus dan terdapat lipatan-lipatan hitam di bawah kelopak mata.

“Mbah Bayan datang,” ujar bapak tiba-tiba sambil memandang langit.

Tak lama setelah bapak menyebut nama itu, saya melihat cahaya berwarna merah kebiruan berekor melintas di depan rumah. Bapak segera bangkit dari kursinya dan berdiri dengan resah di depan rumah. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba mulutnya terkunci.

“Pulung! Pulung! Pulung gantung!” Teriak salah seorang tetangga dekat saya.

Bapak tampak semakin kebingungan. Tubuhnya menggigil. Keringat dingin menjalar, membasahi tubuhnya. Dia menjambak rambutnya, sesekali memukul-mukul kepalanya sendiri.

Sementara itu, terdengar sayup-sayup suara cethen, lesung, dan kentongan yang dibunyikan oleh tetangga sekitar. Suasana kampung seketika berubah mencekam.

Sebagian masyarakat percaya, bola api pijar berekor berwarna merah kebiruan itu adalah pulung gantung. Konon, jika cahaya itu jatuh ke salah satu pekarangan rumah warga, pemilik rumah akan bunuh diri dengan cara gantung diri.

Awalnya, saya sendiri tidak percaya dengan mitos pulung gantung. Bagi saya, cahaya itu tidak lebih hanya sekadar fenomena alam biasa. Namun, malam itu, saya benar-benar melihat ada bola api melayang-layang di atas rumah yang baru pertama kali saya lihat.

Ya rabbi salim-salim. Ya rabbi salim-salim. Masuk ke dalam rumah, Pak,” tutur ibu sambil memukul kentongan.

“Mbah Bayan,” gerutu bapak yang tampak linglung.

Tatapan bapak semakin kosong. Melihat bapak yang tampak linglung, ibu langsung menyeret tangan bapak, lalu diajak masuk ke rumah. Sesaat sebelum masuk ke rumah, saya melihat bola api jatuh tepat di pohon bambu di samping rumah. Saat bola api itu jatuh, cahayanya seolah pudar dan menerangi pohon-pohon bambu di sekitar.

Bapak dipaksa masuk ke rumah. Malam itu kami tidur bertiga di ruang tamu beralaskan tikar mendong. Tampak bapak tidur di samping saya dan memeluk saya erat sekali. Tubuhnya dingin dan nafasnya tidak beraturan.

Malam semakin larut, sudah tidak ada lagi suara kentongan berbunyi. Suasana tampak begitu sepi dan mencekam. Sesekali terdengar jelas suara burung emprit gantil yang mondar-mandir di atas rumah. Angin berembus ke rumah cukup kencang, membuat malam itu jadi semakin dingin.

Saya yang dipeluk bapak benar-benar merasakan degup jantungnya berdetak cepat. Wajahnya tampak semakin pucat pasi, keringat membasahi tubuhnya yang kurus. Sementara, ibu masih terjaga dan terus memandangi suaminya dengan tatapan nanar.

Saya yang masih berada dipelukan bapak, sayup-sayup mendengar suara aneh. Saya berusaha untuk memejamkan mata, semakin saya berusaha untuk tidur, suara seperti kakek tua itu semakin terdengar dengan jelas. Bapak pun tampak mengigau. Seolah dia tengah berbicara dengan seseorang.

“Mbah Bayan,” gerutu bapak dengan mata melotot.

Tali pati di pohon jati

Desember 2016, bapak saya meninggal dunia. Pria berusia 48 tahun itu ditemukan gantung diri di pohon jati di ladang miliknya. Peristiwa itu terjadi pada waktu siang hari, tepat keesokan hari setelah kami bertiga tidur beralas tikar mendong.

Saat itu, saya sedang berada di sekolah. Pada jam yang sama, ibu tengah menghadiri pesta hajatan tetangga. Sepulang dari hajatan, sekitar pukul 11.00, ibu mendapati bapak sudah tidak ada di rumah.

Ibu mulai mencari dan menanyakan kepada tetangga. Namun, tidak ada seorang pun yang melihat ke mana bapak pergi. Dibantu tetangga sekitar, ibu terus mencari ke berbagai sudut kampung.

Hingga akhirnya, ibu bertemu dengan seorang kakek tua yang tidak dia kenal di sebuah jalan menuju ladang. Kakek tua itu berdiri di tengah jalan membawa selendang berwarna hijau dan melihat ibu yang tampak gugup dan cemas.

“Ada apa?” Tanya kakek tua itu.

