MOJOK.CO – Foto artis Indonesia itu menjadi pusat energi dan kejadian horor di sebuah gedung hijau-putih-biru di Jogja. Sebuah misteri yang susah sekali diceritakan.
Dua minggu lalu, di timeline Twitter saya, ada sebuah akun yang menuliskan informasi kecelakaan. Saya mengamati info tersebut secara saksama.
Seorang perempuan menggunakan sepeda motor ditabrak dari belakang oleh mobil saat hendak masuk ke jalur lambat. Namun, bukan info kecelakaan yang membuat mata saya tertambat pada foto itu.
“Oh, saya kenal dengan foto gedung hijau-biru-putih itu. Gedung yang membikin bulu kuduk merinding, dan bahkan ketika saya sedang menulis cerita ini. Gedung tua yang memajang foto artis Indonesia dan menjadi pusat medan energi besar. Benar-benar horor.”
Peristiwa ini terjadi 4 atau 5 tahun yang lalu. Teman bapak saya menelepon saat siang berganti sore. Saya tidak terlalu mendengarkan, apalagi memperhatikan isi obrolan tersebut. Hanya mendengar sedikit percakapan saja.
“Kapan? Di mana?” Tanya bapak saya.
Hanya sebatas itu yang saya dengar. Namun, setelah menyudahi panggilan telepon itu, bapak berkata kepada saya,
“Besok lusa malam ada orang besar datang ke rumah.”
Kata “besar” bisa menjadi denotatif ketika merujuk ‘tubuhnya yang besar’. Namun, “besar” bisa berarti konotatif ketika merujuk ke ‘entitas dengan jabatan yang tinggi’. Entahlah.
Orang besar datang ke rumah
Dia datang bersama seorang perempuan. Kebetulan saya yang menyambutnya. Ternyata makna “besar” bukan denotatif, melainkan (sepertinya) konotatif. Saya masih belum bisa mengambil hipotesis.
Bapak mempersilakan kedua tamunya duduk. Kemudian, bapak dan ibu saya ikut duduk. Sementara itu, saya lebih memilih masuk ke kamar.
Mereka berempat terlibat pembicaraan yang seolah-olah seperti teman lama yang sudah tidak lama bersua. Ada haha dan hihi. Namun, setengah jam kemudian, ibu saya mengetuk pintu dan meminta saya ikut berkumpul bersama. Dari sinilah obrolan terlihat sedikit serius. Dan sudah pasti, obrolan horor.
Tamu itu, seorang bapak, ternyata adalah seorang direktur. Seorang pemimpin yang suka memajang foto artis Indonesia “yang itu” di gedungnya.
Jadi, dia baru saja pindah tugas dari luar pulau ke Pulau Jawa. Kebetulan, beliau tinggal di kota yang saya tempati baru 3 bulan. Beliau bercerita bahwa para karyawannya tidak pernah betah di kantor. Hampir sebagian besar karyawan selalu saja memiliki alasan untuk pergi dan biasanya lama.
Yang bikin aneh, tidak ada yang mau bekerja lembur. Bahkan, meskipun kantor menyiapkan upah lembur di atas standar, mereka tetap memilih pulang tepat waktu. Si bapak direktur ini pernah menanyai alasan para karyawan tidak mau mengambil lembur di gedung kantor, khususnya di dekat ruangan yang terdapat foto artis Indonesia di sana. Alasannya selalu sama: kantor horor.
Bapak itu, kita sebut saja Surapin, menceritakan berbagai kisah horor karyawannya. Misalnya, suka terlihat perempuan cantik dengan rambut panjang lurus mengenakan terusan berwarna putih yang mondar-mandir di dekat kamar mandi. Lalu, banyak kursi yang suka berpindah tempat.
Perempuan cantik itu sering mengajak ngobrol beberapa karyawan. Dia selalu berkata, “Maaf, saya karyawan baru.” Esoknya, beberapa karyawan mencari tahu keberadaan si perempuan cantik tadi di departemen terkait. Mereka selalu menemukan jawaban: “Nggak ada nama itu.” Maaf, saya tidak mendapatkan izin untuk menyebut nama perempuan cantik itu.
Menuju kantor dengan foto artis Indonesia yang meresahkan
Selepas cerita itu, Surapin meminta bapak untuk berkunjung ke kantor. Bukan keesokan hari atau lusa, melainkan malam itu juga. Bapak sepertinya kaget, tetapi berusaha tenang. Kok ya kebetulan, bapak meminta saya ikut. Akhirnya, saya, ibu, dan bapak berangkat ke kantor dengan mobil sendiri. Di mobil, bapak hanya berkata,
“Banyak baca selawat, Mas.” Saya tidak mau berspekulasi, tapi ini pasti horor.
