Rumah Joglo dan Guci Tumbal yang Tak Terjawab

Sedikit yang tersisa, dengan rupa macam rajah di badan, memilih mengunci mulut rapat-rapat.

Rumah Joglo dan Guci Tumbal yang Tak Terjawab MOJOK.CO

Ilustrasi rumah joglo. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CORumah joglo di tepi dusun itu masih menyisakan cerita sampai saat ini. Tentang tumbal yang menjadikan guci sebagai wadahnya.

Pembonceng itu berbahaya, kata kakek teman saya suatu kali. Dulu, Belanda membonceng sekutu untuk menduduki kembali Indonesia. Maka, Agresi Militer yang mengerikan itu terjadi. Pembonceng, yang tidak diinginkan, sempat menjadi keprihatikan yang bertahan sampai sekarang di dusun kecil itu.

Dusun yang dimaksud berada tidak sampai dua kilometer dari sebuah sungai besar. Sungai yang membelah kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan berhulu di sebuah “gunung bersaudara” di Jawa tengah. Di dusun ini, ada sebuah rumah joglo yang konon dibangun di awal periode 1983 atau 1984. Tidak ada yang tahu secara pasti tanggal berdirinya.

Pini sepuh dan orang tua di dusun tersebut sudah meninggal atau pindah tanpa pamit. Sedikit yang tersisa, dengan rupa macam rajah di badan, memilih mengunci mulut rapat-rapat. Termasuk kakek teman saya yang sangat irit berbicara.

Menjelang sakaratul maut, kakek teman saya jadi lebih mudah diajak ngobrol. Entah kenapa, beliau jadi suka bercerita. Dalam waktu tiga hari itu, menjelang ajal yang janggal, sang kakek yang bernama Eyang Prada, bercerita banyak hal. Salah satunya rumah joglo dan guci-guci berisi tumbal.

Sebetulnya saya agak bingung dari mana harus bercerita. Informasi yang saya dapat terlalu banyak dan beberapa bagian tidak boleh diceritakan sebelum waktunya. Oleh sebab itu, izinkan saya bercerita dari rumah joglo yang janggal dan tidak berani didekati orang dusun sendiri.

Rumah joglo, rumah tumbal mereka yang dibuang

Dinding kayu rumah joglo itu berwarna cokelat gelap. Jejak ganasnya usia dan cuaca terlihat di setiap sisinya. Tiang-tiang di sudut berwarna hitam dengan ukiran yang terlihat rumit. Pagar yang menjadi pembatas halaman dan jalan sempit berupa tanaman yang disebut sebagai teh-tehan (Acalypha siamensis atau wild tea).

Tidak ada pintu di pagar melingkar itu. Namun, mau memagari dari apa, toh tidak ada warga dusun yang berani masuk ke rumah joglo yang disebut sebagai rumah tumbal itu. Selain cerita-cerita yang kurang nyaman untuk perut, sekeliling kawasan joglo itu memang bikin gentar.

Sebelah utara persis, ada sebuah pemakaman. Bukan pemakaman umum. Tidak terlalu luas. Namun, jumlah nisan di dalamnya terlihat terlalu banyak untuk ukuran pemakaman itu. Kebanyakan nisan berukura kecil. Posisinya tidak beraturan.

Hampir tiap bulan, ada saja nisan baru di sana. Tidak ada yang tahu siapa yang menggali kubur. Lebih tepatnya, warga dusun tidak mau bersusah payah memuaskan rasa penasaran dengan bertanya. Lagian, mau bertanya kepada siapa….

Satu pemahaman bersama yang muncul seiring waktu adalah kemunculan nisan baru selalu didahului kedatangan orang asing ke rumah joglo itu. Tumbal akan sebuah lelaku, kata orang-orang dusun dan diamini oleh kakek teman saya, Eyang Prada. Siapa yang sedang dan masih melakukan lelaku? Eyang cuma menggeleng. Antara tidak tahu atau mungkin enggan menceritakan bagian itu.

Orang asing yang datang ke rumah joglo itu terlihat “bukan sembarangan orang”. Mereka yang datang selalu naik mobil yang terlihat terlalu mewah untuk dusun itu. Jangan salah, warga dusun teman saya ini cukup sejahtera. Toyota Avanza atau Yamaha Nmax mahal adalah pemandangan biasa di sana.

Namun, mereka yang datang memang sangat mencolok. Biasanya sepasang, dan mengenakan pakaian yang jauh dari kesan “dusun”. Mohon maaf jika kalimat ini menyinggung pembaca tertentu.

Mereka yang datang punya kebiasaan menarik. Pertama, sebelum masuk halaman rumah joglo itu, mereka selalu putar balik, lalu masuk sambil mundur. Posisi moncong mobil selalu di mengarah ke jalan. Sebelum masuk ke rumah joglo, selalu mengetuk dua kali. Salah satu pengunjung pasti membawa guci. Di dalam guci itu, konon tumbal lelaku berada.

