Aura Mencekam di Air Terjun: Seri Horor di Rumah Simbah (Bagian 3)

Aura Mencekam di Air Terjun Sakral MOJOK.CO

Aura Mencekam di Air Terjun Sakral MOJOK.CO

MOJOK.COSaya, Maharani, dan Uncle Jack tetap menuju air terjun sakran itu meski sudah dilarang simbah putri. Sebuah keputusan bodoh.

Baca dulu bagian 2 di sini: “Malam Jumat: Cerita Horor dari Alas Purwo dan Pulosari yang Dibongkar Simbah Putri (Bagian 2)”

“Mbah, saya mau cerita.” Saya ingin menceritakan semua. Tentang Alas Purwo, Gunung Pulosari, air terjun, sampai anak kecil di hutan.

Entah kenapa simbah melarang saya bercerita. Dia bilang, “Nggak perlu, Nduk. Simbah sudah tahu,” jawabnya dengan suara lembut yang entah kenapa terasa menenangkan.

Uncle Jack sepertinya paham dengan makna tatapan simbah. Setelah itu, paman mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Namun, jantung saya malah berdetak lebih cepat. Seperti ada dorongan untuk minta tolong. Saya juga merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu di luar nalar.

Berusaha untuk mengabaikan

Pada akhirnya, kami semua saat itu tidak terlalu mempermasalahkan apa yang terjadi kepada saya. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan hal-hal aneh itu. Bagi saya, sikap mereka terlalu janggal.

Gimana, ya. Kalau terjadi sesuatu di luar nalar, kalau di film-film itu, si korban akan dibawa ke “orang pintar”. Tapi, entah kenapa, keluarga saya itu seperti memaklumkan keadaan ini atau bahkan ya seperti sudah terbiasa saja. Bukan lagi suatu yang spesial.

Apalagi, bayangan-bayangan Alas Purwo, Gunung Pulosari, dan air terjun terus datang. Sensasi panggilan dari tiga lokasi ini sering saya rasakan. Namun, saya tidak bisa menjelaskan hubungan tiga tempat itu. Makanya, saya butuh bantuan orang yang lebih paham.

Sampai selepas isya keluarga saya masih ngobrol di ruang tengah sebelum kami kembali ke kamar masing-masing. Kali ini saya tidak tidur dengan ibu, melainkan dengan Maharani di kamar tamu dekat dengan pekarangan belakang rumah. 

Kepala saya masih penuh dengan pertanyaan ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar tamu yang jarang sekali terpakai. Pintu terbuka pelan dan menimbulkan suara berderit yang khas. Saya langsung dibuat kaget ketika melihat sosok berdiri di depan lemari tua dengan gaun tidur berwarna putih. Ternyata sosok itu adalah Maharani. 

Rambut panjang berwarna hitam legam itu membuat saya berpikir dia adalah makhluk halus. Saya menghela napas, agak lega. Tidak terbayang kalau ternyata itu sosok makhluk halus. Sudah pasti saya pingsan di tempat. 

Album foto lawas

Malam itu saya terjaga, tidak bisa tidur. Mungkin karena segelas kopi hitam tadi membuat saya tidak mengantuk sama sekali. Saya memasang airpods dan melanjutkan menulis di jurnal harian. 

Sekitar 10 menit menulis, saya sempat memandang ke arah Maharani yang sedang asyik pula dengan iPad miliknya. Kami hampir tidak ngobrol malam itu, hingga Maharani menepuk pundak saya dan memperlihatkan hasil kerjanya. Dia sedang membuat konten untuk blog pribadinya. 

“Wah apa ini?” Tanya saya sembari melihat isi konten yang dibuatnya.

“Ini gue lagi coba iseng-iseng buat research tentang adat dan kebiasaan keluarga kita. Gue sempet Tanya-tanya sama simbah putri dan memang banyak banget loh ternyata kebiasaan keluarga yang diturunkan ke kita. Yah walaupun emang nggak semuanya sih dijalanin,” jawab Maharani sembari menunjukkan artikel miliknya. 

