Potongan Kaki Perempuan di Toilet Sekolah

Potongan Kaki Perempuan di Toilet Sekolah MOJOK.CO

MOJOK.COBayangan kaki perempuan yang aku lihat di toilet sekolah itu kembali terbayang. Sebuah bagian dari sebuah cerita yang sampai kini tak pernah selesai.

Dulu, sejak diterima masuk di SMP itu, aku tidak berani untuk buang air kecil sendirian. Toilet sekolah SMP itu muram sekali. Bahkan ketika siang hari karena langit-langitnya tertutup cukup rapat dan penerangannya terlalu temaram. Aku tidak berani ke toilet sekolah sendirian, apalagi ketika jam pelajaran.

Selama kelas 1, aku ke toilet sekolah cuma ketika jam istirahat karena agak ramai. Sampai suatu saat, ketika sudah kelas 2, rasa ingin buang air kecil itu tak tertahankan. Aku bilang ke guru mau ke toilet tapi minta ditemani salah satu teman. Namun, guru tidak mengizinkan.

Jadilah aku sendiri yang pergi. Takut mengompol. Malu. Suasana sekolah begitu sepi. Bangunan sekolahku tidak terlalu besar, bukan juga bangunan lama. Hanya saja, entah kenapa bikin nggak enak kalau sendirian di kala sepi. Waktu itu, tidak ada guru yang berlalu-lalang, hanya ada seorang petugas kebersihan, laki-laki, yang sedang mengepel lantai.

Ketika hampir sampai toilet sekolah, aku dilarang masuk oleh petugas kebersihan yang lain karena sedang dibersihkan. Petugas kebersihan ini juga laki-laki. Entah kenapa di sekolahku tidak ada petugas kebersihan perempuan. Sejak dulu, sampai sekarang, aku bingung juga alasannya.

Waktu itu pilihanku: ke toilet sekolah di lantai 2 untuk kelas 3 atau ke toilet kelas 1 yang arahnya berseberangan dengan deretan kelas 2. Mau naik ke laintai 2, aku makin nggak berani. Jadi aku memutuskan untuk ke toilet kelas 1 saja. Toilet yang sejak dulu aku hindari.

Toilet sekolah ini menyediakan sandal jepit. Jadi, sepatu wajib dibuka di luar. Saat ingin masuk, aku melihat ada flat shoes berwarna biru muda yang sedikit kotor seperti terkena lumuran tanah basah. Di situ aku sudah merasa heran. Hari ini semua murid memakai seragam. Jadi tidak mungkin ada sepatu bebas. Sepatu diharuskan berwarna hitam sepenuhnya.

Guru juga agak tidak mungkin ke toilet murid karena punya toilet khusus. Sepatu guru juga berwarna hitam sesuai peraturan sekolah. Orang luar tak diperbolehkan memakai toilet murid. Jadi, mereka pasti memakai toilet di kantin. Tapi, karena sudah tidak tahan, aku tak ambil pusing. Aku langsung masuk ke bilik nomor 2.

Ada 5 bilik di toilet kelas 1 ini. Bilik nomor 5 jarang dipakai karena pintunya suka macet, terletak paling pojok, gelap, dan letaknya dekat petugas kebersihan meletakkan alat-alat kebersihan. Sebelum masuk ke bilik nomor 2, aku melihat bilik 5 tertutup. Biasanya, kalau sedang tidak dipakai, pintu toilet wajib dibuka. Ada yang memakai bilik 5? Mungkin petugas kebersihan. Tapi kok memakai sepatu perempuan? Ah aku tak mau ambil pusing.

Begitu aku masuk ke bilik 2, bunyi flush air terdengar dari bilik 5. Saat itu, aku lega karena itu beneran orang dong. Aku pun bisa buang air kecil dengan tenang. Namun, bunyi flush air itu tak kunjung hilang. Seperti yang kalian tahu, flush air tak bunyi selama itu bukan?

Bahkan saat aku selesai, bunyi flush air masih terdengar deras. Anehnya, bunyi sandal jepit pun tak terdengar karena jika “yang memakai toilet” berjalan pasti terdengar nyaring, apalagi suasana sedang sepi.

Saat itu aku tak berpikir negatif. Mungkin flush airnya rusak. Lalu aku beralih ke cermin untuk membenahi penampilanku. Ya, sebenarnya sekalian menunggu orang itu keluar.

Hanya saja, orang tersebut tak kunjung keluar. Bunyi sandal pun masih tak terdengar. Tiba-tiba, entah kenapa, seluruh tubuhku merinding karena hawa yang tiba-tiba menjadi dingin. Karena perasaanku mulai tak enak, aku memutuskan untuk keluar dari bilik 2.

Begitu keluar, pintu bilik 5 yang suka macet itu sudah terbuka dan bunyi flush air tak kunjung hilang. Entah kenapa aku masih sempat melongok ke bilik 5. Dari sudut pintu, aku melihat kaki perempuan. Sebenarnya aku juga bingung kenapa mengira itu kaki perempuan. Tapi pikiran itu terlintas begitu saja.

