Childhood Animal Cruelty: Bibit Suka Menyiksa yang Berbahaya Mojok.co
artikel

Childhood Animal Cruelty: Bibit Suka Menyiksa yang Berbahaya

Wah, memangnya bisa perbuatan menyiksa hewan sudah ada sejak masih anak-anak?

Sejak kecil hingga kini saya masih kerap disuguhi pemandangan childhood animal cruelty atau kegemaran anak untuk menyiksa hewan, bahkan beberapa hari yang lalu saya kembali menyaksikan kejadian yang menyulut emosi saya. Saya melihat seorang anak melempar kucing dengan kursi plastik di warung soto. 

Berengseknya, kedua orang tuanya yang melihatnya tidak melakukan apa-apa. 

Kegemaran menyiksa hewan pada anak ini masih menjadi hal yang dimaklumi oleh para orang tua, padahal kekejaman kepada hewan ini pertanda bibit-bibit suka menyiksa yang ada pada anak. 

Saya telah disuguhi pemandangan seperti ini sedari kecil. Dulu di kampung kelahiran saya anak-anak laki-laki berkumpul untuk membakar sebuah sarang burung beserta telur-telurnya. Bermodalkan sebuah korek api, anak-anak itu menyaksikan telur burung yang masih berisi janin burung beserta lendir-lendirnya dibakar sampai habis. 

Di lain waktu di SD saya dulu kami baru saja selesai mempelajari bagaimana cara hewan melindungi diri, salah satunya adalah proses autotomi pada cecak. Lantas atas rasa penasaran tersebut, anak-anak di kelas saya mengambil seekor cecak dan menunggunya untuk memutuskan ekornya sendiri. Lantaran cecak tidak kunjung melakukan proses autotomi, sekumpulan anak-anak yang sedang geregetan itu mengambil sebuah cutter dan mengiris ekor cecak itu secara mandiri. Apa nggak pekok?

Pun belum lama ini, di akun TikTok saya sering muncul hal yang sama. Menggunakan sound sebuah lagu yang dimaksudkan untuk menampilkan video-video lucu, para orang dewasa ini mengunggah video “keisengan” balita yang tengah gemas terhadap hewan peliharaannya. Video-video itu sering kali menampilkan kekejaman balita pada kucing. Tak jarang ada video yang menampilkan balita yang menyeret ekor anak kucing, bahkan juga melempar-lempar tubuhnya, menginjak perutnya, dan menduduki punggungnya.

Saya jadi kepikiran: Kira-kira para orang tua dari anak-anak ini sadar nggak, ya, bahwa menyiksa hewan adalah hal yang keterlaluan, bahkan jika anak-anak mereka pelakunya?

Lingkungan yang mendukung

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang mengaku bahwa sedari kecil ia kerap menyiksa hewan. Ia sering mengusir seekor kucing dengan cara menendangnya agar kucing itu kapok dan enggan kembali lagi. Ia pun bercerita bahwa sejak kecil kita memang seringkali diperlihatkan di layar kaca bahwa hewan adalah aktor jahat dalam kehidupan kita. 

“Lihat saja berita di televisi semisal ada monyet ngamuk yang masuk ke perkampungan. Menurutmu, dia yang jahat memasuki kampung itu atau ternyata keberadaan kita yang memang telah mengusik habitatnya?” “Sial, iya juga,” batin saya. Di samping pengalaman pribadi ternyata sedari kecil kita sudah disuguhi berita semacam itu yang mendukung kita untuk melakukan kekejaman pada hewan.

Maka, teruntuk para orang tua, saya kira sudah waktunya untuk menyadari bahwa hewan merupakan makhluk hidup yang kedudukannya sama dengan manusia. Hewan seakan memiliki derajat paling rendah dalam kehidupan kita yang bebas kita apakan saja tanpa perlu menaruh rasa bersalah. Meskipun penyiksaan terhadap hewan dilakukan oleh balita-balita yang belum mengerti konsekuensi terhadap perbuatannya, justru di situlah peranan orang tua seharusnya hadir.

Pemakluman ala orang tua, “Ah, namanya juga anak-anak.”

Seperti cerita yang saya sebutkan di awal, ketika saya sedang makan soto dan seorang anak melempar kursi ke seekor kucing tanpa teguran sama sekali dari orang tuanya, hal ini seakan telah menjadi hal yang lumrah di kalangan kita. “Ah, namanya juga anak-anak,” sanggah para orang tua demi memaklumi perlakuan anaknya. Saya justru jadi berpikir, jika begitu aturan mainnya, apakah lantas hewan yang disiksa tadi lalu membatin, “Ah, namanya juga manusia.”

Saya jadi menaruh rasa iba, terutama kepada hewan-hewan peliharaan yang tinggal bersama anak kecil di rumahnya, apalagi jika orang tuanya bersikap masa bodoh dengan kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut. Yang terpenting hanyalah hiburan untuk anaknya bermain. 

Menebak apa alasan mengapa manusia masih memosisikan hewan lebih rendah derajatnya daripada manusia seakan tiada habisnya. Coba saja: Jika yang disiksa anak-anak dalam cerita tadi adalah manusia, apakah kita masih ingin menyanggah, “Ah, namanya juga anak-anak”?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *