Raden Santri atau Pangeran Singasari makamnya tak pernah sepi dari peziarah. Lokasinya terletak di Gunungpring, Muntilan. Berbagai kalangan kerap datang berziarah ke makam ini.
***
Tidak selamanya makam anggota kerajaan di zaman dahulu selalu berakhir jadi situs bersejarah dengan pengunjung peneliti dan pecinta sejarah. Pusara beberapa tokoh malah sering dikunjungi peziarah muslim karena mereka dianggap punya peran penting dalam syiar agama. Makam Kiai Nur Iman di Mlangi dan Pangeran Purbaya di Berbah adalah contohnya.
Tapi dua tempat di atas tidak seramai ketika saya datang ke sebuah dusun di Muntilan, Jawa Tengah. Di hari tertentu, pemandangan bus wisata parkir dan keramaian manusia mudah ditemukan. Aneka penjual oleh-oleh bernuansa Islam seperti baju muslim, kaligrafi, atau kopiah juga tumpah ruah. Inilah Dusun Gunungpring, Muntilan, Jawa Tengah.
Semua keramaian tadi bermuara ke salah satu bukit setinggi 400 meter. Sebuah bukit dengan pintu gerbang berupa joglo. Selepas joglo itu, anak tangga selebar 3 meter akan menyambut. Makam Auliya Gunungpring, demikian sebutnya. Di sebuah bangunan besar saya berhenti. Sejenak mengambil wudu sebelum mencari tempat bersila di antara derasnya daras doa peziarah hari itu.
Asal usul Raden Santri
Di sini, mudah saja menemukan berbagai kelompok peziarah sedang berdoa. Entah datang pada pagi, siang, sore, atau malam. Sebab area ini buka 24 jam. Kompleks makam ini tidak seperti makam kuno karena berada di sebuah bangunan besar mirip masjid. Jika mata cukup jeli, pengunjung juga bisa melihat berbagai ornamen khas Keraton Yogyakarta di sekitar lokasi.
Makam auliya dan ulama, begitu tulisnya. Di area utama makam berisi 12 pusara. Semua pusara mempunyai bentuk cungkup yang identik: Nisan besar, tutup kain putih, serta bangunan berbahan kayu dengan ornamen kaligrafi. Di sekitar pagar cungkup, terdapat tumpukan Al-Quran atau buku Yasin. Selain itu, ada pula musala, ruang istirahat, ruang penjaga, tempat wudu, aula, dan tempat mengisi air minum bagi peziarah di area ini.
12 nama di makam ini mayoritas bergelar kiai dan nyai. Sebagian besar nama menggunakan nama Arab, bukan lagi nama-nama Jawa. Salah satu nama yang barangkali cukup familiar bagi sebagian umat Islam adalah Kiai Haji Dalhar, tokoh dari Pondok Pesantren Darussalam Watucongol. Ia adalah cucu dari panglima perang Jawa, Kiai Hasan Tuqo. Nama ini mirip dengan tokoh penyebar agama Islam di Godean, Sleman, Kiai Bagus Khasantuko.
Namun, tokoh utama di makam ini adalah Raden Santri alias Pangeran Singasari, salah satu anggota keluarga Mataram Islam. Nama yang sama juga menjadi nama jalan di bawah area makam. Garis silsilah sosok ini merujuk ke Ki Ageng Pemanahan. Ya, nama ini adalah anak dari Pemanahan alias saudara dari Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam. Walaupun demikian, papan informasi di area makam menghubungkan nama ini langsung ke raja Majapahit, Brawijaya V.
Dwijo Fauzan Hendratno (66), Ketua Yayasan Kiai Raden Santri mengatakan bahwa penyebutan Brawijaya V berdasarkan garis keturunan Raden Santri maupun Pemanahan. “Kan mereka berdua keturunan Majapahit,” ungkapnya. Laman resmi Kabupaten Magelang juga turut menyebut bahwa Raden Santri adalah keturunan keenam dari Brawijaya.