Ini sih jujur niat banget ya, sampai mengedit foto untuk insight feeds gitu. Selain menunjukkan hasil kerjanya, Maharani juga memperlihatkan sebuah album foto yang cukup lawas. Dia mengatakan kalau album ini ada di jejeran rak buku di ruang tamu. 

Perempuan yang tidak kami kenal

Saya membuka album itu dan melihat-lihat foto lawas yang sudah cukup termakan usia. Isi foto tersebut ya sebagian besar foto-foto keluarga besar dan foto rumah ini. Saya memperhatikan dengan seksama foto keluarga yang lokasinya berada di depan rumah. 

Kami berdua menebak-nebak siapa saja orang yang ada di foto tersebut. Tapi, ada satu sosok yang saya tidak tahu. Setiap kumpul keluarga besar, pastinya kami menampilkan foto-foto lawas setiap orang agar kami mengetahui siapa-siapa saja keluarga kami. Tapi jujur saya tidak pernah melihat sosok perempuan yang ada di foto ini.

“Lo tau ini siapa, Ran?” Tanya saya sembari menunjuk ke foto perempuan itu

“Gatau deh, mungkin masih saudara simbah?”

“Masa iya sih, coba deh lu tanyain ke simbah. Gue kalau nanya-nanya tuh suka kena ceramah berjam-jam sama beliau.” 

Tepat pada saat ini, bayangan-bayangan Alas Purwo, Gunung Pulosari, dan air terjun datang lagi. Tapi, saya masih bisa menenangkan diri.

“Duh, kepo banget dah Anda ya. Males juga gue. Dah, gue mau tidur, besok pagi udah di seret ama bokap ke tempat-tempat aneh soalnya,” ujar Maharani yang langsung menarik selimut dan mencoba untuk tidur. Seketika itu beneran tuh bocah langsung tidur dong. Definisi Pelor alias Nempel Molor banget itu anak. 

Teror gaib dimulai

Saya bangun dari tempat tidur dan menaruh album itu di meja rias sekalian mematikan lampu kamar. Setelah itu saya berusaha keras supaya bisa terlelap. Setelah berusaha cukup lama, akhirnya saya sempat tidur juga. Nah, lagi enak tidur, kebiasaan saya muncul, yaitu kebelet pipis di tengah malam. Saat itu pas banget pukul satu malam.

Posisi kamar mandi itu ada di sebelah dapur. Saya keluar dari kamar dan menemukan rumah simbah sudah gelap gulita. Semua lampu dimatikan. Yah, mau nggak mau, kebelet itu sangat menyiksa, dan memaksa saya untuk berani ke kamar mandi melewati lorong gelap. Bermodal senter di hape dan wuushhh, saya langsung lari ke arah kamar mandi. 

Setelah selesai, saya menuju ke dapur untuk minum. Sembari meneguk segelas air dingin, saya asyik scrolling media sosial di hape. Nggak lama setelah itu, saya mendengar suara pintu tertutup dari arah belakang. Saya menghiraukan suara tersebut dan berpikir ya mungkin itu Uncle Jack yang baru selesai ngopi di teras belakang.

Pakdhe yang terasa asing

Saya tidak mau memikirkan hal-hal yang aneh meski bayangan Alas Purwo, Gunung Pulosari, dan air terjun berkelebat datang. Saya memutuskan kembali scroll media sosial. Untung sinyal internet di sini masih bisa untuk membuka media sosial. Ketika lagi asyik membaca di layar, kursi di dekat meja makan bergerak.

Suasana sunyi tentu membuat suara gerakan kursi kayu itu terdengar sangat jelas. Perasaan tidak enak langsung menguat, berubah menjadi rasa takut yang menusuk. 

Tanpa pikir panjang, saya berjalan cepat menuju kamar. Jantung saya berlari dengan kencang. Di pertengahan jalan menuju kamar, pintu depan diketuk seseorang.