Kaki perempuan itu tidak mengenakan sandal. Mungkin ada sedikit lumpur di kakinya dan air dari keran membuat lantai bilik 5 itu agak banjir. Anehnya, di bagian lutut terlihat luka. Aku tak berani melihat lagi.

Aku yang takut nggak mau lagi mengintip ke bilik 5. Aku memutuskan keluar toilet sekolah untuk kelas 1 itu sambil membawa sepatuku agar aku bisa memakainya di kelas saja.

Jadi, ketika berjalan di sepanjang lorong menuju deretan kelas 2, suara decit sandal jepit terdengar nyaring. Aku berjalan cepat, mungkin agak berlari sambil melihat ke bawah. Aku takut.

Sepanjang sisa jam pelajaran sampai waktunya pulang, keringat dingin beberapa kali terasa di punggung. Kaki perempuan itu masih terbayang. Kok perempuan ya, batinku, kan semua petugas kebersihan di sekolahku itu laki-laki. Itu tadi siapa. Aku tak mau mengingatnya.

Dua hari kemudian, selepas ekskul basket, Nana menghampir aku. Nana ini teman beda kelas dan bukan nama sebenarnya.

“Ada apa?” Tanyaku ketika melihat wajahnya pucat.

Nana menggeleng, lalu menjawab, “Nggak, nanti malam aja kutelpon ya.”

Setelah bilang gitu, Nana segera berlari keluar gerbang sekolah dan menghampiri orang yang menjemputnya. Belum pula aku sempat menjawab.

Sekitar pukul 8 malam, Nana menelepon.

“Jadi kenapa?”

“Tadi, di sekolah, aku sama temanku lihat hantu.”

Aku langsung otomatis tegang. Aku memang penasaran, tapi aku juga penakut. Apalagi, saat ini aku di kamar sendirian dan teringat kaki perempuan di toilet sekolah bilik 5.

“Hah? Jangan ngaco, lah!”

“Beneran, di toilet kelas 1! Aku nggak mau ke toilet situ lagi pokoknya!”

Benar kan… batinku.

“Memangnya lihat apa sih?” Tanyaku lagi.

“Jadi, aku dan temanku habis pembinaan. Setelah selesai, kami ke toilet. Sampai di toilet, kami langsung ke cermin, berkaca, kau tau, lah.”

Nana terdiam sesaat. “Jadi, pas aku mau balik badan ke arah biliknya barengan sama temanku, kayak bener-bener baru nolehin kepala, di ujung, tempat naruh alat pel dekat bilik 5, ada cewek duduk menyandar ke dinding. Tapi dia sambil nunduk. Nggak pakai sandal. Kayak orang pingsan.”

Aku diam mendengarkan.

“Kami kira orang pingsan,” lanjut Nana, “tapi kami keburu kaget dan otomatis hadap cermin lagi. Aku tanya temanku, dia bilang dia lihat.”

“Mungkin murid kelas lain itu,” kataku pelan, mencoba mengalihkan pikiran negatif.

“Awalnya kami kira begitu karena kami sama-sama lihat. Tapi setelah aku noleh sekali lagi… udah ngga ada.”

Kami sama-sama terdiam.

Nana melanjutkan, “Yang kami lihat itu cuma tinggal sepatu warna biru muda. Kelihatannya kotor kena tanah.”

Kembali kami terdiam….

“Kok diam? Nggak percaya?” Nana terdengar agak kesal.

“Nggak gitu…,” belum selesai aku ngomong, Nana sudah memotong, “Ya sudah, nih aku kirim gambar. Itu temanku yang menggambar. Itu ceweknya seperti itu. Coba kamu lihat.”

Aku mengintip ke WhatsApp dan melihat gambar yang dikirim Nana. Punggungku kembali terasa dingin.

Setelah itu aku menceritakan pengalamanku ketika buang air kecil di toilet sekolah kelas 1. Aku juga menceritakan melihat sepatu perempuan berwarna biru muda di depan toilet. Setelah itu kami sama-sama terdiam dan mengakhiri obrolan dengan saling menenangkan.

Kini, setelah lulus dan sudah masuk SMA, bayangan kaki perempuan itu kembali datang dan aku tuliskan di sini. Dari orang tuaku aku dengar kalau gedung SMP itu hendak direnovasi. Namun, prosesnya nggak cuma terhambat pandemi corona, tapi juga gangguan-gangguan aneh.

Salah satunya munculnya sepatu perempuan berwarna biru muda di banyak tempat. Setelah itu, penampakan perempuan tanpa alas kaki mengenakan atas berawarna biru tua dan rok berwarna abu-abu. Katanya, dulu SMP tempat aku sekolah ada petugas kebersihan perempuan, tapi tidak lagi.

Kisah yang tak selesai dan bikin punggung terasa dingin ketika mengingatnya lagi….

BACA JUGA Rumah Tua yang Dihantui Ratusan Makhluk Halus, Penampakan Perempuan Berbaju Putih, dan Kursi Roda Pengabdi Setan dan kisah meresahkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version