Baik keterangan Fauzan maupun papan informasi makam menyebutkan bahwa Raden Santri adalah penyebar agama Islam di daerah Kedu—termasuk area Magelang sekarang. Saat berkelana, sosok ini meninggalkan segala atribut ningrat, termasuk gelar pangeran.
Bagus Santri, demikian nama yang dipakai. Hingga, di sebuah dusun yang kelak disebut dusun Santren, ia membangun pesantren demi menjalankan syiar agama. Kini, di dusun tersebut masih terdapat bekas masjid peninggalan Raden Santri dengan sebuah prasasti berangka tahun 1611 Masehi.
Jika membaca beberapa kisah di internet, akan ada sebuah cerita bahwa sosok ini tidak seperti kebanyakan anggota keluarga kerajaan lainnya. Kala yang lain, termasuk saudaranya yaitu Senopati, memilih sibuk berperang dan mengurus negara, maka Raden Santri lebih memilih menyebarkan agama Islam. Sekilas, ini mirip dengan kisah Kiai Nur Iman Mlangi dan Hamengkubuwono I.
Namun, Fauzan punya versi cerita berbeda. Konon, sebelum fokus syiar Islam, Singasari adalah seorang panglima perang Mataram Islam. Ia baru keluar meninggalkan jabatan tersebut di masa Sultan Agung berkuasa. Andai ini benar, maka peninggalan masjid dari tahun 1611 agaknya terasa aneh karena di tahun 1611 Sultan Agung belum naik tahta.
Tentang penggunaan nama Singasari sebagai gelar, De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram punya penjelasan menarik. Dengan nama ini, Senopati ingin melebihi para penguasa di ujung timur Jawa dengan penyematan gelar yang lebih tua dan lebih asli dibanding Majapahit. Buku itu juga menyebut Singasari sebagai saudara Senopati. Bersama beberapa nama lain, ia disebut turut serta dalam serangan Mataram Islam ke Ponorogo di masa Senopati dalam rangka penaklukan wilayah.
Nama Raden Santri muncul jelas di Babad Tanah Jawi (W.L. Olthof, 2017). Disebutkan bahwa Pemanahan punya 7 anak yaitu Raden Ngabehi Lor-ing-Pasar (kelak Panembahan Senopati), Raden Ambu, Raden Santri, Raden Tompe, Raden Kedawung, dan 2 anak perempuan. Namun, peran sosok ini tidak terlalu disebutkan setelahnya. Malahan, di Puncak Kekuasaan Mataram (De Graaf, 2020), nama Singasari muncul sebagai saudara dari Panembahan Krapyak alias anak Senopati di masa pemerintah Sultan Agung.
Di buku itu, tidak disinggung nama Singasari sebagai panglima perang sekaligus saudara Senopati jika memang ia baru mundur dari militer di masa Sultan Agung, seperti kata Fauzan. Andai melakukan pencarian di internet, akan muncul pula Raden Santri dengan makam di Gresik. Namun, ini adalah sosok Sunan Gresik, salah satu anggota Walisongo.
Destinasi para peziarah dari berbagai kalangan
Fauzan mengenang, suatu waktu di kala ia masih kecil, sebuah sedan mewah masuk ke desanya. Mobil itu berhenti di pesantren Darussalam Watucongol lalu menuju makam Gunungpring. “Ternyata, itu Sinuwun Sultan Hamengkubuwono IX. Banyak yang lihat waktu itu.” Namun, kala itu, area makam tentu belum seperti sekarang.
“Jalan naiknya masih tanah, suasananya dekat ke arah angker, pengunjungnya juga belum seramai sekarang,” kenangnya.
Fauzan ikut mengelola makam sejak tahun 1986. Kala itu, ia dan dan beberapa orang lain dimintai tolong Nyai Gus Jogorejo, salah satu keturunan Raden Santri, untuk membantunya mengelola makam. Lantas, pada 1992 dibentuklah Yayasan Kiai Raden Santri. Yayasan itu pula yang menginisiasi segala jenis pembangunan di sekitar makam. Mulai dari pembangunan anak tangga, atap kanopi, dan area utama makam.
