Sebuah Suara di Pos Jurit Malam Kemah Pramuka

pramuka

Kisah ini terjadi pada pertengahan tahun 2013. Jadi waktu itu, anak-anak kelas 1 SMA akan mengadakan kemah wajib. Kemah itu wajib karena di sekolah saya ekstrakurikuler pramuka merupakan ekstrakurikuler wajib.

Waktu itu saya sudah kelas 2 SMA. Saya masih tetap ikut kemah karena saya adalah salah satu anggota dewan ambalan. Dewan ambalan ini adalah anak-anak kelas 2 yang terpilih untuk membimbing pramuka anak-anak kelas 1.

Kemah wajib sekolah kami waktu itu dilaksanakan selama 3 hari dan bertempat di salah satu komplek tentara di Magelang.

Kami semua berangkat siang hari pakai truk TNI. Keren lah pokoknya, sudah kayak tentara mau berangkat perang gitu.

Perjalanan dari sekolah sampai tempat kemah memakan waktu sekitar 3 jam, Kami sampai sana pas sore hari. Sesampainya disana, kami semua langsung bangun tenda beres-beres, dan mandi.

Agenda resmi pertama dilakukan pas malam tiba. Anak-anak kelas 1 diberi semacam materi tentang survival gitu sama abang-abang tentara. Sementara kita para anggota dewan ambalan mengadakan briefing untuk kegiatan jurit malam (tahu dong, ya?)

Waktu itu, saya kebagian tugas survei lokasi, surveinya nggak berat sih, cuma lihat-lihat keadaan sekitar kalau malam gimana, bahaya apa enggak, jalurnya becek apa enggak, aman nggak buat jalan malam, dsb.

Nah, pas survei itu, saya mulai merasa nggak beres sama satu rumah di sana. Rumahnya gede banget tapi nggak terawat karena sudah kosong lama. Entah kenapa, pas ngelewatin depan rumah itu, rasanya dingin banget, tubuh kayak membeku sejenak, dinginnya nggak enak lah, tapi waktu itu belum ada yg aneh-aneh, cuma berasa dingin banget aja gitu.

Singkat kata, malam itu kami tim survei menyatakan tempat disana cukup ramah sebagai area jurit malam pada malam ke-2.

Pagi harinya tim survei menentukan rute yang akan dilewati untuk jurit malam. Rute sudah fix, tinggal mengatur pembagian pos.

Waktu itu kalau nggak salah ada beberapa pos. Ada pos game, pos kuis, pos kedisipilinan, dan salah satu pos khusus yang segaja di buat oleh anak-anak Dewan ambalan yaitu pos hantu, alias pos yang dibuat untuk menakut-nakuti kelompok yang lewat. Hahaha, iya, kami jahat.

Akhirnya malam pun tiba, setelah isya, anak-anak kelas 1 dipersilahkan untuk beristirahat, sedangkan anggota dewan mulai berpencar menyiapkan diri di posnya masing-masing.

Untuk setiap pos ada 2 anggota dewan ambalan yang bertugas. Entah apes atau gimana, waktu itu, saya kok ya dapat jatah buat berjaga di pos hantu, sendirian pula. Dan lebih apes lagi, pos hantu yang harus saja jaga itu lokasinya berada tepat di belakang rumah yang saya jelaskan tadi.

Sekitar pukul 11-an, anak-anak kelas 1 mulai disiapkan untuk mengikuti jurit malam. Setelah semua peserta siap di lapangan, salah seorang kawan saya memberikan arahan rute awal jurit malam. Dan rute pertama yang mereka lalui adalah rumah gede itu

Jadi rute pertama adalah melewati depan rumah itu kemudian berjalan ke belakang rumah, kemudian berjalan di sawah-sawah, pos yang lain ada di sawah-sawah itu. Ada dua pos hantu dalam acara jurit malam ini, selain pos yang saya juga, ada pos hantu lain yang ada di tengah-tengah sawah.

