Pasti kalian pernah mendengar kalimat menjadi orang tua itu susah, nggak ada sekolahnya. Seiring berjalannya waktu, menjadi orang tua ternyata sudah ada “sekolahnya”. Rasanya nggak afdol jadi orang tua di zaman ini, tanpa mempelajari soal parenting. Kajian parenting bisa dihadiri secara online maupun offline. Lalu, apakah hanya orang tua saja yang dapat mengikuti kajian parenting tersebut?
Bagaimana bila ada anak muda yang masih fokus berkarir, belum memiliki keinginan menikah dan tentu saja belum memiliki anak, tapi getol mempelajari parenting? Kalian tidak salah membaca, inilah circle pertemanan saya. Kami saling berbagi ilmu tentang parenting. Semua berawal dari kesadaran bahwa menjadi orang tua memang susah. Kalau dulu, orang tua kami tidak bisa sekolah untuk menjadi orang tua, sekarang kami bisa.
Berikut alasan nggak harus menjadi orang tua untuk belajar parenting.
Pertama, kita dapat memahami sikap dan tindakan keluarga. Namanya berteman, selalu ada sesi saling bertukar cerita tentang keluarga. Dari bercerita, kami memahami bahwa kakak pertama memiliki karakter yang mirip. Kami bercerita pola didik orang tua dan sadar akan kemiripan atau perbedaan pola didik. Rata-rata teman saya itu anak kedua, jadi sering dijahili oleh kakaknya. Seperti cerita teman saya, Farda.
“Dulu kalian dijailin kakak juga nggak? Kayak mau bagiin camilan tapi malah nggak jadi dikasih gitu,” tanyanya.
Saya menjawab “Iya, emang gitu kan kakak-kakak tu. Kalau aku di jahilinnya sejak bayi, dikasih makan kacang! Ketika aku dewasa, aku tanyain kenapa kasih makan kacang waktu aku kecil.”
“Kakak menjawab karena dia sayang, udah lama ingin punya adik, jadi mau bagiin makanan,” lanjutku.
Tentu saja kakak saya dimarahi karena tindakannya yang membahayakan, tapi namanya anak kecil. Seperti yang dijelaskan, dia bahagia memiliki seorang adik setelah delapan tahun menanti, makanya dia mau berbagi apa yang dia makan.
Kedua, kita akan menjadi panutan anak-anak. Memiliki keponakan membuat saya sadar pentingnya belajar parenting. Ada saja pertanyaan ponakan yang membuat saya harus siap siaga buat menjawab. Saya juga lebih sering mendengar playlist lagu anak-anak dan menjaga tutur kata demi keponakan. Karena selain orang tua, pertanyaan dadakan mereka bisa ditanyakan ke tante atau om.
Begini kejadiannya. Setelah lulus kuliah saya berkunjung ke rumah kakak dan menginap beberapa bulan. Saya jadi banyak berinteraksi dengan ponakan. Ponakan saya bernama Ayra dan waktu itu dia masih berumur lima tahun. Setelah makan siang kami duduk berdua di samping rumah, menikmati semilir angin dengan perut kekenyangan.
Ayra bertanya, “Ibi, kata Ibu Guru, Tuhan ada di mana-mana. Sekarang Tuhan ada di mana?”.
“Hmmm… Gimana, ya?” jawab saya.
Saya kemudian berpikir mencari jawaban yang kurang lebih bisa diterima dan tidak menyesatkan.
“Jadi begini, maksudnya Ibu Guru itu Tuhan ada di hati Ayra, selalu bersama. Kalau Ayra bohong sama Bapa atau Mama, rasanya nggak enak, kan?”
“Nggak tuh, hehehe” jawabnya jahil.
“Semisal Ayra buat hal yang salah, lalu ada rasa takut, gelisah, atau nggak enak. Itu bisa jadi Tuhan nggak suka.”
“Oh, begitu maksudnya Ibu Guru?” tanya Ayra.
“Iya, Ayra,” jawab saya mengakhiri percakapan.
Dalam hati saya lega, karena bisa menjawab satu pertanyaan. Saya sekaligus berharap semoga besok Ibu Guru bisa menyederhanakan ucapannya agar mudah dipahami anak-anak.
Ketiga, kita bisa mengenal diri sendiri. Selama proses belajar parenting, saya jadi mengingat-ingat kembali pola didik orang tua. Saya kemudian lebih mengenal diri saya, memahami penyebab terbentuknya karakter tertentu dalam diri saya, dan apa yang kiranya akan berpengaruh dalam pola didik saya semisal suatu saat memiliki anak.
Saya jadi ingat, dulu kalau saya ingin dibelikan mainan, Mama selalu ngomong, “Mama akan beli, tapi kamu harus janji kalau abis main dibersihkan mainannya, ya? Dijaga baik-baik. Nanti kalau hilang kan kamu sendiri yang sedih.” Setelah berjanji, saya mendapatkan mainan yang diinginkan.
Tentu saja tidak mudah buat anak belajar menghargai apa yang dimiliki. Terkadang setelah bermain masih lupa membersihkan dan Mama selalu mengingatkan. Rasanya sedih ketika mainan ada yang hilang, Mama kemudian menjelaskan ini risiko dari tidak menyimpan mainan dengan baik. Berkat itu terbentuklah karakter saya yang menjaga baik mainan dan membersihkannya setelah bermain.
Keempat, kita mampu memahami orang lain. Belajar parenting juga membuat saya memahami karakter orang dan nggak gampang menghakimi. Karena manusia itu pada dasarnya kompleks. Ada banyak hal yang membentuk dirinya yang dewasa, mulai dari pengalaman baik sampai dengan trauma saat kecil. Kejadiannya terjadi pada salah satu kenalan saya, menurut saya dia kurang inisiatif dan dia juga sadar akan hal itu.
Setelah lama saling mengenal dan bercerita. Ternyata dirinya saat kecil selalu ditegur atau dimarahi orang tua ketika berinisiatif melakukan berbagai hal. Di benaknya apa yang dilakukan selalu salah, sehingga membuatnya memiliki rasa takut memulai tindakan. Bukannya bertanya, dia lebih memilih menunggu dikasih tahu apa yang harus dikerjakan.
Belajar parenting pada akhirnya bukan hanya untuk orang tua. Ilmu soal parenting bisa juga dipelajari oleh anak muda yang belum berkeinginan untuk menikah bahkan belum berencana memiliki anak. Apa yang kita pelajari dalam parenting bisa dipraktekkan ke anak-anak di sekitar. Sebab sebagai orang dewasa kita harus siap atas pertanyaan spontan anak-anak dan sadar bahwa anak-anak akan meniru perilaku dan perkataan kita sehari-hari.
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
“1win Uzbekistan ⬅️ Rasmiy Sayti Bukmekerlik Kompaniyasining
1win Uz Скачать Apk под Узбекистан 1вин прохода В Казин
New Uk Casinos Not Really On Gamsstop » Latest Non-gamstop Casinos 202
Pin Up Qeydiyyat Oyun Hesabını Necə Qeydiyyatdan Keçirmək Olar