Menuju Kawah Ijen di Tengah Malam, Berpapasan dengan Rombongan Kereta Kuda Gaib dan Hampir Diseret ke Alam Lain

Menuju Kawah Ijen di Tengah Malam, Berpapasan dengan Rombongan Kereta Kuda Gaib dan Hampir Diseret ke Alam Lain MOJOK.CO

Menuju Kawah Ijen di Tengah Malam, Berpapasan dengan Rombongan Kereta Kuda Gaib dan Hampir Diseret ke Alam Lain MOJOK.CO

MOJOK.COSejak awal saya sudah merasa ragu berangkat ke Kawah Ijen di tengah malam. Keraguan yang dijawab oleh penampakan yang tak terlupakan.

Mumpung lagi sama-sama luang, Senin lalu, teman dekat saya, Sohib, mengajak saya untuk backpacker-an ke Banyuwangi. Rencana awal sih sebenarnya mau naik gunung. Tapi setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami memilih buat gas ke Banyuwangi saja. Saya toh sebenarnya juga sudah sejak lama pengin main ke Kota Santet itu.

Banyak cerita lucu dan lumayan seru yang kami dapet selama plesir ke berbagai lokasi wisata di Banyuwangi. Namun, ada satu cerita cukup horor yang saya alami, yaitu saat berpapasan dengan rombongan kereta kuda gaib dalam perjalanan menuju Kawah Ijen. Nggak hanya berpapasan, saya bahkan hampir saja keseret ke alam mereka.

Karena waktu kejadian Sohib sepertinya nggak melihatnya, saya coba tuliskan di sini saja. Biar dia baca dan teman-teman pembaca juga bisa menyimak kejadian mistis yang saya alami tersebut.

Mari kita mulai….

Seperti yang sudah disepakati, kami berencana menuju Kawah Ijen sekitar pukul 01.00 dini hari WIB dari lokasi penginapan. Waktu tempuhnya sekitar satu jam buat sampai di Kawah Ijen. Biar bisa summit pukul 03.00 WIB dan nemu sunset di atas.

Sebelum berangkat, saya sempat nguping obrolan antara Sohib dan salah satu traveler lain yang menginap. Yang saya tangkap dari obrolan keduanya adalah, jalanan yang bakal kami lewati buat sampai ke Kawah Ijen itu sepi, gelap, dan harus ngelewatin bentangan hutan.

“Kalau setan sih, nggak seberapa takut ya, Mas. Yang saya khawatirkan justru kalau ada begal,” sayup-sayup begitu ucapan Sohib yang bisa saya dengar. “Asal ngebut aja nanti,” sambungnya.

Denger Sohib bilang begitu, dalam hati saya cuma bisa membatin, “Ini Banyuwangi, kampret! Seenak udelnya bilang nggak takut sama setan!”

Buat memastikan medan jalanan ke Kawah Ijen kayak gimana, saya akhirnya memutuskan buat nanya-nanya sama mas-mas penjaga rumah singgah. Mendengar penuturannya, bukannya sedikit lega, eh saya malah dibikin makin merinding.

“Tapi jalanannya aman, Mas? “

“Oh aman, Mas, aman. Nanti juga pasti berpapasan sama orang-orang lokal yang melintas, kok.”

“Pernah ada kejadian horor nggak?”

“Horor? Wuuuh sering banget, Mas. Eh, maksudnya ya namanya juga ngelewatin hutan, pastinya ada cerita-cerita menyeramkan kayak gitu. Ditambah lagi, ini alasnya Banyuwangi, Mas, hehehe. Walaupun nggak sengeri Alas Purwo.”

“Contoh yang pernah kejadian, kayak gimana tuh?”

“Halah, santai saja, Mas. Yang penting fokus aja nanti.”

Sehabis obrolan itu, saya sebenarnya pengin berangkat selepas subuh saja. Tapi karena Sohib dan dua teman cewek kami ngajaknya di jam-jam yang sudah kami sepakati sejak awal, saya akhirnya mengalah. Tentu dengan menyimpan kemelut di pikiran. Hla gimana, ngelewatin hutan sepi dan gelap, di Banyuwangi pula. Kalau disasarin, kan, nggak lucu.