Semua pembangunan tadi didanai lewat infak peziarah. Walaupun demikian, pengelola tidak memasang tarif bagi peziarah. Semuanya bersifat sukarela. Kini, area makam Gunungpring terus mengalami pembangunan demi kenyamanan peziarah. “Tahun ini, kami berencana mengganti atap di area makam dengan baja ringan,” lanjut Fauzan.
Keberadaan yayasan belakangan mencipta komunikasi dengan pihak Keraton Yogyakarta. Karena, mau bagaimanapun ini adalah makam keluarga keraton. Maka, para pengurus yayasan juga didaftarkan menjadi abdi dalem. Fauzan sendiri diangkat menjadi abdi dalem pada tahun 2004.
Fauzan membanggakan daerahnya sebagai destinasi wisata religi tingkat nasional. Semua ini berkat keberadaan makam Gunungpring dan Pesantren Darussalam Watucongol. Banyak tokoh nasional ke makam dan pesantren ini. Bahkan, ada beberapa kelompok peziarah datang dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.
Dari 12 nama di makam utama, beberapa disebutkan Fauzan sebagai keturunan Raden Santri. Nama ini adalah Kiai Krapyak, Kiai dan Nyai Harun, Kiai dan Nyai Gus Jogorekso, dan Kiai Qowaid Abdulloh. Mereka masih keturunan namun bukan lagi dalam taraf anak atau cucu. Sebagai contoh, Kiai Gus Jogorekso meninggal tahun 1978 dan Nyai Gus Jogorekso baru meninggal baru meninggal tahun 2005.
Misalkan saja Raden Santri meninggal tahun 1678, maka ada selisih 300 tahun dengan meninggalnya Kiai Gus Jogorekso. Sampai saat ini, belum diketahui juga di mana letak pusara istri Raden Santri. Sebab, di area makam Auliya Gunungpring tidak ada nama merujuk ke sosok tersebut.
Fauzan juga tidak mengetahui pasti hubungan antara Raden Santri dengan Kiai Dalhar. Ia menduga, pemakaman Kiai Dalhar di komplek makam Raden Santri adalah sebuah bentuk penghormatan terhadap sang kiai. Toh, selain Kiai Dalhar tidak ada lagi keturunannya dimakamkan di sana. Tidak ada pula nisan merujuk ke Nyai Dalhar di area itu.
Saat ini, makam auliya Gunungpring dikelola oleh 24 orang abdi dalem dari Keraton Yogyakarta. Mereka berjaga 24 jam secara bergantian di pintu masuk komplek utama makam. Mereka juga menjadi bagian dari Yayasan Kiai Raden Santri. Fauzan mengatakan bahwa satu-satunya bulan sepi bagi makam ini adalah saat bulan puasa. Selebihnya, selalu ramai.
Dengan alasan serupa, keberadaan makam ini juga mendukung perekonomian warga sekitar. Pemerintah desa membuat peraturan hanya orang dengan KTP Desa Gunungpring yang bisa berjualan di sekitar anak tangga menuju makam.
Sementara itu, doa telah selesai terdaraskan dan mata saya buka perlahan. Kala hendak beranjak, saya baru sadar bahwa sebagian besar rombongan peziarah di sekitar saya sudahlah berganti. Padahal, saya merasa doa tadi tidaklah terlalu panjang.
Saya melangkah turun sembari teringat sebuah kepercayaan lawas. Konon, para ulama—sekalipun telah tiada—tetap bisa mendatangkan berkah bagi manusia. Entah itu dengan datang menziarahi dan mencari jalan keluar spiritual. Atau, dengan menggelar dagangan di sekitar makamnya seperti puluhan warga Gunungpring ini, yang mengalap berkah ekonomi dari makam seorang panglima perang sekaligus penyebar agama Islam.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi