Takut Bus Hantu, eh Malah Naik Kereta Hantu

MOJOK.CO Gara-gara diledek soal bus hantu, saya memilih pulang naik kereta. Tapi siapa sangka, saya malah berakhir naik kereta hantu yang bikin kaki lelah!

Malam hari, Jakarta gelap. Gara-gara kunjungan klien mendadak di kantor, jam kerja saya dan teman-teman pun kian panjang. Kami harus menemani klien makan malam dan baru selesai sekarang, pukul 10 malam lebih 10 menit.

“Naik apa?” tanya teman saya yang rumahnya dekat kantor. Ia cukup naik ojek online 15 menit untuk sampai ke tempat tinggalnya.

“Bus PPD, mungkin. KRL udah abis,” jawab saya sambil mengingat-ingat bahwa kereta terakhir ke Bogor, area tempat tinggal saya, sudah berangkat sejak tadi.

“Hati-hati, ya, jangan sampai naik bus hantu,” seloroh teman saya. Saya cuma tertawa.

Maka, berpisahlah kami malam itu. Saya bermaksud bergegas ke halte bus PPD untuk menuju pulang. Saya harap, bus yang saya naikin nggak penuh-penuh amat, supaya rasanya lebih lega karena kepala saya sakit dan senut-senut.

Dalam perjalanan saya di atas ojek menuju halte terdekat (kantor saya agak terpencil), saya melewati stasiun yang biasa saya masuki untuk naik KRL. Entah bagaimana, saya melihat lampu sorot kereta. Pikiran saya langsung bekerja, loh masih ada kereta jalan, ya?

Mungkin karena kelelahan atau takut duluan dengan ledekan teman soal bus hantu, saya lalu minta berhenti di stasiun. Saya memutuskan naik kereta.

Seperti yang sudah saya sebutkan, kepala saya sakit dan senut-senut. Belum lagi, saya mengantuk setengah mati. Dengan kekuatan yang tersisa, saya langsung masuk ke peron tanpa berpikir terlalu banyak, misalnya kenapa stasiun ini bisa menjadi sangat sepi.

Singkat cerita, saya naik ke dalam kereta. Beruntung, harapan saya terkabul: penumpangnya tidak terlalu banyak dan saya bisa mendapat tempat duduk yang nyaman.

Tentu saja, ada yang aneh, kalau boleh jujur. Penumpangnya memang tidak terlalu banyak, tapi kereta ini sedikit kelewat sepi. Saya bahkan tidak mendengar mesin kereta bergerak dan tidak ada penumpang yang batuk-batuk—sebagaimana biasa saya temukan dalam kendaraan umum mana pun.

Saya terbatuk, “Uhuk!” sambil memperhatikan sekitar. Penumpang lain tidak ada yang merasa terganggu—menoleh pun tidak. Semuanya duduk diam, kecuali seorang bapak di hadapan saya yang membaca koran sedari tadi. Ia menggerakkan tangannya, membuka halaman selanjutnya dari koran yang dibentangkan di wajahnya.

Saya melengos. Mungkin saya cuma kelewat sakit kepala sampai berpikiran yang tidak-tidak. Maksud saya, nggak mungkin juga, kan, cerita semacam bus hantu yang disebutkan teman saya tadi terjadi betulan di kereta?!

Tanpa terasa, perjalanan sudah mendekati stasiun tujuan. Sambil menunggu kereta ini berhenti, mata saya melihat-lihat kembali ke kereta yang terasa sedikit aneh ini.

Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan kereta yang biasa saya naiki tiap malam. Penumpangnya juga tidak berpakaian putih-putih semua, seperti kisah soal bus hantu, kereta hantu, atau kendaraan umum apa pun yang pernah saya dengar sebelumnya.

Mata saya, entah bagaimana, berhenti pada bapak-bapak yang membaca koran. Wajahnya tertutup sepenuhnya oleh koran di hadapannya, membuat saya sulit menebak seperti apa wajah seorang laki-laki yang begitu tekunnya membaca koran, bahkan saat waktu menunjukkan pukul…

…eh, sebentar, kenapa sekarang jam tangan saya menunjukkan hampir pukul 3 pagi???

Di atas kereta, saya kaget setengah mati. Perasaan, saya nggak naik bus demi menghindari kisah bus hantu, tapi kenapa perjalanan di atas kereta malah se-absurd ini?

Kereta macam apa yang berangkat ke Bogor saja harus menempuh durasi nyaris 4,5 jam???

Saya kembali melihat ke arah bapak berkoran. Kali ini, entah kenapa, mata saya terkunci ke halaman utamanya. Di sebelah kanan atas, tanggal terbitnya jelas terpampang: Senin, 23 Maret 1987.

Mendadak, kaki saya lemas. Jantung saya berdebar-debar lebih cepat, seakan-akan baru saja ketahuan mencuri dan bakal dihajar habis-habisan. Saya ketakutan dan ingin segera sampai ke tujuan.

Beruntung, tidak ada hal yang mengerikan sampai akhirnya kereta berhenti. Saya langsung berlari masuk ke stasiun, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang petugas yang keheranan.

“Dari mana, Kang?”

Saya menjawab sebisanya, “Saya tadi naik kereta, Pak. Aneh banget, masa dari Jakarta ke Bogor lebih dari 4 jam?”

“Bapak lihat kan, kereta yang barusan tadi?” tanya saya lagi, setelah melihat raut wajah si petugas kian keheranan.

Si petugas tidak langsung menjawab. Ia malah mempersilakan saya duduk dan memberi air mineral. Setelah agak tenang, ia baru berkata,

“Saya justru heran. KRL terakhir sudah lama lewat. Akang tadi datang nggak naik kereta. Akang jalan kaki di tengah rel…”

Saya bengong mendengarnya, lalu akhirnya mengerti kenapa kaki saya terasa lelah sekali. (A/K)

Exit mobile version