Secara reflek saya menghentikan langkah dan memasang telinga. Beberapa detik berlalu dan saya menahan napas. Lantaran bunyi ketukan berhenti, saya sudah meniatkan diri kembali ke kamar. Namun, baru satu langkah, dari luar sebuah suara yang saya kenal terdengar.

“Ini Pakdhe.”

Pakdhe? Masa iya? Saya segera membuka kunci pintu depan dan mendapati sosok pakdhe diam membatu di sana. “Loh, Pakdhe? Abis dari mana?” 

Tatapan dingin pakdhe

Dia tidak menjawab pertanyaan saya dan langsung masuk begitu saja. Saya menutup kembali pintu depan dan menguncinya. Ketika saya berbalik, pakdhe masih berdiri di ambang pintu depan. Dia diam sambil menatap lantai.

“Eh, Pakdhe, aku balik ke kamar duluan ya.” 

Saya tidak menunggu jawaban pakdhe dan memutuskan untuk segera masuk kamar saja. Saat berjalan meninggalkan pakdhe, punggung saya terasa hangat dan seperti ada yang memaksa saya untuk menoleh. Sebelum berbelok di lorong, saya berbalik badan dan menegok ke arah pakdhe.

Saya menemukan pemandangan yang terlalu janggal. Pakdhe saya itu orang yang ramah dan sangat suka tersenyum. Namun, malam itu, dia terlihat begitu menyeramkan. 

Pakdhe berdiri di tengah ruang tamu. Persis di tengah-tengah. Dibalut kegelapan, dia diam dan menatap tajam ke arah saya. Secepat itu juga saya memalingkan wajah dan segera menuju kamar tidur. Sesampainya di kamar, saya buru-buru membungkus diri ke dalam selimut dan langsung berusaha untuk tidur, memejamkan mata dengan kuat.

Sarapan penuh ketegangan

Pagi hari tiba. Saya terbangun lebih dahulu daripada Maharani. Saya membuka jendela kamar dan mendapat simbah putri sedang menyapu halaman belakang. Begitu bangun, perut saya terasa sangat lapar. Maka, tanpa berlama-lama, saya mencuci muka, gosok gigi, lalu menuju ruang makan. 

Sarapan sudah tersedia di meja makan. Di sana sudah ada ibu, Uncle Jack, istrinya, dan… pakdhe. Saya duduk di sebelah ibu dan berhadapan dengan pakdhe. Tidak lama, simbah putri datang dan makan bersama.

Ketika sarapan sudah hampir selesai, saya memberanikan diri untuk mencari kejelasan perihal kejadian semalam. Saya bertanya ke pakdhe, kenapa kok tengah malam baru masuk rumah. 

Anehnya, pakdhe justru bingung dengan pertanyaan saya. Beliau menjawab bahwa semalam dia langsung tidur karena lelah. Saya jelas tidak percaya dengan ucapan beliau. Hingga akhirnya Uncle Jack memastikan bahwa pernyataan pakdhe benar. 

Tadi malam, Uncle Jack tidur bersama anak laki-lakinya, kakak saya, dan pakdhe di ruangan yang sama. Saya merasa agak sedikit menaikkan nada bicara karena tadi malam saya benar-benar membukakan pintu untuk pakdhe. Mendengar nada suara saya yang agak naik, semua orang terdiam dan malah saling pandang.

Maharani memecah ketegangan 

Entah mereka percaya atau tidak. Intinya, saya sudah menyampaikan kejadian semalam. Simbah putri nimbrung memberi pesan bahwa kita tidak boleh membuka pintu sembarangan di malam hari. Beliau juga mengatakan bahwa setiap orang sudah diberi kunci rumah cadangan. 

Ya memang benar sih. Sesampainya di rumah simbah putri, Ibu langsung memberikan saya kunci cadangan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Ketika merasa aneh, kembali, bayangan Alas Purwo, Gunung Pulosari, dan air terjun datang. Kali ini terasa lebih mengganggu.

