Kisah Santet Pak Guru yang Ketahuan Lewat Isi Perut Sapi

MOJOK.CO Orang-orang terkejut pada kisah santet yang jadi nyata ini. Pak Kiai melantunkan doa sambil meminta Bu Rohman melepas jeratan tali rafia itu.

Pelajaran Matematika kami kosong lagi. Pak Rohman, guru kami yang sudah sepuh, tak lagi datang untuk yang kesekian kali ke sekolah. Kami hanya diberi tugas mengerjakan soal-soal LKS halaman 25 sampai 27.

Pak Rohman adalah guru yang sangat baik. Dia sering membuat tertawa lewat jokes-nya yang kadang garing, tapi tetap epic. Karena perasaan rindu dan khawatir, kami—aku, Dio, dan Roni—memutuskan untuk datang menjenguk ke rumahnya selepas sekolah nanti. Teman-teman yang lain menitipkan doa dan salam yang kami janjikan untuk disampaikan.

Rumah Pak Rohman agak jauh dari sekolah—perlu waktu hampir setengah jam untuk sampai di sana.

Singkat cerita, sampailah kami di rumah Pak Rohman. Istrinya menyambut kami dengan ramah, lantas mengantarkan kami bertemu guru yang kami rindukan.

Betapa sedih rasanya melihat Pak Rohman sore itu: badannya kurus, terbujur di atas kasur, sementara seluruhnya telah lumpuh. Ia hanya mampu menggerakkan lidahnya sebagai tanda ia mengenali kami.

“Bapak sudah sakit sejak lama, mungkin 10 tahun,” kata istri Pak Rohman saat kami sudah duduk di ruang tamu dan membiarkan Pak Rohman tidur sebentar.

“Sudah ke dokter,” lanjutnya lagi, “tapi anehnya tidak ada diagnosa yang mengkhawatirkan. Kami berhenti ke dokter, akhirnya. Tapi belakangan, Bapak malah tambah parah.”

Saat sedang bercerita, sebuah rombongan datang: bapak-bapak berpakaian rapi, putih-putih, dan peci. “Kiai-kiai, guru Bapak,” kata Bu Rohman, saat melihat dahiku berkerut keheranan.

Rombongan kiai ini agaknya sudah cukup akrab dengan keluarga Pak Rohman. Sebentar saja berbasa-basi, mereka kini sudah masuk ke dalam kamar dan mendoakan Pak Rohman yang tampak menyedihkan. Namun, dengan agak pucat pasi, salah seorang dari mereka berkata,

“Bu, Bapak sepertinya kena kiriman santet.”

Pernyataan singkat sang kiai mengejutkan kami. Selanjutnya, kami turut mendengarkan penjelasan Pak Kiai pada istri Pak Rohman yang tampak syok. Aku sendiri juga terkejut karena tak pernah mendengar kisah santet sebelumnya.

“Seseorang mungkin merasa kesal dan tersaingi oleh Bapak. Apa Bapak punya musuh, Bu?” tanya kiai pada istri Pak Rohman yang masih kaget.

“Ti-tidak,” jawabnya, “tapi kami baru saja mulai membuka toko kelontong tiga bulan lalu di area yang cukup banyak pesaingnya, sih…”.

Pak Kiai berdeham. Lalu katanya, “Saran saya, besok ibu segera menyembelih sapi agar santetnya terlepas. Tapi syaratnya harus dipenuhi.”

“Apa itu, Pak?” tanyaku akhirnya, turut merasa penasaran dan ingin tahu.

“Isi perut sapi tadi harus diurai langsung oleh Bu Rohman.”

Pertemuan sore itu berakhir. Aku, Dio, dan Roni berjanji akan datang esok hari, membantu Bu Rohman menyiapkan keperluan menyembelih sapi. Adapun sapi yang bakal disembelih itu didatangkan dengan bantuan Pak Kiai tadi. Katanya, seorang kawannya mempunyai sapi yang sudah siap dipotong.

Datang juga hari yang ditunggu-tunggu. Beberapa orang menyembelih sapi sambil melantunkan doa dan takbir bersama. Aku duduk bersama istri Pak Rohman yang kini sudah siap dengan pisau tajam untuk mengurai perut si sapi.

Tibalah waktunya. Bu Rohman langsung menyayat kulit sapi, membuat isi perut binatang ini tampak ke mana-mana. Satu per satu organ ia lepaskan, uraikan, hingga hal aneh terjadi.

Dari dalam perut sapi, Bu Rohman menarik lepas benda berbentuk manusia—seperti boneka—yang terbuat dari tali rafia. Sisa tali rafia yang menguntai tampak melilit bagian leher boneka tadi hingga berkali-kali.

Orang-orang ramai dan terkejut pada kisah santet yang jadi nyata ini. Pak Kiai kembali melantunkan doa sambil meminta Bu Rohman untuk melepas jeratan tali rafia itu sampai habis. Selang beberapa lama, semua proses itu selesai.

“Tadi itu santetnya. Bapak sudah bebas sekarang. Bonekanya harus kita buang. Biar saya saja yang tangani,” kata Pak Kiai.

Sebelum pergi, ia bertanya, “Bu, perlukah saya memberi tahu siapa yang mengirimkan santet pada Bapak?”

Bu Rohman menggeleng cepat, “Tidak usah, Pak. Kami tidak butuh tahu itu. Bapak sudah sehat saja sudah cukup bagi kami.”

Apakah Pak Rohman langsung segar bugar malam itu? Tidak. Nyatanya, santet yang dikirimkan padanya telah bercokol bertahun-tahun, sampai menghabiskan daya tahan tubuhnya sendiri. Keadaan fisik Pak Rohman memang mengalami sedikit kemajuan (lidahnya mulai bisa bergerak lebih lancar), tapi secara keseluruhan ia telah jatuh terlalu dalam.

Beberapa minggu kemudian kabar duka itu datang. Pak Rohman telah kembali ke pangkuan Illahi, sementara seluruh kerabatnya datang dan mendoakan yang tebaik baginya di alam baka.

Saat datang ke pemakamannya, aku bertanya-tanya sendiri: apa yang dirasakan oleh pengirim santet ke Pak Rohman saat ini, ya? Apakah dia senang dan sekarang hanya pura-pura turut prihatin?

Duh, bagiku, itu mengerikan sekali. Dan jahat. (A/K)

Exit mobile version