Delapan Tahun Tinggal di Rumah Hantu

KONTRAKAAN ANGKER MOJOK

KONTRAKAAN ANGKER MOJOK

Kisah ini adalah artikel perpisahan rubrik Malam Jumat yang mulai pekan depan tak akan muncul lagi. Adiós!

Setiap kota memiliki sejarah masing-masing. Setiap kampung memiliki cerita masing-masing. Setiap rumah memiliki kisah tersendiri. Dan kisah berikut ini adalah kisah hantu yang terjadi di sudut utara Yogyakarta.

Saya tinggal di sebuah kampung yang konon dulu lumbung bekas korban PKI. Cerita itu benar atau tidak, yang jelas banyak tetangga memercayai kisah tersebut.

Dulu orang tua saya ngontrak di sebuah rumah petak sederhana. Saking sederhananya, harganya pun sederhana. Pemilik rumah mengatakan, dari seluruh rumah yang dikontrakkan, rumah ini adalah yang termurah.

Karena saat itu orang tua tak ingin mencari-cari lagi, rumah ini kemudian menjadi rumah kontrakan pertama, ditempati selama 8 tahun mulai dari 1991 sampai 1999.

Sekilas tak ada yang aneh. Namun, kalau dilihat dari luar, rumah ini memang singup. Seperti ada “makhluk asing” yang menempatinya. Awalnya saya tak yakin, begitu pula orang tua saya. Tapi, saat itu sang pemilik kontrakan memberikan kabar yang mengejutkan.

“Bapak ini orang pertama yang mau ngontrak di sini. Sebelumnya tak ada yang mau karena katanya angker. Makanya saya kasih harga paling murah.”

Bapak saya tak peduli. Toh, asal dia tak mengganggu kita, segalanya biasa saja.

Kenyataannya lain. Perkataan pemilik kontrakan bukan isapan jempol belaka.

Pada minggu-minggu awal tak ada sesuatu yang terjadi. Baik siang maupun malam hari. Namun, semua berubah ketika memasuki bulan ketiga. Bulan yang kami sebut bulan perkenalan.

Setiap Magrib, saat bapak hendak pergi ke masjid dengan motor, selalu ada keanehan terjadi pada motor. Motor sudah posisi on, tinggal distarter tangan. Gagal. Bahkan hingga percobaan ketiga. Begitu pula saat mencoba starter kaki. Gagal hingga percobaan ketiga pula.

Akhirnya motor kembali dalam posisi off. Kemudian dinyalakan kembali dengan starter tangan. Ajaibnya kali ini berhasil. Bapak hanya bingung. Dan peristiwa ini berlanjut dari bulan keempat hingga keenam.

Jika Bapak diisengi saat Magrib, gangguan yang sebenarnya akan terjadi selepas Magrib. Kadang ada ketukan tak jelas di langit-langit, tapi gangguan lain lebih banyak terjadi di area pagar. Kejadian paling mencengangkan terjadi saat menjelang tidur.

Saya adalah orang terakhir yang tidur. Maklum, saat itu musim film Baywatch atau MacGyver. Jadi sayang untuk dilewatkan. Menjelang film selesai, ada ketukan di pintu sebanyak tiga kali. Awalnya saya hiraukan. Kembali diketuk tiga kali. Saya anggap angin lalu. Bukannya berhenti, malah menambah ketukan hingga menjadi lima kali. Karena kesal, saya membuka pintu tersebut dengan paksa.

Dan kamu tahu apa yang saya lihat?

Sesosok perempuan dengan sepasang gigi terjulur hingga menyentuh kaki. Belum lagi lidah yang berwarna kecokelatan hingga menimbulkan bau amis. Dan yang paling mengerikan adalah matanya. Kamu tahu Mad Eye dalam film Harry Potter? Ya begitulah bentuknya.

Saya menangis sejadi-jadinya. Bapak dan ibu saya yang mungkin sedang memadu kasih terbangun seketika. Bapak lari ke depan melihat saya menangis kemudian memeluk saya. Menenangkan. Saat Bapak mengecek ke luar, tak ada apa-apa. Hanya angin yang berembus dari selatan menuju utara.

Setelah peristiwa itu, saya lebih suka tidur awal. Melewatkan dua film tersebut. Apa boleh buat, daripada saya bertemu “dia” lagi. Saya pun enggan mengingatnya walaupun wajahnya hingga kini masih membekas di pikiran saya.

Esoknya, giliran Bapak yang mengalami kejadian serupa. Bapak melihat Ibu sedang duduk santai di ruang tamu dengan mengenakan gaun merah. Saat dipanggil, Ibu bukannya menoleh tapi lebih memilih keluar rumah. Lantas, Bapak pun mengikuti langkah Ibu. Saat menuju halaman, terdengar suara Ibu memanggil Bapak dari dapur.

