MOJOK.CO – Penampakan yang saya alami di dalam gereja membuat saya menangis. Dan di dalam penampakan itu, ada Elisabeth, noni Belanda yang dirundung kesedihan.
Pengalaman ini terjadi ketika saya masih aktif mengikuti perkumpulan pemuda gereja di Kota Yogyakarta. Gereja tempat kami beraktivitas dekat dengan salah satu bangunan cagar budaya. Dekat stadsklok (tugu jam) yang dulu jadi tempat favorit untuk mangkal sopir becak dan andong.
Ada banyak bangunan Belanda di sekitar gereja. Jadi, rumor penampakan arwah orang landha sudah sering kami dengar. Salah satu yang sering menampakkan diri adalah noni Belanda yang belakangan saya tahu namanya: Elisabeth.
Sebelum saya, satu-satunya yang bertampang bule “kena giliran”, teman saya ditampaki noni Belanda itu. Suatu saat, teman saya mendapat tugas mendekorasi gereja. Dia, bersama beberapa teman, bekerja sampai larut malam.
Gereja sudah sepi ketika pekerjaan mendekorasi selesai. Teman-teman yang juga mendekor gereja sudah pulang satu per satu. Teman saya, yang terakhir hendak keluar dari gereja, melihat noni Belanda itu di balkon. Bagian belakang gereja kami ini memang ada semacam balkon, lantai dua, yang bisa dipakai misa jika bangku-bangku di bawah sudah penuh.
Teman saya diam terpaku beberapa detik ketika melihat noni Belanda berdiri di balkon. Dia mengenakan pakaian renda-renda dan berdiri tegak. Rumor yang sering kami dengar akhirnya terbukti.
Pengalaman teman saya jadi perbincangan hangat. Ada yang percaya, ada yang tidak. Saya sendiri, entah kenapa, merasa kalau cerita teman saya itu benar. Perasaan itu sangat kuat. Tapi, kok ada semacam keragu-raguan di dalam hati. Saya memilih untuk diam dan mencoba tidak memikirkannya.
Hingga suatu saat, keragu-raguan di dalam hati saya dihapus oleh penampakan noni Belanda bernama Elisabeth….
Kejadiannya belum terlalu malam. Saya ingat betul. Waktu mau pulang, saya lupa kalau tas saya tertinggal di dalam gereja. Pikiran soal noni Belanda sudah hilang. Jadi, saya masuk ke gereja dengan santai. Lagian, ini gereja, masak ya ada setan yang mau mengganggu.
Ketika saya masuk sendirian, teman-teman saya menunggu di belakang gereja. Saya berjalan santai ke arah altar, di mana tas saya berada. Ketika membungkuk untuk memungut tas, di sudut mata saya, terlihat sosok yang tinggi menjulang. Dia berdiri di dekat pilar. Mengamati saya dari jarak beberapa meter.
Entah kenapa, saya tidak merasakan takut ketika noni Belanda itu bergerak mendekat. Saya malah memperhatikan pakaian dan raut wajahnya secara detail. Elisabeth mengenakan pakaian renda-renda, seperti cerita teman saya, seperti gaya zaman victorian. Saya tidak bisa memastikan warna pakaiannya, kombinasi putih dan sedikit biru. Dia cantik sekali.
Rambut Elisabeth berwarna brunette dan cocok sekali dengan gaun yang tengah dia kenakan. Dia tinggi sekali. Saya tidak tahu pastinya. Namun, malam itu, entah kenapa saya malah teringat Taylor Swift ketika agak lama mengamati wajahnya. Sekali lagi, tidak ada rasa takut. Saya malah heran sendiri. Gimana, ya, menjelaskannya. Seperti tidak ada rasa permusuhan atau niat menakut-nakuti dari Elisabeth.
Setelah saling pandang beberapa menit, saya berjalan ke belakang pelan-pelan. Saya berjalan agak pelan menuju pintu keluar. Dia masih diam saja. Malam itu berakhir tanpa drama. Saya tidak menceritakan pengalaman ini kepada teman-teman yang menunggu. Sekali lagi, saya malah heran sendiri malam itu.
Minggu berikutnya, selepas misa, Mba Landha itu kembali menampakkan diri. Dia berdiri di sudut pilar, dekat panitia biasa memasang kamera untuk siaran langsung misa. Malam itu, saya pura-pura tidak melihatnya. Saya melanjutkan ngobrol bersama teman-teman di dekat altar.
Dua minggu berikutnya mulai agak menyebalkan. Setiap selesai ibadah, dia selalu muncul. Celakanya, kemunculannya semakin dekat dengan tempat saya duduk. Saya masih tidak merasa takut, cuma agak aneh saja. Mungkin karena saya cuek selama beberapa minggu, noni Belanda itu jadi agak jahil.
Iki aku wis kaya kancane wae jal….
Pembaca perlu tahu bahwa di tengah prosesi misa, jemaat biasanya akan saling bersalaman. Namanya prosesi Salam Damai. Kita menyalami jemaat yang berada di samping, depan, dan belakang. Nah, belum sempat bersalaman dengan teman-teman saya, eh saya merasa Elisabeth mendekati saya dari arah belakang.
Saya tiba-tiba mendengar suara perempuan berbicara di belakang saya. Lha kok, suaranya mirip sekali dengan suara Mbah Putri saya yang ada di Austria. Tapi kok, bahasane aku ra mudeng.
Setelah saya dengarkan baik-baik, ternyata noni Belanda ini ngomongnya pakai bahasa Belanda. Ya iyalah!
Maksudnya, saya tidak paham bahasa Belanda. Mba, nek menawa njenengan ngomonge Jerman aku isih dong. Nek Landha blasss aku yo ra dong opo-opo to. Wis beda server kuwi, Mba!
Tolong ya, lantaran muka saya bule, bukan lantas saya ngeti bahasa Landha. Dikirani saya berasal dari tempat yang sama dengannya. Iki Mba Elisabeth kemakan stereotip-stereotip zaman biyen deh. Dikiranya semua bule bisa berbicara bahasa Landha. Eh, kok dadi ngene sih tulisane….
Pokoknya saya diam saja dan nggak mau mendengarkan omongan noni Belanda itu. Ya maaf, saya nggak paham. Anehnya, kalau saya cuekin, dia akan langsung hilang. Kali ini tidak. Dia terus mengikuti saya dari belakang. Bahkan sampai saat saya sudah mau jalan pulang.
Saya mulai panik. Eh, jebule tetep ra gelem lungo. Meh melu ro aku? Bajilak. Nek, ngene kan aku yo wedi.
Saya langsung berpamitan dengan teman-teman saya untuk langsung cus pulang dengan harapan dia berhenti mengikuti saya. Asem! Jebule aku tetep ditutke tekan bali! Sampai Sewon! Duh, rumahku jauh, lho Mba.
Waktu itu saya berpikir kalau noni Belanda ini mulai marah. Apalagi setelah dia menunjukkan wajahnya yang menyeramkan.
Saya kaget, wong biasane bentukanne ayu, tiba-tiba jadi seseram Suzana kalau lagi ngamuk. Wajahnya berubah pucat. Urat-uratnya terlihat di balik mukanya. Jadi mirip Voldemort. Hash, medeni tenan nek kelingan! Gara-gara diikuti sampai rumah, malam harinya, saya harus Doa Rosario sambil terkantuk-kantuk.
Mungkin karena doa saya kurang khusyuk, malamnya saya tindihan. Udah gitu, ketika tindihan, saya melihat rupa seram Mba Elisabeth. Akhirnya, saya berani bilang:
“Wong biasane rupamu ayu ngerti-ngerti dadi medeni. Wis to meh turu aku. Ojo ganggu aku. Kowe balio kono.”
Setelah terbangun, saya niatkan diri untuk berdoa lagi. Kali ini lebih khusyuk dan saya mendoakan Mba Elisabeth. Syukurlah, setelah selesai berdoa dan membuka mata, dia sudah pergi.
Beberapa minggu berlalu setelah kejadian itu, terkadang saya masih melihat Mba Elisabeth di balkon gereja. Namun, dia tak pernah lagi mendekati saya.
Suatu saat ketika ibadah, saya duduk di paling depan gara-gara terlambat datang ke gereja. Anehnya, Mba Elisabeth tiba-tiba muncul dan duduk di sebelah kursi saya yang kosong. Setelah sekian lama, dia mendekati saya lagi. Mungkin kangen.
Dugaan saya salah. Sore itu, saya seperti mengalami flashback. Saya tidak tahu istilahnya. Cuma, tiba-tiba, saya merasa tidak lagi di dalam gereja. Seakan-akan, saya dibawa ke masa ketika gereja ini berdiri. Seperti potongan-potongan gambar muncul cepat sekali tapi saya bisa mengikutinya. Saya melihat Mba Elisabeth di potongan-potongan gambar itu.
Saya menyimpulkan bahwa dulu, Mba Elisabeth memang rajin beribadah di gereja ini. Dia mengenakan pakaian renda-renda, seperti yang dia tampakkan selama ini. Dia terlihat cukup akrab dengan para pendeta. Dan kamu tahu, tempat duduk favoritnya adalah tempat duduk yang tengah saya pakai ini.
Potongan gambar itu berubah dengan cepat. Kali ini, saya diperlihatkan sebuah ruangan, seperti gudang, berisi banyak kayu dan beberapa bangku.
Saya melihat sesosok noni Belanda naik ke salah satu bangku itu dan mengaitkan tali tambang ke lehernya. Dia gantung diri di hadapan kedua anaknya yang masih kecil. Anaknya menangis sambil menarik-narik gaun Ibunya.
“Mama… Mama….”
Saya jadi sangat sedih melihat ekspresi kedua anak itu. Tanpa sadar, saya menangis. Setelah itu, kesadaran saya kembali. Noni Belanda itu lalu memberi tahu namanya. Elisabeth, begitu katanya. Begitulah awalnya saya tahu namanya.
Setelah itu, kami tidak lagi pernah berkomunikasi. Saat itu juga, masih di tengah ibadah misa, muncul sebuah dorongan kuat yang membuat saya sangat ingin berdoa. Saya berdoa agak panjang dan tentu saja saya mendoakan keselamatan Mba Elisabeth.
Setelah kejadian itu, saya masih beberapa kali mendoakan Mba Elisabeth. Ya tidak lain karena saya nggak mau diikuti lagi sampai rumah. Selain itu, kalau tidak salah, pelaku bunuh diri perlu didoakan oleh banyak orang untuk bisa melewati api penyucian.
Saya sempat merasa bersalah. Mungkin noni Belanda yang mukanya kayak Taylor Swift itu dari dulu ngikutin saya karena minta didoakan saja.
Setelah beberapa minggu mendoakan keselamatannya, Mba Elisabeth tidak pernah menampakkan diri lagi. Kadang, sesekali saya memandang ke arah balkon supaya bisa melihat Mba Elisabeth lagi. Namun, dia tidak pernah muncul lagi. Semoga saja dirinya memang sudah benar-benar pergi dengan tenang dan bertemu kembali dengan anak-anaknya. Amin.
BACA JUGA Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2 dan pengalaman unik lainnya di rubrik MALAM JUMAT.