3 Kontrakan Paling Horor di Jogja yang Pernah Saya Huni

Kami, penghuni di kontrakan bukan tidak takut dengan hal-hal gaib, tapi sebagian penghuni terdidik mentalnya sejak menempati kontrakan pertama sebelum itu.

Ilustrasi 3 Kontrakan Paling Horor di Jogja yang Pernah Saya Huni. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COInilah 3 kontrakan paling horor di Jogja yang pernah saya tinggali bersama Komunitas Kretek. Nomor tiga paling bikin sesak di dada.

Seorang teman lama yang pernah aktif di Komunitas Kretek mengirimkan pesan WhatsApp kepada saya. Bunyinya, “Wah, gillss. Tulisanmu soal Liburan Gaib itu sampai juga di halaman muka Facebook. Bukan karena Mojok, tapi karena ada akun yang membagikan screenshot dari artikel itu. Setelah kubaca penulisnya, astaga!”

“Apa kabar, Rul? Masih di Jogja sekarang? Masih aktif di Komunitas Kretek?” Balasnya beberapa menit setelah saya melanjutkan pekerjaan dan meninggalkan beberapa notifikasi yang muncul di layar hape.

Kami berbincang cukup lama, sampai akhirnya dia berkata, “Harusnya kamu juga menulis cerita kontrakan yang dulu jadi sekretariat. Itu tidak kalah menyeramkan dan menyebalkan.”

“Aku kan nggak ada di sekretariat pertama, gimana aku mau cerita?”

“Tapi kamu dengar sendiri, kan, dari banyak orang tentang kejadian di Jogja, khususya sekre lama?” Jawabnya lagi.

Saya terdiam beberapa saat, sambil berpikir. Kontrakan di Jogja yang menjadi sekretariat pertama kami itu adalah tempat yang menurut cerita banyak orang cukup menyeramkan, walaupun menurut saya bukan cukup lagi, tapi sangat.

Kontrakan pertama dan kedua di Jogja

Saya mulai saja ini semua dari tahun 2013, saat saya tiba-tiba ditawari oleh teman saya dari Jogja, Rifqi, untuk mengelola akun media sosial milik Komunitas Kretek. Di era itu, saya adalah admin yang cukup sering dimintai bantuan apabila harus mengelola sekaligus membuat konten harian. Sebuah paket komplet yang tidak semua orang mau atau mampu mengerjakannya sekaligus.

Karena alasan itu pula, kadang saya jadi orang paling belakangan pulang atau sering sendirian. Sekretariat kami saat itu adalah kontrakan kedua setelah sebelumnya menyewa bangunan rumah di daerah yang sama, yaitu daerah Condong Catur Sleman, Jogja. Sama-sama dekat dengan terminal bus.

Melalui Rifqi, saya diperkenalkan ke siapa saja yang berada atau sering mampir ke sekretariat. Bahkan teman-teman aktivis yang berasal dari luar kota dan singgah di Jogja untuk sementara waktu.

Karena sudah semakin akrab dengan teman-teman yang sering singgah di Jogja, suatu hari, saya nimbrung obrolan mereka di ruang tamu sambil ngopi dan nyebat. Saya, Rifqi, dan teman-teman yang lain membicarakan pengalaman-pengalaman seru semasa di Jogja, terutama di sekretariat pertama yang tidak ada saya di dalamnya.

Kisah yang sering dialami oleh penghuni sekretariat pertama adalah gangguan suara-suara. Mulai dari suara barang dari ruangan yang jelas-jelas kosong, suara orang batuk padahal tidak ada siapa-siapa di dalam rumah, dan benda-benda di dalam rumah yang kadang berpindah tempat.

Yang paling fenomenal adalah orang yang tidurnya dipindah. Ada 2 orang di lembaga itu yang pernah mengalaminya, salah satunya Rifqi yang tidur di ruang tengah tapi bangun-bangun sudah ada di musala. Dan seorang teman lagi yang awalnya tidur di kamar kontrakan tiba-tiba pindah di depan ruang tv.

Ada banyak dugaan muncul dari kejadian-kejadian tidur yang berpindah itu. Pertama, sang penunggu masuk ke dalam mimpi, lalu mengarahkan orang yang sedang tidur untuk berpindah tempat. Umumnya orang tidur sambil berjalan.

Lalu dugaan lainnya, mereka diangkat dan dipindahkan saat sedang tidur. Tapi asumsi kami saat itu, betapa kuatnya penunggu di kontrakan itu, butuh effort besar kalau sampai bersentuhan fisik dan mengangkat beban lebih dari 60 kilogram. Sungguh sebuah usaha khusus dan berlebihan untuk sebuah keisengan makhluk gaib.

Malam itu, kami berenam ngumpul di kontrakan yang menjadi sekretariat kedua. Ada juga beberapa teman dari luar Jogja. Saya duduk membelakangi tv, menghadap ke dapur yang cukup terang. Sementara itu, lorong menuju dapur memang tidak diberi lampu karena area sekitarnya sudah cukup terang. 

Jadi, ada sedikit rasa janggal. Lorong terlihat agak seram kalau lampu kamar kiri dan kanannya dipadamkan.