“Suami saya pergi dari rumah, Mbah. Pergi pakai kaus putih dan panjang hitam. Simbah melihat?” Tanya ibu sambil terbata-bata.

“Coba cari di sekitar sana,” jawab kakek tua menunjuk sebuah ladang dan melanjutkan perjalanannya.

Dengan tergesa-gesa, ibu pun mulai berjalan menuju ladang tersebut. Dari kejauhan, ibu melihat orang berkaos putih yang tengah berdiri di bawah pohon jati. Semakin mendekati orang itu, ibu semakin merasa takut dan cemas.

Seakan tidak percaya, orang yang berkaus putih tersebut adalah suaminya sendiri. Setelah melihat dari jarak dekat, bapak tidak berdiri, tetapi kakinya menggantung dan lehernya terjerat seutas tali dadung kambing. Tak pelak, ibu langsung menjerit histeris dan pingsan. Mendengar ada teriakan, warga sekitar langsung mendatangi lokasi.

Saya yang sedang berada di sekolah, dijemput tetangga untuk pulang. Tampak banyak warga mendatangi lokasi untuk menyaksikan peristiwa ini. Tidak jarang di antara mereka yang mual dan muntah setelah melihat bapak saya meninggal dengan cara gantung diri.

Setelah itu, pihak kepolisian datang untuk menurunkan jenazah bapak dan pohon yang digunakan untuk gantung diri ditebang, lalu dibakar oleh warga. Otopsi pun dilakukan. Tidak ada tanda-tanda penganiayaan. Artinya, bapak murni mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.

Setelah kejadian itu, saya dan ibu merasa terasing. Tidak ada tetangga yang menemani kami pada waktu malam hari. Bahkan, yasin dan tahlil setelah tujuh hari kematian bapak, hanya sedikit warga yang datang untuk mendoakan. Saya sadar betul bahwa suasana hari itu begitu mencekam dan tidak ada warga yang berani keluar saat malam hari.

Kasak-kusuk mengenai teror pulung gantung di kampung saya mencuat. Bahkan, tidak sedikit warga luar desa saya memberi kabar bahwa mereka sering melihat bola api melayang-layang di atas rumah saat petang dan menjelang waktu subuh.

Setiap malam, saya juga masih sering mendengar warga sekitar yang membunyikan kentongan dan lesung di rumahnya masing-masing. Ya, suara kentongan, cethen, dan lesung tersebut merupakan ritual yang dipercaya sebagian masyarakat untuk mengusir pulung gantung.

Menurut penuturan warga, membunyikan lesung, cethen, dan kentongan bukan berarti benar-benar bisa menghilangkan pulung gantung. Namun, cara ini dilakukan agar pikiran seseorang tidak kosong. Konon, pulung gantung hanya akan jatuh atau mencok di pekarangan rumah warga yang pikirannya kosong.

Selain itu, sebagian warga masih ada yang percaya, bahwa setiap kali ada orang yang gantung diri, pelaku tersebut akan mencari “teman” atau mangsa. Bahkan, berhembus kabar bahwa arwah bapak saya masih bergentayangan di kampung. Tentu saja, kabar ini begitu menyakitkan bagi saya dan ibu.

Kisah di balik teror pulung gantung

Di balik kematian bapak, saat itu masih banyak misteri yang belum saya mengerti, salah satunya tentang Mbah Bayan. Menjelang kematiannya, hampir setiap hari bapak menyebut nama itu.

Awalnya saya ragu bertanya kepada ibu tentang sosok Mbah Bayan, yang sering disebut-sebut itu. Namun, 40 hari setelah kepergian bapak, tepat sesudah acara yasin dan tahlil, saya mencoba memberanikan diri untuk bertanya.

“Mbah Bayan itu siapa, Bu?”

“Sudah, Le, ndak usah diinget-inget lagi soal Mbah Bayan. Sudah. Percuma.”

Saya sedikit memaksa agar ibu mau bercerita. Berulang kali pula ibu saya marah dan meminta saya untuk tidak bertanya soal itu, sebelum akhirnya dia mau menceritakan semuanya. Ibu juga butuh semacam pelepasan dengan bercerita.

“Mbah Bayan itu simbahmu. Bapaknya bapakmu. Dulu, simbah orang paling kaya di kampung ini. Suatu hari, dia kalah judi dan menjual semua tanahnya, kecuali ladang yang waktu itu disita pihak bank itu. Iya, cuma itu satu-satunya harta warisan dari simbah yang dulu tidak dijual,” tutur Ibu sambil menahan tangis.

