MOJOK.CO – Setelah nunggu sekitar hampir dua jam, akhirnya ada juga durian jatuh. Tapi, waktu dideketin, ternyata itu bukan durian….
Aku menghabiskan masa SMP di sebuah kota kecil di Pulau Bangka. Tidak ada hal yang terlalu spesial dalam kehidupanku saat itu. Kegiatanku sama seperti remaja lain pada umumnya: sedikit bolos, datang ke sekolah lebih pagi untuk mengerjakan PR di kelas sebelum jam pelajaran dimulai, makan gorengan empat ngakunya dua, mulai mencoba berani untuk menyukai lawan jenis, dan hal-hal konyol lainnya.
Di sekolah, aku bukan termasuk murid populer. Tapi, yaaaa, tidak bisa disebut murid kuper juga. Aku punya beberapa teman yang cukup dekat. Kebetulan beberapa orang dari kami memang tinggal di rumah yang saling berdekatan.
Kami sering melakukan berbagai aktivitas bersama-sama, mulai dari menangkap ikan cupang di kali, sampai mencuri mangga milik Pak Lurah. Namun, salah satu kegiatan yang paling kami sukai adalah menunggu durian jatuh.
Kampung kami masih memiliki cukup banyak area hutan. Meskipun tidak terlalu lebat dan tidak terlalu luas, area hutan ini cukup banyak dan tersebar hampir di seluruh penjuru kampung. Datanglah ke rumah salah satu warga dan pergilah ke bagian belakang rumahnya, kamu pasti akan menemui hutan kecil yang dipenuhi pepohonan berbagai jenis dan ukuran.
Waktu itu, musim durian tiba dan pasar-pasar serta area pinggir jalan dipenuhi pedagang durian yang datang dari pelosok. Seisi kota jadi bau durian saking banyaknya durian yang tersedia. Walaupun kami bisa saja membeli durian yang dijual di pasar dengan mudah, kami tetap melakukan kegiatan rutin kami ketika musim durian tiba: menunggu durian jatuh langsung dari pohonnya.
Siang itu kami berkumpul di kantin. Aku memegang plastik es sirup dan memakan pempek, duduk di antara teman-temanku yang sedang merencanakan kegiatan menunggu durian jatuh.
“Nanti malam aja, yuk!” kata Indra.
“Aku nggak bisa. Banyak PR,” jawab Delsi.
“Aku gampang, sih! Ikut aja,” balas Yongki.
“Emang mau nunggu duren jatuh di mana? Tempat biasa?” tanyaku.
“Yo’i!” jawab Indra.
Yang dimaksud dengan “tempat biasa” adalah sepetak hutan kecil di belakang rumah Yongki. Ada sekitar tiga atau empat pohon durian yang sudah besar tumbuh di sana.
“Ya udah, besok malem aja,” usulku.
“Jam berapa? Kayak biasanya? Apa lebih malem lagi?” tanya Rizal yang sedari tadi cuma diam.
“Kayak biasa aja. Nggak enak kalau kemaleman,” jawabku.
“Halah, bilang aja kamu takut!” kata Delsi mengolokku.
“Jam biasa” itu maksudnya sekitar jam sepuluh malam.
“Oke! Malem besok. Kumpul di rumah Yongki jam delapanan, ya!” kata Indra memberi instruksi.
Besok malamnya, mereka berkumpul di rumah Yongki pada jam yang sudah dijanjikan. Sayangnya, aku tidak bisa ikut karena harus ikut orang tua ke luar kota sejak sore hari.
Paginya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Tapi tidak seperti biasanya, teman-temanku sudah berada di kelas dan sedang berkumpul. Wajah mereka terlihat aneh, seperti sedang ada yang mengganggu pikiran mereka.
“Tumben,” sapaku.
Mereka cuma diam dan saling berpandangan dengan tatapan mencurigakan.
“Ceritain nggak, nih?” tanya Delsi.
Tidak ada yang menjawab.
“Ceritain aja,” kata Indra akhirnya.
“Untung kamu nggak ikut nunggu duren jatuh semalem,” kata Delsi membuka pembicaraan.
“Loh, kenapa emang?” tanyaku.
Delsi cuma diam.
“Tadi malem kita ke rumah Yongki seperti yang sudah direncanain sebelumnya,” kata Indra akhirnya. “Jam sepuluh kita semua ke hutan kecil di belakang rumah Yongki. Malem tadi agak beda, nggak kayak malem-malem biasanya. Kesannya lebih sunyi gitu.”
Indra berhenti sebentar. Delsi mulai tampak gelisah.
“Setelah nunggu sekitar hampir dua jam, akhirnya ada juga durian jatuh. Waktu itu kalau nggak salah udah hampir jam dua belas. Ada suara benda jatuh kira-kira delapan meter di depanku. Aku sama Rizal langsung menghampiri sumber suara.
“Di tanah, ada benda seukuran bola voli. Aku suruh Rizal ngambil benda itu. Rizal mendekati benda itu, terus langsung balik badan, lari ke arah rumah Yongki. Aku penasaran.
“Delsi dan Yongki ikut mendekat. Aku deketin benda itu. Kira-kira jarak satu meter, aku arahkan cahaya senter ke arah benda itu. Kami kaget banget. Benda itu ternyata—”
“Kepala orang!” kata Delsi dengan suara bergetar, melanjutkan cerita Indra.
“Aku kayak nggak bisa bernapas waktu itu. Mau lari, tapi kakiku kayak nggak bisa bergerak gitu,” sambung Indra. “Yongki udah lari duluan ke arah rumah. Tanganku ditarik Delsi. Akhirnya aku bisa bergerak dan berlari ke arah rumah Yongki bareng Delsi. Tapi belum sempet lari jauh, Delsi nabrak sesuatu. Aku kira itu pohon. Tapi ternyata—”
“Badan orang! Nggak ada kepalanya! Hantu tanpa kepala!” potong Delsi lagi.
“Berdiri gitu aja, nggak gerak. Kayak patung,” lanjut Indra.
“Delsi jatuh, duduk di atas tanah. Mukanya pucat. Aku langsung narik badan Delsi dan nyeret dia lari ke arah rumah Yongki. Sampai rumah, kita berempat nggak bisa ngomong apa-apa. Celana Yongki basah kena kencing. Rizal pucet banget dan gemeteran.”
Indra diam. Semua diam. Rizal tertawa, mungkin teringat Yongki yang kencing di celana. Tapi suara tawanya aneh, seperti dipaksakan untuk menutupi ketakutannya.
Aku masih berusaha mencerna cerita yang baru saja kudengar. Sepertinya terlalu mustahil untuk dipercaya begitu saja. Tapi melihat wajah teman-temanku, aku tidak berani meragukan cerita mereka. Aku cuma diam lalu duduk di bangkuku.
Sepuluh menit kemudian guru masuk ke kelas kami.