“Lalu, terus semalem itu siapa? Wong jelas-jelas itu Pakdhe, kok. Bedanya semalem Pakdhe kelihatan pucat saja dan pendiam.” Lagi-lagi ruangan jadi senyap. Pakdhe dan lainnya terdiam.

“Setan kali itu!” 

Maharani yang datang belakangan ke ruang makan langsung nyeletuk. Mendengar seloroh Maharani, simbah putri langsung menyahut dan mengomeli Maharani karena berbicara yang tidak-tidak. Maharani hanya tertawa kecil dan duduk di bangku sebelah saya. 

Ditarik air terjun sakral

Dia seperti berusaha mencairkan suasana yang tegang tadi dengan mengalihkan obrolan tentang kegiatannya bersama Uncle Jack nanti. Kami mengobrol banyak mengenai kegiatan Uncle Jack yang ingin mengunjungi beberapa tempat bersejarah, salah satunya adalah air terjun yang pernah diceritakan pakdhe.

Simbah berpesan bahwa mereka boleh ke tempat-tempat lain tapi tidak ke air terjun. Saya tahu ada beberapa hal yang tidak bisa disebutkan. Apalagi itu malam Selasa. 

Ada sebuah tradisi di desa ini bahwa setiap malam Selasa, terutama selepas maghrib, semua kegiatan harus berhenti. Semua warga harus di dalam rumah, bahkan ronda pun ditiadakan.

Maharani berbisik lirih. Dia mengajak saya untuk pergi ke air terjun itu. Menurutnya, kalau kami berangkat pagi dan pulang siang pasti bakal aman. Saya jawab juga dengan bisik-bisik bahwa saya tidak mau macam-macam di desa orang, apalagi simbah putri sudah memberi peringatan Maharani malah makin gencar mengajak saya dengan alasan ada Uncle Jack yang ikut serta. 

“Udah, ikut aja ya. Kan kita nggak melakukan hal-hal aneh. Lagipula nanti siang pulang, nggak usah lama-lama juga di sana.” 

Saya sebenarnya juga penasaran. Kabarnya, pemandangan di sana itu cakep banget. Lumayan, vibes liburan itu jadi lebih terasa. Jadilah saya mengiyakan ajakan Maharani sambil menekankan untuk pulang siang. Maharani terlihat senang, lalu secepat kilat dia menghabiskan sarapan lalu segera mandi dan bersiap-siap.

Selesai bersiap-siap, saya, Maharani, dan Uncle Jack siap berangkat. Ibu dan kakak bilang malas. Pakdhe juga menolak karena ada kegiatan di balai desa. Jadilah kami berangkat pagi itu menuju beberapa lokasi dan air terjun sakral menjadi lokasi terakhir yang tidak kami beritahukan ke anggota keluarga lainnya.

Menuju air terjun sakral

Singkat cerita, setelah selesai mengunjungi beberapa tempat, kami sangat bersemangat untuk melihat air terjun. Untuk menuju air terjun itu, kami harus melewati jalan setapak yang saya lihat kemarin waktu berkeliling bersama pakdhe dan Kakak. Jalan itu benar-benar kecil, ditambah lagi pohon-pohonnya besar dan menjulang tinggi. Situasi ini selalu mengingatkan saya pada momen Alas Purwo. 

Di tengah perjalanan, kami berjumpa dengan Bu Sar yang sedang membawa kayu bakar. Uncle Jack dan Maharani menyapa beliau dengan biasa dan terus berjalan. Tapi entah kenapa, tatapan Bu Sar ke saya itu terlihat berbeda. Ekspresi yang dia tunjukkan cukup menakutkan karena dia melihat saya dalam diam dan matanya menatap tajam, memperhatikan setiap gerak gerik saya. 

“Selamat Pagi, Bu Sar.” Ucap saya sembari tersenyum ramah dan sedikit menundukkan kepala untuk memberi hormat. Yah, saya tahu sih beliau itu memang hemat ngomong, jadilah saya melanjutkan berjalan dan segera mengejar Uncle Jack dan Maharani di depan menuju jalur air terjun. Ketika itu juga, Bu Sar tiba-tiba berkata sesuatu.