Ada salah satu pesan yang kami sampaikan kepada adik-adik kelas sebelum mereka berangkat “Teruslah behitung, jangan sampai anggota kelompok kalian bertambah!”, yah, semacam pesan yang sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti para peserta.

Sekitar pukul 12, saya dan beberapa anggota mulai menyebar menuju pos masing-masing. Saya menempatkan diri tepat di belakang rumah. Saya bersembunyi di pohon-pohon bambu.

Dan… Tragedi dimulai…

Setengah jam menunggu, saya merasa sangat tidak nyaman di tempat itu, sayup sayup saya mendengar suara wanita menangis, tangisannya masih sangat pelan sembari berkata “Kak, tolong kak, sakit.”

Mendengar suara tersebut, saya pun berkata “Siapa ya? kalau sakit berhenti disini saja, nanti saya panggilkan PMI”, tetapi ketika saya melihat sekeliling, ternyata tidak ada siapa pun.

Saya mulai merinding.

Suara yang tadinya agak jauh jadi semakin dekat, saya berteriak “Woooy, siapa ya? jangan main-main sama saya!” Saya masih mengira ada teman saya atau adik kelas yang menjahili saya. Saya pun berdiri dan melihat sekeliling dengan teliti, dan hasilnya nihil. Tetap saja tidak ada siapa-siapa.

Saya tidak menyadari kalau itu kuburan keluarga karena kuburannya sudah tidak terawat dan banyak tertutupi rumput, saya tidak menghiraukan suara itu saya kemudian memutuskan untuk duduk lagi di tempat awal saya tadi.

Akan tetapi, ada satu hal yang tiba-tiba mengagetkan saya, suara tangisan yang sebelumnya kecil dan agak jauh, mendadak menjadi semakin dekat, bahkan terasa seperti tepat di belakang saya, “Kak, tolong saya, saya sakit, Kak, nggak kuat!”

Alamaaak. Langsung lemas saya, badan penuh keringat semua, bulu kuduk berdiri, saya berusaha menguatkan diri agar bisa lari secepatnya. Saya menahan kepala saya agar tidak menengok ke belakang karena kepala saya agak terasa ditarik supaya menoleh ke belakang.

Kaki lemas, badan lemas, mau teriak nggak bisa, mau nyebut nggak bisa juga, karena pikiran sudah tak karuan. Barulah setelah beberapa saat setelah merasa awkward sama si cewe yang nangis itu, saya kemudianbisa teriak “Aaaaaaaaaaaaaaa….”

Niatnya mau teriak Allahuakbar tapi nggak bisa, bisanya “Aaaaaa” doang.

Badan bisa bergerak, saya lari ke depan.

Saya lari lumayan jauh melewati semak-semak yang tinggi. Bedebah betul, di tengah pelarian saya, sandal saya putus tepat ketika saya berada di depan pintu rumah kosong itu.

Si cewe nangis sudah nggak ada, tetapi dari dalam rumah itu terdengar suara manusia mengetuk pintu dari dalam rumah, aneh, ngetuk pintu kok dari dalam, tapi ya gimana, maunya dia ngetuk pintu dari dalam je.

Pintu yang diketuk dari dalam itu terbuka pelan-pelan, dan saya tentu saja langsung melanjutkan lari sekuat tenaga untuk menjauh dari tempat tersebut dan bergabung dengan teman-teman lain di pos yang lain.

Bodo amat itu pos hantu nggak ada yang jaga. Yang penting, saya selamat.

Setelah kejadian tersebut, saya merasa sangat bersyukur sebab saya tidak sampai melihat wajah mereka. Kalau sampai melihat, entah apa yang bakal terjadi, mungkin saya bakal pingsan.

Haduh, niat hati ingin menakut-nakuti, malah ditakut-takuti dan takut sendiri.

~Winci Murtiyana (@wincimr_)

Exit mobile version