Saya coba gambarkan denah rumah kontrakan kami yang kedua, dengan luas bangunan kira-kira 100 meter. Halamannya jadi satu dengan pemilik rumah dan kami bersebelahan dengan rumahnya.

Denah rumah kontrakan di Condong Catur.

Malam itu saya duduk menghadap langsung ke dapur dengan pandangan yang sangat jelas melihat langsung area lorong, dapur, dan kamar nomor 5. Di antara garasi dan ruang tv ada jendela besar yang membuat pandangan penghuni rumah bisa langsung melihat garasi dan kamar nomor 5.

Kami mengobrol sampai tengah malam. Kesibukan mulut dan tangan membuat beberapa kali kami bolak-balik ke dapur untuk sekadar mengisi ulang air putih atau membuat minuman hangat.

Saya juga beberapa kali melakukan hal itu. Saat sedang memasak air, ada orang yang terburu-buru menggunakan kamar mandi di dekat dapur. Perawakannya seperti Amir, salah seorang kawan kami yang malam itu ikut mengobrol bersama. Suara teko pertanda air telah mendidih mengalihkan perhatian saya dari memperhatikan lebih jelas siapa yang masuk ke kamar mandi malam itu.

Malam-malam berikutnya sering saya habiskan bertiga, bersama 2 orang teman yang sering menginap di kontrakan, Mas Abhi dan Mas Gajul. Mas Abhi sama seperti saya, orang yang sebenarnya tidak tinggal di situ, jadi kadang tiap akhir pekan kami berdua kembali ke rumah masing-masing.

Sementara mas Gajul adalah orang yang bertanggung jawab mengurus sekretariat dan selalu pulang kerja di antara pukul 11 malam hingga 1 pagi. Saya pun orang yang bisa dikategorikan nocturnal, lebih sering bekerja di malam hari karena sunyi dan tidak terdistraksi aktivitas orang lain.

Bulan-bulan pertama di kontrakan, saya sering mendengar suara dari dapur seperti orang yang membuat minuman hangat di antara pukul 9 dan 10 malam. Bahkan sempat muncul candaan untuk menakut-nakuti saya apabila teman-teman lain pamit pulang di malam hari atau akan meninggalkan Jogja. Misalnya, “Mas Irul, nanti tolong siapkan teh, ya.” atau “Mas Irul, nanti kalau pengin bikin teh ke dapur aja, ya. Jangan sungkan.”

Kami, penghuni di kontrakan bukan tidak takut dengan hal-hal gaib, tapi sebagian penghuni terdidik mentalnya sejak menempati kontrakan pertama sebelum itu. Lagipula, kami masih baru menempati bangunan itu, hal yang wajar kalau kami masih sering “digoda”.

Selain penghuni sekre yang lain, saya sudah terbiasa dengan situasi seperti itu, terlebih sejak berkenalan dengan Noni, yang sampai hari ini menemani saya di Jogja, tapi tidak mau saya tulis kisahnya di Mojok. Hehe….

Suatu malam, saya tertidur kelelahan di depan tv, sementara Mas Abhi masih sibuk di kamar 1 menginventarisir barang dagangannya: Hot Wheels. Dalam mimpi, seperti biasa, saya bertemu dengan “penduduk sekitar”. Tapi kali ini jelas, bukan berasap atau seperti uap vape berbentuk orang. Benar-benar jelas hingga saya bisa memegang pakaiannya. 

Sosok yang saya lihat ada antara 5 sampai 8. Tapi dari semua itu, saya tanpa sengaja merekam 4 sosok yang seperti berbeda dengan lainnya. Seakan-akan 4 sosok itu sudah mengenal saya cukup baik.

Sosok pertama seorang wanita lanjut usia yang tidak berkenan dideskripsikan saat kami bertemu, tapi sering keluar masuk rumah kontrakan kami melalui teras, ruang tamu, lalu berhenti hanya sampai sekitar ruang tv hingga kamar 3 dan 4. Lalu, ada 2 orang laki-laki, yang usianya sekitar 30 tahunan, tinggi sekitar 165-170 sentimeter, berperawakan normal seperti orang biasa pada umumnya.

Kedua lelaki itu sering terlihat di sekitar garasi, kamar nomor 5, dan kamar mandi sebelahnya. Kedua lelaki itu terlihat seperti pasangan, atau bisa dibilang sahabat dekat, karena waktu itu saya memperhatikan mereka selalu ke mana-mana berdua, tidak gandengan tapi mereka sering berdiri rapat sejajar apabila sedang memperhatikan sesuatu.

Warna baju yang mereka gunakan seingat saya berwarna gelap. Menggunakan alas kaki seperti slop, dengan dandanan seperti orang yang hidup di Jogja era 70an. Tidak ada yang aneh dengan mereka kalau dari sisi fisik. Salah satunya saat itu mendekati saya. Sayang, gaya berbicaranya membuat saya agak risih.

Dia mendekati saya dengan mulut seperti orang menceritakan sesuatu, bukan kata-kata yang saya dengar, tapi malah suara berbisik tapi terdengar tajam di telinga, seperti,  “Psapspslsppppsawrppspspsppspsppssssssss.” Konyolnya, air liurnya muncrat lumayan banyak.