Pukul 01.22 dini hari WIB, kami beriringan on the way ke Kawah Ijen. Sohib dan cewek boncengannya berada di depan sebagai navigator, sementara saya dan boncengan cewek saya ngekor di belakangnya.

Sekitar satu setengah jam tancap gas, keadaan masih normal. Belum ada tanda-tanda bakal ada gangguan mistis. Baru setelah mulai agak masuk ke dalam, saya mulai merasakan hawa-hawa mencekam. Tubuh saya mendadak jadi agak panas-panas sumuk.

Padahal, itu dini hari, posisi di tengah-tengah hutan menuju Kawah Ijen, dan bawa motornya ngebut lagi. Harusnya kan dingin, eh ini malah sumuk banget. Hal serupa ternyata juga dirasakan sama boncengan cewek saya, sebut saja Wati. Dan saat itulah firasat saya jadi nggak enak.

Benar saja. Dalam posisi ngebut, kami tiba-tiba dikejutkan dengan arak-arakan kereta kuda dari dalam hutan.

Arak-arakan kuda itu memotong jalan persis setelah Sohib melintas. Saya yang di belakangnya langsung mengerem mendadak, sampai motor kami mobat-mabit hampir jatuh. Untungnya saya masih bisa mengendalikan keseimbangan, jadinya nggak sampai ndelosor di aspal.

Satu, dua, tiga, empat. Ya, ada sekitar empat kereta kuda yang melintas. Masing-masing dengan seorang kusir yang, gimana ya, modelnya kaku banget gitu, wajahnya pucat, dan pandangannya cuma fokus ke depan, nggak noleh-noleh.

Saya waktu itu benar-benar dibuat nggak bisa omong dan nggak bisa gerak. Mata dan pikiran saya dibuat fokus sama arak-arakan kereta kuda itu. Bahkan dalam sepersekian menit itu, saya blank, lupa kalau saya boncengin Wati. Terlebih pas kereta kelima melintas.

Di kereta kelima ini nggak cuma ada kusir, tapi juga satu penumpang yang naudzubillah cantiknya amit-amit. Style-nya kayak penari-penari keraton. Di sinilah titik ngerinya. Karena saya hampir saja terbawa sama tipu daya demit tersebut.

Pasalnya, kereta kelima ini nggak cuma melintas. Tapi, sejauh yang saya ingat waktu kejadian, perempuan yang cantiknya masya Allah itu tersenyum genit sambil melambai-lambaikan tangan, kayak ngajak saya buat ngikutin keretanya.

Dalam dimensi antara sadar dan nggak sadar, saya ngerasain tangan saya siap-saiap tancap gas motor buat nyusulin si demit tadi. Tapi untungnya…

“Mas!, sadar, Mas, sadar!”

Untung banget Wati menggoyang-goyang bahu saya sambil teriak-teriak dan nabok muka saya pakai tas. Jadi, saya langsung geragapan, sadar, dan nggak kebawa sama ilusi dari demit perempuan yang ngawe-awe sebelumnya.

“Wat, kamu ngeliat tadi apa?” Tanya saya dengan perasaan masih agak kaget.

“Ho’oh. Untung kesadaranku nggak teralihkan kayak sampean. Kalu nggak, wah kita bisa keseret entah ke mana tadi.”

Masih dengan perasaan yang berkecamuk dan sekujur badan yang masih sedikit gemetaran, kami akhirnya lanjut gas buat nyusulin Sohib dan boncengan ceweknya.

Selang beberapa meter, ternyata mereka sudah menunggu di tepi jalan, dengan wajah agak khawatir sekaligus mencecar dengan tuduhan yang menjengkelkan.

“Bisa ae cari-cari kesempatan buat yang-yangan,” seloroh Sohib.

“Matamu! Kamu tahu aku baru ngeliat apa barusan?” Sambar saya.

Tapi cerita itu urung saya sampaikan saat itu juga. Toh Sohib kayaknya juga nggak sebegitu menggubris pertanyaan pancingan saya tersebut. Ya sudahlah, biar tulisan ini dia baca sendiri.

BACA JUGA Menggali Peti Harta Karun Toapekong, Bukan Emas Batangan, yang Kami Dapat Malah Potongan Kepala Manusia dan pengalaman horor lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version