Mereka tidak lama berada di dalam rumah joglo itu. Tidak lebih dari 20 menit. Beberapa hari kemudian, bisa dipastikan muncul nisan baru. apakah ada yang menggali? Atau, nisan-nisan itu cuma pertanda? Sekali lagi, tidak ada yang berani mengusi rumah joglo dan kompleks pemakaman kecil itu.

Guci dan cerita soal tumbal

Rutinitas kedatangan orang asing ke rumah joglo itu bersamaan dengan kebiasaan membawa guci kecil. Dulu, awalnya, warga dusun mengira ada orang yang tinggal di sana. Guci-guci yang dibawa, mungkin, berisi makanan untuk siapa pun yang tinggal di sana.

Namun, ketika perangkat dusun berusaha mencari tahu, ada sekelompok orang yang mencegah mereka. Suatu malam di pertengahan 1984, perangat desa dikumpulkan di balai dusun. Tidak tahu siapa yang memberi arahan. Namun, setelah itu, tidak ada lagi perangkat dusun yang mau mendekati rumha joglo itu. Konsekuensinya kalau masih ngeyel, kehilangan pekerjaan sampai hilang.

Akhir 1984, ada seorang perangkat dusun yang menghilang. Dia adalah ketua keamanan di sana. Selalu merasa resah dengan aktivitas yang tidak jelas di rumah joglo itu. Dalam hitungan jam, ketua keamanan itu menghilang. Tak sampai dua tahun kemudian, dia ditemukan tewas mengenaskan di jalanan Jakarta dengan dada berlubang.

Kecurigaan warga dusun tentang penghuni rumah joglo itu sebetulnya beralasan. Di awal-awal berdiri, hingga akhir 1985, sering terlihat orang merokok di belakang rumah. Dua atau tiga kali peronda memergoki jejak orang di belakang rumah. Bau kretek tercium kuat. Namun, tidak ada yang secara pasti atau jelas melihat orang tersebut.

Cukup sering terdengar, antara akhir 1983 hingga akhir 1985, suara letusan seperti petasan dari belakang rumah joglo itu. Beberapa hari kemudian, datang orang asing membawa guci. Setelah itu, sebuah nisan baru akan muncul.

Selepas 1986 hingga akhir 1987, suara letusan sudah semakin jarang terdengar lalu hilang. Namun, kiriman guci dan nisan masih rutin dilakukan. Dulu, berawal dari spekulasi soal peristiwa berdarah di sekitar 1983 hingga 1986, kini menjadi cerita mistis yang semakin bercabang.

Apa isi guci yang dianggap sebagai perlambang tumbal itu?

Dulu, banyak orang sepakat kalau guci itu berisi organ dalam yang bisa jadi syarat pesugihan. Ada juga yang bersikeras kalau isinya jabang bayi masih merah yang dikorbankan untuk sesmbahan atau lelaku tertentu. Satu hal yang pasti, cerita itu seperti dibiarkan berkembang makin liar seperti untuk menutupi ketakutan akan sesuatu.

Sialnya, di sekitar kawasan pemakaman, sering terdengar suara tangis dan mohon ampun. Teman saya bahkan pernah melihat sesosok laki-laki tanpa baju, hanya mengenakan celana pendek, berdiri di belakang rumah joglo itu. Awalnya, teman saya tidak melihatnya, tapi Eyang Prada seperti sengaja menunjukkan sosok itu kepada teman saya.

Ketika mata teman saya bersirobok dengan mata sosok itu, peristiwa selanjutnya terasa janggal. Tiba-tiba, sosok itu langsung membuat gerakan seperti tiarap dengan dada menempel di tanah. Setelah itu, dia merangkak menjauhi rumah, seperti ketakutan, menuju kawasan pemakaman.

Teman saya berpikir itu semacam makhluk halus. Namun, Eyang Prada tidak mengiyakan, tidak juga menampiknya. Pesan eyang pendek saja: “Hati-hati sama apa yang kamu lihat dengan mata sendiri. Kadang itu bukan kebenaran. Jangan pernah merasa nggak punya rasa takut.”

Hingga Eyang Prada tutup usia beberapa minggu lalu, kalimat itu tidak pernah bisa dipahami teman saya. Setelah Eyang Prada meninggal, kebenaran terkait rumah joglo itu makin gelap. Tidak ada yang bisa dikorek, termasuk para sesepuh dengan rajah aneh di sekujur badan.

Rajah yang sudah semakin samar karena disetrika secara paksa….

BACA JUGA Anjing Bapak dan kisah misterius lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Haryo Tri Aji

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version