Namun, tiba-tiba bahu saya dipegang, sang wanita lanjut usia meletakkan tangannya di pundak saya seraya berkata, Jangan terlalu banyak diketahui, nanti saja kalau kamu sudah siap. Tidak semua bisa kamu pahami.” 

Sependek ingatan saya, itu yang diucapkannya malam itu dengan suara agak berat, bijak, dan sedetik kemudian dia berpaling menuju sosok lain yang berdiri di belakang kami berdua. Entah siapa, tapi raut mukanya tidak menyenangkan.

Walaupun saya sudah terbiasa mengalami mimpi-mimpi aneh seperti itu, tetap saja setiap kali mengalami kisah baru yang saya temui di dalam mimpi akan selalu saya pikirkan beberapa hari setelahnya. Seperti mencoba mengartikan apa maksud dari kejadian di dalam mimpi itu.

Saya bukan seorang pembela sosok-sosok gaib yang saya temui, tapi kadang beberapa dari mereka sebenarnya mencoba menyampaikan sesuatu dengan cara yang seringnya absurd, atau bisa menyampaikan dengan bahasa yang cukup jelas. Saya hanya tidak mau keseharian saya di di kontrakan menjadi horor hanya karena salah mengartikan maksud pesan mereka.

Setelah mimpi di malam itu, saya lebih berhati-hati apabila sedang di sekretariat. Terlebih kalau harus beraktivitas sampai lewat tengah malam. 

Hingga akhirnya seminggu setelah perkenalan pertama saya, kejadian aneh terjadi lagi setelah beberapa hari merasa tentram. Biasanya, setelah menyelesaikan pekerjaan, makan malam, maka sekitar pukul 9 atau 10 malam saya sudah ada di depan tv.

Kami langganan Biznet dengan paket tv kabel. Zaman Netflix dan HBO Go belum muncul di hape, tayangan tv kabel menjadi salah satu favorit sebagai teman di waktu santai. Sambil tidur menghadap tv, saya merasakan ada sesuatu yang aneh di sisi kiri saya, muncul dari lorong yang menuju dapur.

Karena malam itu Mas Abhi berencana menginap di di kontrakan dan Mas Gajul biasanya pulang tengah malam, saya beranikan saja menoleh ke arah lorong. Seketika saya diberikan pemandangan yang langsung membuat badan dingin dan kesemutan dari ujung kaki sampai rambut.

Bukan sekelebat, tapi pakaian panjang berwarna putih perlahan mundur dari ujung lorong ke arah dapur. Kira-kira bagian pakaian yang terlihat itu dari lutut hingga telapak kaki. 

Buat kalian yang pernah mengalami melihat sosok-sosok gaib, apakah kalian mengalami mata yang tiba-tiba seperti minus atau silindris, lalu dari tengkuk hingga kepala seperti pusing dan tidak fokus bercampur rasa merinding yang hebat? Kira-kira itu yang saya alami malam itu.

Saya memalingkan muka kembali ke tv dengan degup jantung yang cukup kencang, berusaha memikirkan hal lain. Setelah agak tenang, saya duduk dan masih menghadap ke tv. Rasa penasaran akhirnya membawa saya berjalan menuju dapur, sambil melihat kamar 3 dan 4 yang memang lampunya sering tidak dinyalakan dan kamar mandi dapur yang jarang sekali digunakan karena bak kamar mandinya bocor.

Saya sudah membuat teh panas sebelum bersantai di depan tv, tapi entah kenapa keinginan membuat kopi muncul tiba-tiba. Biasanya, teman-teman di di kontrakan, apabila memasak air untuk membuat minuman panas pasti tidak akan menunggu di dapur dan akan kembali ke dapur kalau suara ceret sudah berbunyi. 

Namun, malam itu, rasa penasaran membuat semuanya berbeda. Saya duduk menunggu air di ceret matang dan dengan isi yang cukup banyak. Artinya, saya harus menunggu cukup lama hingga air matang. Sebuah keputusan bodoh.

Saya duduk di meja makan dapur, menghadap ke kompor sementara kamar mandi gelap itu ada di sisi kiri saya. Bukan, bukan kamar mandi itu yang yang membuat saya merinding, tapi sejadi-jadinya saya merasakan situasi aneh di sisi kanan saya, seperti ada sesuatu di tembok di kanan saya. Saya terus memandang ke arah tembok itu sementara pundak dan tangan kanan saya sudah semakin kesemutan dan merinding yang berulang kali muncul terasa bergelombang di tangan kanan saya.

Dalam hati, saya hanya membatin, “Siapa? Apakah ibu yang saya jumpai di mimpi beberapa waktu lalu? Tapi kalau itu ibu, seingat saya bajunya berbeda dan warna kainnya sedikit lebih gelap.”

Saya kembali memperhatikan kompor dengan nyala api yang saya atur cukup besar agar airnya cepat matang. Rasa merinding berangsur menghilang. Saya pun mulai sedikit merasa tenang, sambil berpikir kalaupun tiba-tiba muncul, tinggal kabur ke depan dan ada Mas Abhi. Sebuah ide yang konyol.