Perjalanan dari rumah menuju kantor itu hanya memakan waktu 20 menit. Lebih cepat daripada biasanya. Barangkali karena berangkat pukul 22:00. Tidak begitu banyak kendaraan motor yang berlalu-lalang sehingga kami sampai di kantor lebih cepat.
Tiga satpam menyambut kami setibanya di kantor itu. Bapak memarkir mobil di sisi sebelah barat, sementara Surapin memarkir mobilnya di tempat yang memang khusus direktur.
Kami keluar dari mobil. Kepala saya menengadah, mengamati gedung yang terlihat begitu horor di malam hari. Warna gedung ini hijau-biru-putih. Namun lebih dominan putih. Untuk hijau dan biru hanya sekadar pemanis. Goresan warna yang menyerupai nama sebuah merek.
Surapin mempersilakan kami untuk masuk. Saya sempat tengok kanan dan kiri. Gedung ini besar sekali. Cukup untuk menampung ratusan orang karena ada 3 lantai dan memanjang ke utara. Kebetulan, gedung ini menghadap ke barat. Kami duduk di ruang tamu dan mereka menghidangkan beberapa roti serta minuman. Setelah berbincang sejenak dan mencicipi aneka sajian, kami berkeliling.
Rumah yang terpisah dari kantor
Rute penelusuran pertama, kami mengunjungi rumah di sebelah kantor. Rumah itu sebenarnya khusus untuk direktur beserta keluarganya. Namun, si istri dan anak-anaknya menolak untuk tinggal di situ. Ketakutan, kata mereka.
Rumahnya besar. Ruang tamunya cukup untuk menampung 20 sampai 25 orang. Ruangan belakang langsung menuju dapur, kamar mandi, serta 3 kamar tidur. Kami berlima masuk dan tidak merasakan takut sama sekali, apalagi bapak. Tapi ini justru aneh dan horor. Mengingat keluarga direktur ketakutan, tapi kami tidak. Seakan-akan energi itu “sementara” hilang, padahal tidak. Energi itu yang nanti akan saya rasakan ketika berdiri di depan foto artis Indonesia.
Kemudian, kami masuk menuju dapur dan kamar mandi. Di daerah ini, hawanya agak berbeda. Barangkali karena jarang ada orang yang menempatinya. Hawa yang semestinya dingin, karena malam hari dan memang sudah memasuki musim penghujan, justru menjadi agak hangat.
Saya tidak masuk ke seluruh kamar. Namun, mata saya tertuju ke kamar terakhir dekat kamar mandi. Entah perasaan saya atau apa, ya? Seperti ada yang mengintip. Tubuhnya kecil. Anak kecil atau orang dewasa yang bertubuh mini? Yang jelas saat bapak saya bertanya apa yang saya rasakan, saya hanya menunjuk kamar itu.
Bapak hanya tersenyum sambil berkata, “Oh, ya sudah.”
Gudang kantor, lokasi komunal para penunggu
Selesai mengelilingi rumah, Surapin mengajak kami memasuki sebuah gudang. Selayaknya gudang, ada banyak barang bertumpuk. Yang bikin malas dan terasa horor, gudang itu berbentuk lorong, dan tentu saja, memanjang.
“Kata beberapa karyawan, di sini suka ada yang iseng. Yang iseng suka menjatuhkan barang atau memindahkannya tidak pada tempatnya. Misalnya itu (Surapin menunjuk alat-alat pembersih lantai). Itu kadang ketika selesai digunakan, ditaruh di sini (tempat ia berdiri), tapi pas mau pakai lagi keesokan harinya, eh ada di ujung sana,” jelas Surapin.
Saya pikir kalau ada yang iseng, sih, wajar. Tempatnya kurang penerangan. Entah memang lampunya mulai redup atau pemilihan lampu yang cenderung redup. Yang saya belum tahu adalah semua ini berasal dari hanya 1 foto artis Indonesia.
Soal gudang, setahu saya, di situlah para makhluk tak kasat mata suka lalu-lalang bahkan tinggal. Saya tidak begitu tertarik. Bapak dan ibu saya juga hanya menganggukkan kepala.
Horor di lantai 2: Foto artis Indonesia yang menyebarkan energi besar
Setelah menelusuri gudang, kami kembali ke ruang tamu. Setelah berhenti beberapa menit, Surapin mengajak kami menuju lantai 2. Inilah lokasi di mana foto artis Indonesia yang menjadi sumber “kejadian horor” berasal.
Jadi kebetulan ada 2 tangga menuju ke sana. Letaknya di sisi kanan dan kiri. Ibu dan istri Surapin tidak ikut naik. Sementara itu, kami bertiga naik tetapi dengan sisi berbeda. Saya naik sendiri dari sisi kanan, sedangkan bapak dan Surapin naik dari sebelah kiri.