“Saat itu, Mbah Bayan jatuh sakit. Depresi karena penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh dan terlilit utang, Mbah Bayan gantung diri di kandang kambing belakang rumahnya,” lanjut ibu saya yang akhirnya tidak kuasa menahan tangis.

Mendengar cerita ibu, saya hanya bisa diam. Sebab, selama ini, saya hanya mendengar cerita bahwa simbah saya meninggal akibat serangan jantung. Selain itu, ibu saya juga memberi tahu bahwa bapak memiliki trauma mendalam setelah kepergian Mbah Bayan, atau yang kini dikenal Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal ini yang terus membayangi legenda pulung gantung di kampung saya.

PTSD sendiri merupakan gangguan mental setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis atau tidak menyenangkan. Gangguan ini muncul ketika bapak saya melihat peristiwa gantung diri Mbah Bayan. Sejak saat itu, bapak sering menyalahkan diri sendiri, sulit tidur, susah menjalin hubungan dengan orang lain, dan sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan.

Ketika dihadapkan pada suatu masalah berat, seperti memiliki utang yang banyak, ingatan masa lalunya tentang Mbah Bayan muncul kembali. Hal ini yang kemudian membuatnya mudah putus asa, depresi berat, mengalami gangguan skizofrenia yang menyebabkan halusinasi, dan berujung bunuh diri..

Malam pun semakin larut, tepat pukul 02.30, saya dan ibu masih duduk di teras rumah. Suasana kampung begitu sepi, nyaris tidak ada orang yang lewat di depan rumah. Kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam untuk istirahat.

Sesaat setelah saya dan ibu masuk ke dalam rumah, tiba-tiba ada orang yang ketuk pintu. Dengan langkah pelan, ibu membuka pintu rumah. Tampak kakek-kakek berpakaian serba hitam berdiri di depan pintu.

“Maaf, Bu, Bapak yang masuk ke dalam rumah ini ke mana, ya?” Tutur pria itu tiba-tiba.

“Maksudnya?” Tanya ibu saya.

“Ini benar rumahnya Pak Darko, kan?” Lanjut pria itu.

“Iya, benar, saya istrinya. Maaf, Anda ini siapa, ya?”

“Lho, saya tadi diajak ke sini oleh Pak Darko. Katanya beliau ingin memberi pinjaman uang ke saya,” terang kakek bertubuh ceking itu.

Melihat ada yang janggal, secara spontan ibu saya langsung menutup pintu rapat-rapat. Tampak pria itu masih mencoba untuk membuka pintu dan terus mengetuknya.

“Pak Darko! Pak!” Teriak pria itu.

Tidak tahan dengan hal itu, dari dalam rumah, ibu saya berteriak dan mengatakan bahwa Pak Darko sudah meninggal 40 hari lalu. Mendengar teriakan ibu, tiba-tiba pria paruh baya itu tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan rumah saya.

“Saya kok kayak pernah melihat kakek yang tadi ya, Le. Di mana, ya,” tutur ibu tiba-tiba.

“Lha siapa to, Bu,” tanya saya.

Ibu terus mengingat sosok pria paruh baya berpakaian serba hitam itu. Hingga menjelang salat Subuh, saya dan ibu masih terjaga. Meski kami benar-benar ngantuk, tetapi kami begitu takut untuk memejamkan mata. Setiap kali mencoba memejamkan mata, bayangan bapak dan pria paruh baya itu selalu muncul.

Kula nuwun, assalamualaikum. Mbak Lastri? Mbak?” Ada suara perempuan sambil mengetuk pintu.

Mendengar itu, ibu saya tidak segera beranjak dari tempat tidurnya. Tampak sekali raut wajah ibu saya ketakutan. Perempuan itu terus memanggil-manggil nama ibu. Merasa tidak asing dengan suara itu, ibu saya berjalan pelan menuju pintu dengan perasaan was-was.

“Bu Marni, ada apa jam segini datang ke rumah?” Tanya ibu saya setelah membukakan pintu.

Bu Marni adalah kakak kelas ibu saya saat masih duduk di bangku SD. Meski tidak satu kampung, tetapi jarak rumah saya dan Bu Marni tidak terlalu jauh, hanya sekitar 700 meter. Bu Marni sendiri adalah seorang janda anak satu yang beberapa tahun lalu suaminya meninggal karena tersengat arus listrik.

“Nyari pakdhe saya. namanya Sakri, Mbak. Sampean tadi lihat kakek-kakek lewat sini nggak? Pakai pakaian hitam.” Tanya Bu Marni.