Saya berdiri mendekati kompor untuk menyeduh kopi beberapa saat setelah ceret berbunyi. Baru saja menuang air ke dalam gelas, ada sekelebat bayangan yang lewat di belakang saya. Dari sisi kanan menuju kamar mandi. 

Kali ini rasanya sudah berbeda. Tidak kaget dan merinding hebat seperti di ruang tv tadi. Aroma kopi yang tersiram air panas bercampur bau wangi seperti parfum laundry berbau bunga yang sangat lembut dan hilang perlahan begitu bayangan itu menuju arah kamar mandi dan saya sudah tidak terlalu mempedulikan kejadian malam itu.

Beberapa bulan berikutnya saya lewati relatif lebih tenang, sekalipun saya mulai sering berada di di kontrakan sendiri hingga larut malam. Hingga ada satu kejadian lagi…. 

Suatu malam, saya bersama seorang teman perempuan dari Jogja. Kami sedang dekat-dekatnya menjalani sebuah hubungan percintaan dan hanya berdua di sekretariat malam itu. Di depan tv kami bercumbu hebat dan nyaris kelepasan. Ada satu kejadian yang membuat kami berhenti bercumbu saat itu.

Saya duduk menghadap ke arah ruang tamu dan lorong dapur, sementara dia ada di pangkuan saya dan menghadap ke garasi, lorong arah kamar nomor 5. Kami sama-sama berhenti dan sama-sama kaget akan sesuatu. Di ujung mata kiri saya, ada sosok yang berdiri, mengintip kami, hanya ujung pakaiannya dari bagian tengah ke bawah sambil separuh kepalanya muncul di ujung tembok melihat kami.

Sementara dia, kaget melihat di ujung mata kanannya ada orang yang mengintip, muncul bergantian dari ujung tembok di lorong satunya lagi. 

Kami berhenti, terdiam, saling menatap satu sama lain lalu mata kami bergantian bergerak. Dia melirik lorong kamar nomor 4 dan saya melirik lorong satunya lagi. 

Dengan mimik muka aneh, dia menatap saya tajam dan berkata, “Nggak ada yang lagi tidur di kamar belakang dan kamu nggak tahu, kan?”

Dengan tegas saya menjawab, “Berhenti aja deh, nggak enak diliatin. Mereka mungkin nggak biasa melihat orang berciuman.” Dengan raut wajah kaget dia lalu mencubit saya.

Malam itu juga saya meminta maaf kepada “mereka bertiga”, yang di kemudian hari saya baru tahu, mereka tidak hanya bertiga menempati rumah itu. Dari penuturan seorang teman, namanya Tika, yang sama-sama sering ke sekretariat saat itu, bercerita kalau di kontrakan kami dihuni oleh 5 sosok.

Pertama adalah ibu-ibu yang pernah saya temui di mimpi dan 2 orang laki-laki yang menempati kamar nomor 5. Sosok lainnya bertugas menjadi seperti satpam rumah yang tidak sering beraktivitas di dalam, hanya di halaman depan, teras, dan sesekali di ruang tamu dan garasi.

Sosok terakhir adalah seorang wanita berusia 20an tahun, yang sering berada di atas tembok dapur, duduk sesekali menghadap ke arah meja makan, sesekali turun berjalan ke arah tempat cuci dan sesekali berputar posisi duduk dari yang tadinya menghadap ke dalam rumah kemudian duduk menghadap ke arah luar. 

Tika tidak pernah bertanya atau ingin tahu kenapa mereka berada di situ, walaupun dibandingkan saya, kepekaan Tika jauh lebih tinggi hingga bisa melihat sosok-sosok tadi dengan jelas, bahkan membuka komunikasi.

Tika dan teman-teman di Jogja yang sudah terlatih berurusan dengan hal-hal gaib sejak kontrakan pertama menganggap kontrakan kedua ini tidak ada apa-apanya. Semua kejadian yang mereka alami saat pertama kali pindah ke kontrakan kedua dianggap biasa saja dan jauh lebih bersahabat daripada sebelumnya. 

Saya mengiyakan cerita-cerita mereka karena saya sendiri merasa rumah itu cukup kondusif. Tidak ada kejadian yang merugikan mental juga.

Kontrakan ketiga

Hampir setahun di sana, kami memutuskan untuk pindah ke kontrakan yang lebih kecil tapi masih di Jogja. Kami harus menghemat anggaran. Saya akhirnya ditugaskan untuk mencari penyewa yang bersedia oper kontrak sekaligus mencari rumah kontrakan baru di sekitaran Condong Catur, Jalan Kaliurang bawah, dan Minomartani.

Kami akhirnya berjodoh dengan rumah kontrakan yang relatif murah di sekitar Jalan Kaliurang kilometer 5, daerah ramai kos-kosan dan warung burjo yang bertebaran di. Rumahnya lebih kecil dari kontrakan sebelumnya dan hanya ada 2 kamar, ruang tamu, ruang tv, dan area dapur yang bisa juga difungsikan sebagai ruang makan karena ruangannya cukup besar. Sementara di sisi kanan rumah itu ada tanah kosong dengan pohon rambutan besar dan area ideal untuk parkir mobil serta motor.