“Itu anaknya berani, Bu?” Tanya istri Surapin kepada ibu saya.
“Oh, nggak papa. Sudah biasa nemenin bapaknya,” jawab ibu.
Saya melewati ruang direktur. Konon, di sinilah terkadang juga suka terjadi horor perempuan cantik, yang biasanya di toilet itu, berkunjung ke sini. Saya masuk. Rasa dingin langsung terasa. Barangkali Surapin baru saja mematikan AC. Namun, hawa panas juga kadang terasa. Seperti ada tumbukan hawa panas dan dingin di sekitar foto artis Indonesia itu.
Di sisi lain, bapak mengamati ruang kerja para karyawan. Surapin menunjukkan sebuah tempat yang berisi kursi, meja, berbagai tumpukan berkas, dan komputer.
“Ini tempat aneh, Pak. Kalau komputer ini dipindah ke berbagai tempat, sudut itu, ruang sebelah, selalu tidak bisa hidup. Giliran dikembalikan di tempat ini, langsung bisa menyala. Padahal tempat ini agak panas karena langsung terkena sinar matahari. Tapi, apa boleh buat,” jelas Surapin.
Saya yang menguping dari kejauhan, karena suara Surapin terdengar kencang, beranjak dari ruang direktur ke tempat komputer. Saya melihat ruangan yang tidak tertata. Entah sengaja dibikin seperti itu atau hal lain, saya tidak tahu.
Kemudian, kami berpindah ke ruang sebelah, ruang karyawan yang lebih besar. Di sana saya merasakan energi besar dari sebuah foto artis Indonesia
Horor yang bersumber dari foto artis Indonesia
Ada 3 foto artis Indonesia yang terpampang di dinding. Namun, hanya 1 foto artis yang membikin bulu kuduk saya betul-betul merinding. Semestinya saya terpesona karena kecantikannya, tapi malah membuat tubuh saya gemetar.
Saya mencoba mendekati foto tersebut. Tubuh semakin gemetar bahkan tidak karuan. Ada apa ini?
Saat hanya berjarak satu lengan, badan saya berbalik. Bapak saya, yang kebetulan berdiri tidak terlalu jauh, sepertinya paham maksud saya.
“Ya di situ pusatnya, Mas.”
“Coba tanganmu tempelkan di foto itu.”
Begitu menempel ke foto artis Indonesia itu, saya merasakan tangan saya menjadi panas. Reflek, seketika itu juga saya menarik tangan dari foto. Kemudian, bapak menuju dan berdiri agak lama di depan foto itu. Entah mungkin semacam berdoa atau ritual pengusiran, saya tidak tahu.
“Insyaallah aman, Pak.” Kalimat singkat keluar dari mulut bapak setelah selesai berdoa.
“Tapi saya tidak tahu apakah mereka mau pindah atau ndak. Yang jelas, mereka mau untuk tidak mengganggu lagi,” jelas bapak. Bapak berdiri di depan foto 1 orang, tapi memakai kata “mereka”. Sungguh janggal dan sudah pasti horor.
Turun tangga dan balik ke rumah
Kemudian, kami bertiga menuruni tangga. Seperti saat kami naik, turun pun di sisi yang berbeda. Kami berbincang sejenak dengan istri Surapin. Tak lama, kami segera pamit. Maklum, jam dinding telah menunjukkan pukul 23:30.
Ketika mengantarkan saya, bapak, dan ibu, Surapin menunjuk jendela yang menghadap ke arah utara. “Kadang, di situ suka ada yang melambaikan tangan. Perempuan. dia biasanya muncul menjelang pukul 9 malam.” Kami menganggukkan kepala, dan kali ini benar-benar pamit.
Di mobil, bapak hanya berkata, “Sebenarnya di situ (daerah gerbang masuk) ada yang menanam kepala kerbau. Mungkin maksudnya agar memohon keselamatan.”
Kalimat bapak terdengar belum tuntas. Kata “maksudnya” itu sebetulnya agak mengganggu saya. Apalagi berkaitan dengan sebuah gedung lawas yang horor itu. Namun, saya berusaha tidak mengejar maksud kalimat bapak.
Seiring mobil menjauh dari gedung itu, kepala saya justru penuh oleh tatapan dari mata si artis Indonesia yang cantik itu. Tatapan mata dari foto itu seperti menembus, menguasai. Selama beberapa hari, tatapan tajam dari mata yang indah itu rutin datang ke imajinasi saya. Bukan imajinasi yang menyenangkan, tapi meresahkan. Sebuah tatapan yang horor.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ekspedisi Alas Purwo: Penjelajahan Pertama ke Hutan Angker dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.