“Kamu wangi untuk mereka. Jangan sembarangan menyentuh dan mengambil di sana,” ucapnya dalam Bahasa Jawa. Saya mengangguk dan tersenyum. Meski tersenyum, tapi dalam hati saya agak nggak enak. Istilah “wangi untuk mereka” membuat saya agak gentar. Namun, saya sudah janji untuk menemani Maharani dan Uncle Jack. Saya berdoa dalam hati dan melanjutkan langkah.

Medan yang cukup terjal

Perjalanan menuju air terjun itu ternyata cukup sulit. Yah, sesuai perkataan Pakdhe. Kami harus menyusuri sungai dengan jalan bebatuan yang licin. Ditambah lagi ternyata cukup jauh juga dari pedesaan. 

Sepanjang perjalanan, Maharani jadi lebih banyak berbicara. Mungkin dia lagi bahagia karena akhirnya bisa berpetualang. Saya sih lebih suka Maharani yang seperti ini. Makanya, saya mendengarkan omongannya dengan perasaan senang.

Namun, saya juga sadar, kalau dari tadi seperti ada yang mengawasi kami bertiga. Entah apakah intuisi saya semakin kuat atau bagaimana, tapi saya yakin ada yang mengamati kami dari seberang sungai.

Saya secara spontan nengok ke arah kanan, ke seberang sungai. Di sana saya melihat anak kecil. Dia adalah anak kecil yang sempat saya lihat di jalan hutan ketika menjemput Uncle Jack. Anak kecil itu bersembunyi di balik pohon. Jadi saya hanya melihat separuh tubuhnya saja.

Saya mendekati Maharani, menepuk pundaknya, dan memintanya untuk menengok ke seberang, ke posisi si anak kecil itu. Maharani berhenti dan memperhatikan keadaan di sana, tapi dia tidak melihat anak kecil di sana. 

Ketika saya menengok lagi ke arah sana, sosok itu menghilang. Maharani berbisik untuk menghiraukan segala jenis gangguan yang muncul. Menurutnya, itu hal wajar dan bisa terjadi juga di hutan-hutan dan alam bebas lainnya. 

“Mereka itu hidup berdampingan dengan kita. Jadi tidak perlu panik,” kata Maharani. Lah, tahu juga dia sama hal-hal kayak gitu.

Aura yang menekan

Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di air terjun sakral itu. Perjalanan kami sebetulnya tidak terlalu lama, tapi terasa lama karena jalur yang terjal. 

Namun, rasa lelah itu terbayarkan terbayarkan dengan pemandangan yang cukup fantastis. Benar-benar definisi hidden gems, yang hampir jarang terjamah oleh sentuhan manusia. 

Air terjunnya ternyata besar dan tinggi. Uncle Jack dan Maharani pun langsung buru-buru menuju air terjun tersebut. Saya sempat foto-foto dulu dari kejauhan sebelum mengeluarkan drone saya. 

Namun, baru juga satu langkah, tiba-tiba seperti ada aura yang menabrak saya. Hawanya terasa tidak nyaman. Sensasi tertabrak dan tertusuk saya rasakan. Tubuh saya langsung terasa lemas.

Penyesalan di antara rapalan doa

Setelah badan saya seperti tertabrak, beberapa detik kemudian saya merasakan hal lain. Rasanya, aura di sekeliling, yang melingkari saya, terasa sangat menekan. Sensasi tubrukan seperti tadi kini saya rasakan berulang-ulang.

Saya menarik napas panjang dan berusaha merapal doa. Namun, doa-doa itu seperti tidak bisa menjadi tameng tubrukan yang saya rasakan. Mata saya jadi sedikit pedih, agak sesak, dan limbung.

Saya hanya bisa berharap kepada Tuhan untuk melindungi saya dari keputusan bodoh ini….

BERSAMBUNG…

BACA JUGA Lembut Suara Gamelan Menjadi Tabir Rahasia Gelap Alas Purwo dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version