Denah rumah kontrakan di Jalan Kaliurang.

Lingkungan rumah kami bagus dan warga sekitar pun sangat ramah. Saat pertama kali survei lokasi, kami langsung suka dengan area sekeliling rumah itu. Bagian dalam rumah juga masih sangat bersih walaupun bangunannya mungkin sudah dibuat sejak tahun 90 akhir, tapi tidak ada kerusakan sama sekali. Dua kamar yang ada di dalamnya kami fungsikan sebagai kamar tidur dan satunya lagi sebagai penyimpanan barang sekaligus tempat kami menaruh buku-buku bacaan.

Kali ini Mas Gajul sudah tidak ikut menginap di kontrakan. Saya yang ditugaskan sendiri untuk menjaga sekretariat dan Rifqi yang akhirnya sering menginap di situ karena kos pacarnya saat itu dekat dengan kontrakan kami. Banyak pula teman-teman yang kadang menumpang bekerja di situ hingga larut malam. Lokasi kami memang strategis, kalau bosan bisa bekerja di warkop atau coffee shop sekitar, lapar dan mau beli makan pun banyak pilihan warung makan di sekitar kontrakan.

Suasana 2 sampai 3 bulan pertama benar-benar membuat kami yang sering berada di rumah rasanya malas ke mana-mana. Kalau siang terasa panas, tinggal bergeser keluar rumah dan bersantai di atas hammock yang kami pasang di pohon rambutan. Walaupun gelap, tapi tanah kosong di sebelah rumah tidak menyeramkan saat malam hari dan kami biarkan tidak ada lampu penerangan di sekitar sumur samping rumah. Belum lagi paket tv kabel yang kami perbaharui sehingga banyak sekali tayangan dari puluhan channel bisa membuat kami semakin betah.

Tapi itu hanya 3 bulan pertama…. 

Kejanggalan mulai hadir di bulan-bulan berikutnya. Dimulai dari seorang penulis senior yang sudah almarhum, yang beberapa hari sedang menginap di sekretariat kami. Kami akrab memanggilnya Cak Rusdi atau Rusdi Mathari. 

Suatu malam, saya yang sedang menonton tv tiba-tiba kaget karena Cak Rusdi sudah berada di dekat saya sambil berkata dengan logat Jawa Timurnya yang khas, “Rul, sisuk pasangi lampu di halaman luar itu, ya! Nggak apik peteng-peteng, apalagi Maghrib.”

Saya geli bercampur penasaran dengan permintaan Cak Rusdi itu. Geli karena Cak Rusdi saya anggap sebagai orang yang berani, lalu kenapa dia tiba-tiba seperti itu, apakah ada sesuatu yang dilihatnya hari itu?

Bagi kami yang biasanya memanfaatkan meja dapur untuk bekerja, kalau sudah mulai gelap memang tidak nyaman rasanya menghadap keluar, mengarah pintu belakang yang langsung ke halaman samping rumah.

Dari banyak kejadian setelah Cak Rusdi itu ada beberapa yang membekas bagi kami penghuni sekretariat, terutama saya.

Pertama, seorang teman yang sering ke sana hingga larut malam, Roni, suatu hari berniat ke dapur untuk mengambil minum. Di dapur tidak ada siapa-siapa dan karena rumah kecil, maka suara yang ada di dalamnya bisa terdengar. Beberapa saat Roni berjalan dari ruang tamu menuju dapur dia mendengar suara gelembung udara yang biasanya muncul di dalam galon tiap kali kita biasanya membuka kran dispenser.

Badannya yang besar dengan tinggi 185 sentimeter membuatnya malu mengakui kalau saat itu dia sedikit kaget dan takut mendengar suara itu. Berlagak berani, dia terus berjalan menuju dapur. Galon dan dispenser kami ditaruh di atas meja dan tingginya bisa menutup sisi sebaliknya dari sudut pandang Roni, yang berada di dekat pintu belakang yang terbuka.

Badan besarnya seketika membeku dan mulutnya masih sempat berteriak, “Bajingan! Asu!” 

Di sebelah galon itu berdiri seorang pemuda, berbaju hitam-hitam, berkulit hitam dengan bola mata melotot, memandang Roni yang baru melewati tembok pembatas antara ruang tv dan dapur. Mukanya marah, tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Hebatnya, dia tidak bergeser sedikitpun, malah Roni yang berlari ke ruang tamu, dan saya yang kaget lalu buru-buru menuju dapur. Kami akhirnya bertabrakan di ruang tv. Sudah seperti film komedi saja.

Roni dengan nafas terengah-engah karena kaget berkata, “Bajingan, ono wong ireng ngadek neng sebelah dispenser!”

Orang? Pakai hitam-hitam? Siapa? 

Malam itu hanya ada saya, Roni, dan seorang teman lagi, Fadil, yang berada di situ dan di saat yang sama sedang menonton tv. Lagipula Fadil bukan orang yang iseng seperti itu.