Karena terkejut, Bapak menoleh ke belakang dan menjawab panggilan Ibu. Namun, sepersekian detik Bapak berpikir. Kalau dari belakang suara Ibu, maka di depan Bapak itu siapa? Saat kembali menoleh ke depan, dia sudah tak ada. Hilang. Lenyap tak berbekas. Bapak hanya terdiam dan berdoa.

Peristiwa tersebut berulang hingga beberapa tahun selanjutnya. Sampai-sampai kami terbiasa dengan tingkah laku dia. Suka muncul dan menghilang tiba-tiba.

Namun, kali ini lain. Ibu mengalami peristiwa tidak biasanya. Saat menjelang tidur, Ibu memperhatikan ruang tamu. Ternyata ada dia. Lampu dimatikan. Ia duduk sembari menundukkan kepala dengan rambut terjuntai hingga menjalar ke mana-mana. Lampu dinyalakan, ia menghilang. Lampu dimatikan kembali. Kali ini ia berdiri di pojokan sembari kepalanya menghadap tembok.

Tapi dari sekian malam, hanya malam Jumat legi yang paling menakutkan. Bapak pulang dari latihan karate saat Magrib. Dulu, saat Magrib daerah Perumahan Banteng Baru adalah daerah menakutkan. Tak ada yang berani keluar selepas Magrib. Beda dengan sekarang. Pembangunan berjalan pesat. Convenient store macam Indomaret atau Alfamart menjamah perumahan tersebut. Belum lagi kafe dan lainnya.

Tak ada yang aneh saat memasuki gerbang perumahan. Namun, sesampainya di lapangan sepak bola (sekarang berubah menjadi Indomaret), ada yang menggelendoti Bapak. Saat melihat spion, tak ada wajah. Namun, saat sekelebat wajah Bapak menoleh ke belakang, ada peti yang terangkut. Peti kosong. Entah maksudnya apa.

Sesampainya di rumah Bapak menceritakan peristiwa tersebut kepada kami. Kami hanya bisa berdoa. Namun, tiba-tiba ada suara wanita menangis di halaman. Saya dan ketiga adik serta Ibu hanya duduk di ruang keluarga sembari berdoa. Saat Bapak menuju halaman, suara tersebut pindah ke kamar mandi. Dikejar lagi, suara pindah ke kamar tamu. Dikejar kembali, kali ini suara tersebut pindah ke dapur.

Bapak berjalan pelan menuju dapur. Sesampainya di sana, suara tersebut menghilang. Sekitar lima menit kemudian, suara tersebut muncul di halaman belakang. Lebih tepatnya berada di pohon nangka. Dengan berbekal tasbih dan Al-Quran, Bapak mengajak Ibu bergegas ke pohon nangka. Sedangkan saya ditugaskan menjaga adik saya.

Kata Bapak, bentuknya lebih hancur dari apa yang saya lihat. Darah bersimbah di mana-mana. Dan posisinya yang cukup mengerikan. Ia tampak tergantung seperti orang bunuh diri. Saya tak tahu mengapa dia sampai gantung diri. Yang jelas kata Bapak, ia minta didoakan supaya arwahnya tenang. Bapak pun memanggil saya. Kami bertiga, saya, Bapak, dan Ibu berdoa agar ia tak mengganggu lagi dan arwahnya bisa tenang di sisi-Nya.

Selepas peristiwa yang mencengangkan tersebut suasana rumah normal kembali. Tak ada peristiwa yang menakutkan ataupun mengejutkan. Dan peristiwa tersebut berjalan normal hingga kami pindah rumah di daerah Monjali.

Kami pun hidup normal dan lebih menikmati hidup. Namun, beberapa hari setelah kami pindah, penghuni kontrakan lama yang menggantikan kami datang ke rumah dengan wajah pucat pasi.

“Ada apa, Pak, kok seperti ketakutan?” Bapak coba bertanya.

“Emmm, dulu Bapak sekeluarga pernah mengalami sesuatu yang aneh nggak?”

“Nggak tuh, memang kenapa, Pak?” Bapak mencoba berbohong

“Kemarin saat malam, saya tidur di kamar tidur. Lha kok waktu saya bangun, saya sudah berada di halaman belakang ….”

“Wah, saya nggak pernah mengalami kayak gitu, Pak. Serius.”

Sejak saat itu, kabarnya setiap 4—5 bulan, pemilik rumah selalu berganti. Kadang kalau ada pemilik yang menempati sudah menjelang setahun, rumah tersebut direnovasi agar nyaman. Tapi, baru mau diselesaikan, sang pemilik justru pindah. Aneh. Hingga kini renovasi terus berjalan. Saya tak tahu siapa yang menempati sekarang. Yang jelas, saat ini ada julukan untuk rumah tersebut. Kandang Bubrah.

Exit mobile version