Mendengar pertanyaan itu, ibu saya seperti ingat sesuatu. Apa yang ditanyakan Bu Marni sama persis apa yang ditanyakan ibu saya saat mencari ayah waktu itu. Ternyata, orang yang dicari Bu Marni adalah kakek tua yang waktu itu memberi tahu atau menunjukkan lokasi tempat bapak saya gantung diri.

Belum sempat menjawab pertanyaan Bu Marni, tiba-tiba anak Bu Marni datang ke rumah saya dan memberi kabar bahwa Pakdhe Sakri gantung diri di kandang sapi miliknya. Mendengar kabar itu, Bu Marni langsung menangis histeris. Sementara tubuh saya tiba-tiba gemetar, keringat dingin, dan tidak tahu harus berbuat apa.

Suasana kampung pun menjadi semakin mencekam lagi. Beberapa tetangga keluar rumah dan membunyikan suara kentongan. Sebagian berlari menuju lokasi kejadian untuk melihat dan memberi pertolongan. Sementara, saya dan ibu memutuskan untuk tetap berada di rumah. Trauma karena legenda pulung gantung kembali terasa.

Beberapa hari setelah Pak Sakri gantung diri, ibu mendatangi rumah Bu Marni. Janda anak satu itu banyak bercerita mengenai latar belakang Mbah Sakri hingga memutuskan untuk gantung diri. 

Menurut penuturan Bu Marni, kakek berusia 75 tahun itu sering linglung, pikun, dan sering bingung saat istrinya meninggal dunia lima tahun lalu. Mbah Sakri hanya tinggal sendiri di rumah karena kedua anaknya merantau dan sudah berkeluarga.

Puncak kesedihan Mbah Sakri terjadi saat kambing satu-satunya mendadak mati karena keracunan kulit singkong yang masih basah. Kejadian itu membuat Mbah Sakri sering melamun sendiri dan kerap berjalan tanpa tujuan yang jelas. Bahkan, dia kerap menghilang dari rumah karena lupa jalan pulang.

Kasus percobaan bunuh diri di kampung saya tidak hanya berhenti di Mbah Sakri. Sebulan setelah kakek itu gantung diri, tetangga dekat saya, Mas Daliman, nekat terjun bebas ke dasar sumur sedalam 25 meter. Pria berusia 45 tahun itu mencoba mengakhiri hidupnya karena terhimpit masalah. Namun, upaya itu gagal karena warga dan petugas damkar berhasil memberikan pertolongan.

Menurut cerita Mas Daliman, dia nekat terjun ke sumur karena dituntun atau ajak oleh sosok yang menyerupai bapak saya menuju ke sebuah taman yang penuh cahaya. Bahkan, saat melihat sumur seolah, dia seperti melihat cahaya yang akan memberikannya kebahagiaan. Namun, setelah di dasar sumur, Mas Daliman baru sadar bahwa dia telah melakukan percobaan bunuh diri.

Sepanjang 2016, setidaknya telah terjadi 30 kasus bunuh diri di Gunungkidul. Dan, dari 30 orang tersebut, wilayah saya menempati rangking pertama dengan kasus bunuh diri terbanyak. Terlepas dari mitos pulung gantung, masalah depresi dianggap menjadi salah satu penyebab tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul. Ironisnya, meski banyak kasus gantung diri, tetapi jumlah psikolog di Gunungkidul sangat minim sehingga penanganan para pengidap gangguan mental kurang maksimal.

Maka dari itu, sudah seharusnya semua lapisan masyarakat, terutama pihak-pihak terkait untuk terus mensosialisasikan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Selain itu, sekiranya sangat perlu untuk menempatkan psikiater atau psikolog di setiap puskesmas di Gunungkidul yang saat ini belum ada. Hal ini perlu dilakukan semata-mata agar kisah yang saya alami tidak terjadi di kehidupan orang lain.

Di tengah dinginnya malam, di tengah siulan angin, kabar pulung gantung muncul begitu saja. Legenda itu menyergap siapa saja yang tidak siap. Sebuah legenda yang “memangsa” mereka yang terguncang jiwanya. Pulung gantung… siapa selanjutnya?

Catatan: Kisah ini berdasarkan penuturan keluarga korban dan calon pelaku bunuh diri. Tokoh yang ada di tulisan ini bukan nama sebenarnya.

BACA JUGA Bayang-bayang Harimau dan Penembang yang Hilang di Kaki Gunung Cakrabuana dan kisah-kisah yang bikin sesak hati di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Jevi Adhi Nugraha

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version