Saya berjalan ke dapur, melihat sekitar tidak ada siapa-siapa, sementara Roni masih berusaha menjelaskan kejadian yang dialaminya malam itu dan dia sudah kehilangan rasa haus dan tiba-tiba tidak betah lagi berlama-lama di di kontrakan.

Setelah kejadian Cak Rusdi dan Roni, saya memang mulai merasakan kejanggalan lain. Salah satunya tembok yang sering dipukul dengan kepalan tangan antara pukul 10 sampai lewat tengah malam. Tidak setiap saat, tapi bisa 2 sampai 3 kali terdengar dengan jarak yang acak pula. Saya anggap itu tetangga yang sering mengigau malam hari supaya tidak terlalu banyak pikiran negatif di kepala saya.

Anehnya lagi, di kontrakan ini saya cukup sering bertemu Noni. Seingat saya, pernah 2 kali saya melihatnya di luar rumah, sekali sebelum Maghrib, dan sekali lagi saat sedang asyik menata kamar depan untuk dijadikan tempat penyimpanan barang. Beberapa kali sering juga saya bermimpi bertemu dia, dan selalu di luar rumah itu, belum pernah terjadi kami berbicara di mimpi dengan posisi kami ada di dalam rumah.

Frekuensi pertemuan saya dengan Noni itu menimbulkan kecurigaan, karena tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia saja bisa dibilang tidak pernah saya inginkan untuk muncul, kenapa kali ini seperti diminta untuk sering bertemu?

Walau akhirnya, kehadiran Noni bisa menjawab beberapa pertanyaan saya di kemudian hari dari sejumlah rentetan kejadian di Jogja.

Kejadian kedua yang kami alami suatu malam saat sedang rapat sebuah komunitas, kebetulan ada Roni juga di situ. Kami asyik mengobrol di ruang tamu hingga larut malam. Awalnya, salah seorang teman perempuan berkata kepada kami supaya pintu belakang ditutup saja walaupun halaman sebelah ada lampunya.

Saya berinisiatif menuju dapur untuk menutup pintu sementara Rifqi berbarengan dengan saya ingin mengambil air minum di dapur. Letak dispenser dan pintu berdekatan, jadi posisi saya berdiri mengunci pintu dan Rifqi yang mengambil air minum seperti orang yang berdiri sejajar. Tatapan kami fokus dengan gagang pintu dan kran galon. Sepersekian detik, ada orang lain melangkah masuk kamar mandi.

Karena kamar mandi dan meja dapur tempat kami biasa bekerja diberi batas penutup meja pingpong yang dilipat, maka kami tidak bisa memastikan siapa yang masuk ke kamar mandi paling ujung barusan. Beberapa saat kami terdiam, saya lalu menatap Rifqi, lalu berpikir, kalau mau menggunakan kamar mandi kenapa pintunya dibiarkan terbuka?

Saya menepuk perut Rifqi, memberi kode agar kembali ke ruang tamu. Di ruang tamu, kami kembali membahas rencana komunitas kami, sembari saya memperhatikan orang-orang di ruangan itu, jumlahnya pas, tidak ada satu pun yang ke belakang selain saya dan Rifqi.

Baru saja saya berpikir seperti itu, terdengar suara gayung mengambil air lalu menyiram sebanyak 2 kali. Saya terdiam, lalu menatap Roni. Kami lalu melanjutkan obrolan, dan saya memperhatikan Roni mulai kebingungan dengan suara air tadi.

Beberapa menit kemudian, suara itu muncul lagi, dan hanya sekali. Kali ini, saya, Rifqi dan seorang teman lagi, Endar, saling bertatapan. Kami terdiam sambil sebagian orang masih mencatat beberapa poin rapat malam itu.

Selang beberapa menit, suara itu muncul lagi, tapi kali ini berkali-kali dan membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Rumah itu kecil dan berdekatan, jadi akan terdengar suara apa saja, apalagi jalan depan di kontrakan hanya gang kecil yang jarang dilewati kendaraan.

Kami saling bertatapan. Terdiam. Dan sekali lagi suara gayung terdengar lagi. Saya reflek berjalan ke dapur disusul Roni. Tidak ada siapa-siapa. Tapi, begitu masuk kamar mandi, gayung yang ada di dalam ember air terlihat bergoyang pelan, seperti habis digunakan beberapa saat yang lalu. Kami kembali ke ruang tamu dan mengalihkan pembicaraan sambil bercanda, “Demit ya butuh BAB, Brooo!” 

Kejadian terakhir ini yang saya alami sendiri dan paling berbekas. Suatu hari, saya tidur sendirian di sekretariat dan itu setelah kejadian galon dan gayung. Rifqi sedang sibuk di luar dan mungkin akan pulang larut malam. 

Sekitar pukul 10 malam, saya mulai mengantuk dan berniat tidur di depan tv karena udara dan lantai dingin beralaskan tikar bambu lebih membuat saya nyaman.

Saya tertidur sebentar lalu terbangun, lagi-lagi karena Noni tiba-tiba muncul dan kali ini sudah berdiri di teras. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran sambil memandang saya. Entah apa maksudnya. Saya kemudian terbangun setelah sekitar 1 jam tertidur dan ingin minum. Kejadian galon memang membuat saya takut, tapi bukan berarti tidak berani menghadapinya. Namanya kepepet.

