Pengalaman Anak Indigo Jualan Pusaka Keramat dan Jadi Dukun

MOJOK.CO Sebagai anak indigo, tentu susah bagi Bambang untuk memiliki hidup normal. Jika ia mencoba cuek pada pusaka yang ditemuinya, badannya langsung panas-dingin!

Namanya Bambang, usianya masih 23 tahun. Masih muda memang, tapi pengalamannya sudah banyak, khususnya yang berhubungan dengan dunia gaib. Soalnya, suka atau tidak suka, Bambang terlahir sebagai anak indigo.

Sebagaimana yang kita ketahui, anak indigo punya keistimewaannya tersendiri. Dalam kasus Bambang, ia tak bisa hangout dengan tenang dengan teman-temannya setiap hari. Pasalnya, setiap kali ia berjalan-jalan, tak jarang ia merasakan sesuatu—seperti radar—tumbuh di dalam tubuhnya. Secara misterius, dirinya langsung mengerti bahwa, di jarak sekian kilometer dari tempatnya berdiri, ada sebuah pusaka dan benda keramat yang menunggu untuk diambilnya.

Pusaka yang dimaksud Bambang bermacam-macam, kadang berupa keris, tak jarang pula berupa batu merah delima. Entah bagaimana dan kenapa, Bambang dan pusaka adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika Bambang mencoba cuek dan tidak datang menghampiri serta “mengamankan” pusaka yang ditemuinya lewat radar ke-indigo-annya, badannya langsung panas-dingin dan tak nyaman.

Dengan keadaan seperti itu, tentu susah bagi Bambang untuk memiliki hidup normal. Bayangkan saja kalau ia sedang asyik jalan dengan kekasihnya atau teman-teman satu gengnya. Kan nggak seru kalau tiba-tiba Bambang bilang, “Bentar, ya, Sayang, aku harus ke bawah pohon beringin di gang itu soalnya mau nggali tanah dan ambil keris di dalamnya.” Hadeh!

Lantas, dibawa ke manakah pusaka-pusaka yang Bambang temukan?

Sebagai anak milenial, Bambang memadukan koleksi pusaka-pusaka gaib yang ditemuinya tadi dengan kecanggihan teknologi untuk…

…berjualan online!!!

Ya, benar. Bambang memutuskan untuk menjual semua pusaka yang ia temui: keris pusaka, rantai babi. bambu pethok, batu delima, dan lain sebagainya. Seluruhnya ia jual di bawah harga rata-rata, menjadikan barang dagangannya menjadi incaran pembeli ekonomis.

Meski harganya murah, nyatanya Bambang bisa mengumpulkan uang cukup banyak dari pekerjaan anehnya ini. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit—begitulah yang terjadi pada Bambang si anak indigo. Lama kelamaan, hal ini tak lagi dirasa mengganggu karena ia justru bisa mendapatkan uang sendiri lewat pusaka-pusaka tadi.

Tapi ada satu masalah: Bambang belum lulus-lulus dari kampus! Skripsinya terbengkalai sekian lama karena ia keasyikan keliling kota mencari pusaka dan menentukan marketplace mana yang akan ia gunakan. Beberapa pembeli meminta COD, sehingga waktunya cukup banyak tersita sebagai juragan pusaka. Skripsi jelas tidak masuk ke daftar prioritasnya!

Kabar ini sampai juga ke telinga bapak Bambang. Sekonyong-konyong, bapak Bambang langsung menyusul Bambang di kota perantauannya dan menuntutnya menyelesaikan skripsi. Bambang memang belum pernah bercerita alasan kenapa ia terlambat lulus, pun demikian dengan keadaan indigonya. Tapi, saat ia akan membuka mulut untuk berargumen, bapaknya berkata,

“Sudahlah, Bapak tutup saja mata batinmu biar ndak aneh-aneh lagi.”

Loh, loh, loh, ternyata bapaknya Bambang malah lebih sakti daripada Bambang!!!

Sejak itu, kehidupan Bambang berubah 180 derajat. Ia tidak lagi bisa mendeteksi keris yang tersembunyi, atau batu-batu tua yang bertuah. Hidupnya cuma dipenuhi Bab 1 sampai 5 di skripsinya, lengkap dengan coretan revisi dari dosen. Uang sisa-sisa penjualan pusaka kini sudah habis untuk bayar fotokopi dan ngejilid skripsi.

Singkat cerita, Bambang berhasil lulus. Kado terindah dari bapaknya yang tak dilupakan Bambang pun hadir: ucapan selamat dan…

…ke-indigo-annya kembali!!!

Apakah Bambang kembali berjualan skripsi, eh berjualan pusaka setelah menyelesaikan skripsi? Ternyata tidak demikian, Saudara-saudara.

Dengan kemampuannya sebagai anak indigo, karier Bambang kini sudah naik tingkat lebih tinggi: menjadi dukun yang bergelar sarjana. Sungguh, strategi ini nyatanya mampu meningkatkan kepercayaan klien perdukunan yang butuh bukti dari sisi akademik.

Bravo, Bambang! Kami tunggu cerita gaibnya! (A/K)

Exit mobile version