Gelas saya isi penuh dan saya berniat kembali ke depan tv. Tapi tiba-tiba, pintu kamar mandi bergerak, sedikit, tidak banyak, seperti disenggol tikus atau kucing. Dan 2 hewan tadi jelas tidak ada di dalam rumah itu. Saya nekat berjalan ke kamar mandi dan membuka pintunya, menatap bagian dalam cukup lama sebelum membalikkan badan kembali ke ruang tv.

Baru saja duduk, suara tembok yang dipukul kembali terdengar. Iseng, saya membalas pukulan ke tembok menandakan ini sudah malam dan saya mau tidur. Kira-kira begitu. Tapi ternyata itu seperti puncak dari keanehan-keanehan di kontrakan ketiga ini.

Hanya beberapa menit setelah pukulan itu, saya yang tiduran di depan tv menghadap ke kanan sehingga bisa melihat ruang tamu dan pintu ke dapur dengan jelas dan menyaksikan seorang laki-laki berlari dari dapur menuju keluar ruang tamu lalu menghilang di batas pintu ruang tamu dan teras. 

Tingginya sekitar 170 sentimeter dengan pakaian yang nyaris menyerupai kulit berwarna hitam dari kepala hingga kaki yang seperti sekilas seperti memakai kaos kaki berwarna hitam juga, tidak ada warna lain yang digunakannya selain warna hitam. Wujudnya manusia, dengan ciri-ciri yang yang saya sebutkan tadi. Dia seperti kesal, berlari melewati saya dan langkah kakinya di lantai terdengar sangat jelas.

Seperti biasa, perasaan kaget bercampur takut, setengah berani, penasaran dan panik. Saya bangun dan mengejar sosok itu ke arah ruang tamu, sayang, perasaan takut saya semakin menjadi setelah melihat ke kamar penyimpanan. 

Ada sosok lagi di sana, yang saat saya menulis tentangnya ke dalam tulisan ini membuat rasa merinding lumayan hebat saya rasakan beberapa kali.

Sosok seorang perempuan, menggunakan pakaian panjang atau lebih tepat disebut jubah berwarna perak mendadak melompat atau mirip seperti orang memanjat dari tumpukan barang dan masuk ke dalam plafon. 

Saat menembus plafon, wajahnya sempat melihat saya. Marah, melotot, dan seperti mengancam.

Malam itu sungguh berbekas di ingatan saya selama beberapa waktu. Tapi saya berusaha melupakan itu dengan memberanikan diri di hari-hari berikutnya untuk tinggal di sekretariat. Tentu saya berbagi cerita juga dengan Rifqi, supaya ketakutan kami seimbang.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul setiap harinya hingga suatu hari saya minum alkohol, berdua dengan Tika di sekretariat. Kami menunggu Rifqi yang belum juga pulang malam itu karena sedang sibuk pacaran. Tika baru beberapa kali datang ke situ, dan itu kali pertama dia kesana lagi setelah pindah dari Jogja ke Jakarta, kami pun sedikit nostalgia dengan kisah-kisah lama di organisasi.

Di tengah obrolan seru diiringi gelas demi gelas anggur yang kami minum, Tika mulai membuka cerita mengenai horornya tiap-tiap sekretariat yang pernah kami sewa. Tika mulai bercerita mengenai sekretariat pertama di Condong Catur, sekretariat yang memindahkan orang tidur dan saya belum bergabung saat itu. Lalu sekretariat kedua, sekre saya bertemu dengan beberapa sosok yang saya anggap baik.

Dari cerita Tika, sekretariat kedua kami termasuk yang paling bersahabat di antara sekre yang lainnya. Dari 3 sekretariat, ada yang paling seram dan mengganggu dan ada yang paling bersahabat. Tika menjelaskan, di sekre kedua ada 5 penghuni yang saya ceritakan sebelumnya dan mereka semua berenergi positif. Kalau sesekali muncul itu hanya kebetulan dan tidak berniat mengganggu.

Lalu, kalau bukan sekretariat kedua yang paling menyeramkan, sekretariat yang paling menyeramkan di mana? Ya mana lagi kalau bukan sekretariat yang sedang saya duduki bersama Tika malam itu. Menurut penuturan Tika, banyak sosok di dalam rumah itu yang membuat suasananya penuh sesak.

Saat kami mengobrol di ruang tv, dua sosok sedang menatap kami dari arah dapur dan satu sosok lagi sedang berdiri di pintu kamar penyimpanan. Dari 3 sosok itu, saya menanyakan adakah laki-laki yang berpakaian hitam atau kulitnya berwarna hitam dari ujung kaki hingga kepala? Tika membalas, “Ya, ada, dan dengan marah dia sedang menatapku sekarang.”

Lalu saya bertanya lagi, adakah sosok perempuan tua, menggunakan pakaian seperti jubah berwarna perak? Tika menjawab, “Ada, di sampingku, keluar dari kamar penyimpanan dan cukup berpengaruh di antara yang lain yang ada di dalam rumah.”

Saya masih penasaran, siapa sosok ketiga yang melihat kami malam itu. Menurut Tika, sosok ketiga yang muncul lebih seperti orang tua bagi laki-laki berperawakan hitam itu, dan bentuknya sulit untuk dijelaskan untuk tidak mengatakan Tika tidak sanggup menjelaskan karena aura negatifnya sangat kuat dan tidak suka dengan obrolan kami.

Di ujung pembicaraan, sebelum akhirnya alkohol semakin menyerang kami, Tika berkata, “Ini terlalu penuh dan tidak baik.” Terlebih apabila ada anak kecil yang sedang ke situ dia akan merasa ketakutan luar biasa dan bisa memunculkan trauma. Sekuat itu aura mereka terhadap manusia.

Kejadian tentang anak kecil itu memang pernah terjadi kepada anaknya Mas Abhi, usianya baru 4 tahun, saat main ke kontrakan, seketika dia menangis sejadi-jadinya. Setelah diajak keluar untuk duduk di hammock, tangisnya mereda. 

Seramnya, si bocah ini seperti diajak masuk lagi. Dia memanggil-manggil nama lalu berjalan masuk lagi ke rumah. Sesampainya di dalam rumah, tangisnya kembali pecah. Itu membuat orang-orang yang ada saat itu kebingungan.

Kisah itu saya sampaikan ke Tika yang sudah meninggalkan Jogja. Dia membalas dengan berkata, “Sosok di sumur itu paling powerful di antara yang ada di rumah ini, seperti vigilante, dia tidak terikat dengan siapa-siapa tapi tidak juga bisa dibilang mau menerima kehadiran manusia.”

Tika berkata, ada yang mempermainkan anak Mas Abhi, diajak masuk rumah, begitu masuk rumah malah ditakuti dengan kadar seram yang hanya mampu diterima manusia dewasa. Sungguh keusilan yang akan mengganggu di kemudian hari.

Malam itu saya tutup bukan dengan ketakutan, tapi seperti marah dengan apa yang terjadi di situ. Mungkin itu pula yang membuat Noni sering muncul, mencoba memberitahu sesuatu tapi tidak mampu karena bisa jadi kalah kuasa atau kalah banyak. Mungkin.

Kejadian-kejadian di rumah itu tidak berhenti dan hanya dialami oleh saya, Roni, dan Rifqi. Semakin lama, frekuensinya semakin sering dan mengganggu teman-teman dari luar Jogja yang singgah sebentar. Hingga akhirnya saya berkonsultasi dengan Roni dan ingin meminta bantuan ibunya untuk mengatur “warga usil” yang ada di rumah itu.

Saya sudah kenal lama dengan kedua orang tua Roni dan saya tahu ibunya mempunyai kemampuan menghadapi hal-hal gaib seperti itu. Dan kalau ada kesempatan saya sering mengobrol dengan beliau, bicara apa saja dan bukan hanya soal hal gaib.

Setelah mendapat persetujuan Roni, saya akhirnya mengirimkan sms kepada ibunya yang berdomisili di Jogja dan menjelaskan situasi di kontrakan kami saat itu. Ibu roni menjelaskan beberapa hal, sekaligus mewajibkan kami yang ada di Jogja untuk merapalkan doa beberapa saat sebelum dia “bekerja”. Ayat Kursi tentu menjadi keharusan di tengah doa kami.

Selang beberapa hari, ibu mengirimkan sms yang kurang lebih isinya begini:

“Mas Irul, saya memindahkan laki-laki hitam itu di dekat warung Ngudi Rejeki. Ada jembatan kecil di situ. Sementara yang di kamar depan itu saya tarik dan diminta pindah ke rumah simbah di Glagah.” Glagah adalah sebuah nama daerah di Kota Jogja.

“Beberapa lagi terpaksa diusir paksa karena ngeyel, mungkin akan kembali, tapi tidak bisa masuk rumah karena saya minta rumah itu diawasi oleh “teman” selama Mas Irul masih tinggal di situ. Sementara yang lain, yang bisa diajak bekerjasama saya biarkan dan sudah saling mengingatkan. Hanya saja, yang di luar-luar tidak saya minta pindah karena prinsipnya mereka tidak mengganggu atau merugikan. Jadi sudah bisa dilupakan dan jangan lupa agar teman-teman di sana selalu berdoa, ibadah, nggeh….”

Pesan sms dari ibu itu saya perlihatkan kepada Roni dan Rifqi. Kami menyimpan rahasia itu dari teman-teman yang lain hingga akhirnya masa sewa rumah itu berakhir setelah 2 tahun.

Tidak ada gangguan lagi yang kami rasakan (bahkan setelah pindah lagi, tapi masih di Jogja), tidak ada gayung tembok dipukul, atau galon berbunyi lagi seperti yang biasa kami dengarkan. Terlebih, anaknya Mas Abhi pernah ke sana lagi, reaksinya sudah berbeda. Dia lebih takut berada di luar kontrakan daripada di dalam rumah.

BACA JUGA Rumah Kontrakan Arini dan kejadian menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Khoirul Fajri Siregar

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version